Oleh : Raihan Al Afif
(Mahasiswa Pasca Sarjana UNAS Jakarta)
Pada tanggal 24 Februari 2022 Rusia memulai invasinya terhadap Ukraina. Hal ini langsung direspon dengan kenaikan harga minyak dunia ke level atas USD100 per barel, tertinggi sejask 2014. Peningkatan harga minyak dunia ini karena Rusia merupakan salah satu negara terbesar yang memasok kebutuhan minyak dunia yakni sebesar 10% (Kompas, 25 Februari 2022). Tidak hanya harga minyak, konflik ini juga menyebabkan kenaikan harga gandum di mana harga gandum berjangka naik sekitar 5,35% menjadi USD 9,84 per gantang, harga tertinggi sejak tahun 2008. Rusia dan Ukraina juga merupakan pemain utama dalam ekspor gandum global (Kompas.com).
Ketegangan antar kedua negara tersebut akan berimbas pada sejumlah sektor ekonomi global lainnya yang memicu krisis ekonomi yang lebih luas. Invasi Rusia atas Ukraina ini turut menambah tekanan yang lebih luas bagi perekonomian global ditengah berbagai macam resiko lain, seperti normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat, terganggunya rantai pasok global yang memberikan tekanan pada harga komoditas teruitama energi dan pangan hingga masih berlangsungnya pandemic covid-19.
Ditengah pemulihan ekonomi global yang tidak merata (uneven recovery), invasi tersebut merupakan suatu perfect storm bagi negara-negara berkembang yang masih berjuang untuk memulihkan perekonomiannya. Dalam sistem keuangan dan logistik global yang semakin terintegrasi konflik Rusia dan Ukraina tersebut berdampak signifikan terhadap konstelasi perekonomian dunia. Dampaknya bagi perekonomian domestik dapat dilihat dari sisi sektor keuangan hingga sektor rill. Sementara itu nilai tukar Rupiah terjaga meskipun terdepresiasi hal ini disebabkan Indonesia masih mendapatkan modal masuk ke pasar saham yang cukup besar, yakni inflow mencapai Rp 8,9 triliun.
Konflik antara Rusia dan Ukraina memberikan efek secara global bagi negara-negara lain yang bergantung pada ekonomi negara tersebut, lebih lanjut misalnya bisa kita katakan perang antara Rusia dan Ukraina menyebabkan ketergantungan terhadap negara manapun terutama hubungan perdagangan. Pada perdagangan internasional dengan Rusia dan Ukraina terjadi melalui Supply Chain tidak langsung dalam bentuk ekspor melalui negara lain, dalam hal ini adalah negara China. Dalam hal ini Ekspor bahan baku Indonesia ke China terhitung besar, akan ada dampak tidak langsung terhadap Supply perdagangan internasional yang juga akan memengaruhi international trade Indonesia.
Pengaruh perang Rusia Vs Ukraina terhadap Ekonomi Indonesia saat ini !
Konflik antara Rusia dan Ukraina sendiri masih berlangsung sampai dengan hari ini dan berpotensi menganggu kinerja perdagangan Indonesia dengan kedua negara. Konflik tersebut dapat menurunkan ekspor nonmigas Indonesia dan menghambat impor gandum sehingga berpotensi meningkatkan kenaikan harga sejumlah bahan pangan di dalam negeri. Konflik yang terjadi saat ini diperkirakan hanya memberikan dampak pada kisaran 1%, baik untuk ekspor maupun impor (Media Indonesia 26 Februari 2022). Namun komoditas perdangangan kedua negara merupakan komoditas yang cukup penting bagi Indonesia, seperti minyak kelapa sawit mentah dan produk turunannya.
Krisis yang terjadi antara Rusia dan Ukraina turut memberikan dampak terhadap kenaikan harga energi secara global. Kenaikan harga ini akan sangat berpengaruh bagi Indonesia. Disatu sisi, sebagai eksportir terbesar dunia batubara, kenaikan harga batubara akan meningkatkan nilai ekspor Indonesia secara signifikan. Namun di sisi lain, kenaikan harga minyak akan menjadi masalah karena saat ini Indonesia merupakan net importer minyak mentah. Bahkan neraca perdagangan Indonesia sering defisit karena tingginya nilai impor minyak bumi.
Dampak Konflik terhadap Harga Komoditas di Indonesia
Kenaikan harga minyak akan menekan pada kondisi fiskal Indonesia karena meningkatnya beban subsidi, khusunya untuk penggunaan BBM dan LPG yang ditanggung dan berpotensi melebihi asumsi APBN 2022. Selain itu, kenaikan minyak mentah juga memberikan dampak terhadap subsidi dan kompensasi listrik, dimana setiap kenaikan minyak mentah sebesar USD1 per barel berdampak pada tambahan subsidi dan kompensasi listrik sebesar Rp. 295 miliar (Bisnis Indonesia, 1 Maret 2022).
Kenaikan harga minyak juga berdampak pada sektor lainnya, khususnya transportasi dan industri yang mengkonsumsi BBM nonsubsidi. Kenaikan harga minyak ini akan meningkatkan harga keekonomian BBM sehingga berpotensi mendorong peningkatan harga BBM nonsubsidi di Indonesia yang saat ini masih menjadi salah satu yang termurah dibandingkan negara-negara di kawasan ASEAN. Selain kenaikan BBM juga, dampak dari perang Rusia dan Ukraina bagi Indonesia adalah kenaikan harga gandum terhadap harga produk olahan di tingkat konsumen.
Upaya Mengatasi Ancaman Resesi Ekonomi Nasional
Disini penulis mencoba melihat secara objektif akibat yang ditimbulkan dari perang Rusia Vs Ukraina yang masih terjadi sampai hari ini. Dampak yang ditimbulkan bagi Indonesia sendiri terlihat jelas dalam sektor energi dan pangan. Adanya kenaikan harga energi dan komoditas pangan khususnya gandum secara global juga akan mempengaruhi harga-harga komoditas tersebut di dalam negeri. Ketergantungan yang tinggi terhadap kedua komoditas tersebut dikhawatirkan juga akan mendorong kenaikan harga komoditas lainnya, sehingga akan memicu terjadinya inflasi yang tidak terkendali. Hal ini harus diwaspadai oleh pemerintah terlebih ditengah kondisi ekonomi yang belum stabil akibat pandemic Covid -19 sehingga menambah beban bagi masyarakat Indonesia.
Kondisi ini perlu menjadi perhatian khusus bagi DPR, khususnya dampak krisis perang Rusia dengan Ukraina terhadap kenaikan harga komoditas di dalam negeri. DPR juga perlu mendorong pemerintah untuk mengambil langkah-langkah antisipatif agar tingkat inflasi tetap terkendali di tengah harga beberap komoditas dan minyak mentgah di pasar global yang meningkat. Ditengah kenaikan harga gandum hari ini, DPR perlu mendorong pemerintah untuk mencari alternatif pemasok gandum dari negara lain dengan kontrak jangka panjang untuk memastikan pasoka dan harga gandum tetap stabil. Sementara itu DPR juga perlu terus mendorong pemerintah untuk mengoptimalkan penggunaan energi dari gas alam untuk kebutuhan industri dalam rumah tangga sehingga dapat mengurangi ketergantungan akan minyak bumi.