Oleh Dwi Setiawan
Pimpinan Sekolah Kita Menulis (SKM) Cabang Langsa. Email: dwisetiawan1998@gmail.com
Ironis memang ketika kita membahas tentang pengangguran intelektual, dari tahun ke tahun hingga kini diawal tahun 2023 pembahasan mengenai semakin sulitnya mencari pekerjaan dan tingginya angka pengangguran semakin sering diperbincangkan, bahkan bagi mereka yang sudah punya gelar sarjana sekalipun. Perbincangan-perbincangan kecil tentang pembahasan ini pun semakin sering terdengar di kalangan para mahasiswa dikampus. Kekhawatiran para mahasiswa yang akan menyelesaikan studi pun akan semakin menjadi, sebab melamar ataupun mencari pekerjaan setelah lulus kuliah sudah menjadi urutan logis dalam jenjang kehidupan. Diera sekarang rasanya sangat sulit untuk mencari atau mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kompetensi yang sesuai dengan jurusan yang dipelajari dibangku kuliah, apalagi jika ilmu yang dipelajari di dunia pendidikan yang belum selaras dengan kebutuhan di dunia kerja. ditambah dengan lapangan pekerjaan yang terbatas dan dibutuhkan syarat pengalaman kerja yang dibutuhkan padahal bagi para lulusan kuliah tentunya pasti belum memiliki pengalaman kerja karna belum pernah bekerja.
Menurut BPS, kita akan mendapat suplai angkatan kerja yang melimpah dari tahun 2020 sampai 2035. Pada tahun 2030, diperkirakan kita akan berada pada puncak bonus demografi, dimana proporsi usia produktif atau angkatan kerja mencapai 70% dari seluruh populasi. Ini berarti jika kita lulus kuliah pada rentang waktu tersebut, peluang untuk mendapatkan pekerjaan akan menjadi lebih tipis lagi. Padahal pendidikan adalah bentuk proses transformasi kehidupan agar lebih baik lagi, dengan pendidikan banyak orang-orang berharap akan lebih mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Apalagi jika seseorang telah memperoleh gelar sarjana. Tentu saja lulus dengan predikat sarjana membuka peluang dan kesempatan yang lebih besar. Namun fakta dilapangan tidak sejalan dengan dengan apa yang kita pikirkan tentang pendidikan tersebut. Beberapa waktu yang lalu Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data terkait dengan ketenagakerjaan menurut provinsi, 1986-2022. Data tersebut menunjukan tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Aceh pada februari 2022 sebesar 5,97 persen mengalami kenaikan pada bulan agustus sebesar 6,17 persen.
Persoalan mengenai banyaknya jumlah pengangguran yang berasal dari kalangan lulusan perguruan tinggi sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Mereka yang tamat setelah menempuh pendidikan di bangku kuliah namun belum mendapatkan pekerjaan sering dijuluki dengan istilah “Pengangguran Intelektual”. Peluang kerja setelah lulus kuliah dipengaruhi oleh populasi atau jumlah angkatan kerja. Menurut Laporan BPS Aceh, Pada bulan Februari 2022, sebanyak 2.514.842 jiwa penduduk di Provinsi Aceh yang termasuk sebagai angkatan kerja dan jumlah penduduk Aceh yang bekerja sebanyak 2.364.666 jiwa. Sehingga diketahui jumlah pengangguran di Provinsi Aceh pada bulan Februari 2022 sebanyak 150.176 jiwa.
Salah satu penyebab terciptanya pengangguran tersebut hingga saat ini adalah karna pemerintah belum mampu membuat pemetaan kebutuhan tenaga kerja. Padahal telah berulang kali jumlah lulusan universitas tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dunia usaha yang ada. Tidak heran ketika kelompok terpelajar masih saja kesulitan mencari lapangan pekerjaan yang sesuai dengan bekal keilmuan yang telah diperolehnya. Bahkan banyak sekali lulusan perguruan tinggi asal Aceh yang harus rela keluar daerah karna minim dan terbatasnya lapangan pekerjaan di Aceh. Melihat kondisi tersebut, harapanya sudah selayaknya pemerintah menciptakan pemetaan kebutuhan tenaga kerja. Pemetaan ini sudah seharusnya dilakukan agar sesuai dengan tujuan dan arah pendidikan di kampus. Sehingga tercipta sinergitas antara universitas yang mencetak lulusan profesional dan kompeten sesuai dengan keterbutuhan masyarakat dan dunia usaha.
Namun selain terselip harapan kepada pemerintah kita juga selaku masyarakat juga mesti berupaya mendukung dan membantu sebisa mungkin guna menghindari terciptannya pengangguran intelektual di Aceh. Oleh sebab itu intelektual Aceh harus mampu memaknai literasi lapangan kerja, sehingga intelektual Aceh tidak melaju ke arah menara gading. Beberapa upaya sederhana dari diri sendiri mesti bisa dilakukan guna supaya kita tidak sepenuhnya bergantung dengan hasil dan upaya yang dilakukan pemerintah. Hal tersebut bisa di mulai dari diri sendiri seperti mengeksplorasi, memilih dan menemukan kompetensi passion jurusan pendidikan yang sesuai dengan pasar kerja, mempelajari dan memperkaya diri dengan berbagai pengalaman dan skill sehingga kita dengan mudah bebas memilih, memasuki, bahkan dapat menciptakan sendiri pasar lapangan pekerjaan untuk orang lain dan potensi menjadi pengangguran intelektual bisa lebih kecil, Hal-hal seperti inilah yang harus dimulai dari diri sendiri sehingga masing-masing dari kita dapat selaras dengan kondisi perkembangan zaman yang drastis berkembang, sekaligus mampu jika dihadapkan dengan bonus demografi di pelupuk mata.