Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Multikulturalisme Dalam Seni Didong Pada Masyarakat Gayo Di Kabupaten Aceh Tengah

Selasa, 15 November 2022 | November 15, 2022 WIB Last Updated 2022-11-15T11:00:52Z


Ashshifa Annur

Oleh : Ashshifa Annur
(Mahasiswi jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh
)

Masyarakat Gayo Aceh Tengah hidup di pegunungan dan dataran tinggi. Mereka tetap melestarikan seni dan budaya tanah air, termasuk Didong. Didong merupakan kesenian tradisional yang sangat populer dan laris di masyarakat Gayo. Artisnya disebut ceh-ceh didong. Ceh Lakiki, Ceh Toët, Ceh Daman, Ceh Ibrahim Kadir, Ceh Ujang Lakiki, Ceh Ucak, Ceh Tujuh, Ceh Idris Session Temas, Ceh Abd Rauf adalah beberapa nama pemain terkenal Didong.

Di dong adalah seni pertunjukan di mana laki-laki dibagi menjadi beberapa kelompok (biasanya 15 orang), duduk bersila, menghentakkan kaki, dan mengekspresikan diri secara bebas. Mereka menyanyikan lagu-lagu dengan suara dan gerakan yang indah sambil menabuh genderang, bantal, periuk, dan tepuk tangan.

Orang Gayo di Aceh Tengah tinggal di pegunungan atau dataran tinggi. Mereka tetap melestarikan seni dan budaya tanah air, termasuk Didong. Didong merupakan kesenian tradisional yang sangat populer dan laris di masyarakat Gayo. Artisnya disebut ceh-ceh didong. Ceh Lakiki, Ceh Toët, Ceh Daman, Ceh Ibrahim Kadir, Ceh Ujang Lakiki, Ceh Ucak, Ceh Tujuh, Ceh Idris Session Temas, Ceh Abd Rauf adalah beberapa nama pemain Didon yang terkenal.

Seni pertunjukan tradisional, kebanggaan industri musik, telah diwariskan hingga hari ini meskipun ada pengaruh perkembangan teknologi dan westernisasi. Hampir setiap malam orang tidak pernah bosan menonton Sesedidon bersama Didon. Pertunjukan berlangsung hingga larut malam (Ishah hingga fajar).

Puisi yang dinyanyikan dengan kekuatan menggabungkan seni kinetik, sastra, dan komposisi sonik, begitu 'memikat' sehingga 'mengangkat' penonton, dan menarik refleksi sosial dan keagamaan dari Choi Che Didong ke berbagai yang terus saya ceritakan kepada orang-orang Ini memecahkan masalah yang ada di masyarakat dan hubungan antara manusia dan alam, dan memungkinkan pengelolaan kehidupan yang bermakna.

Gayo adalah salah satu kabupaten budaya Aceh. Sebagai ruang budaya, tentu ada warisan budaya yang masih berkembang di dalamnya. Semakin dekat dengan komunitas, dalam lagu, ekspresi ekspresi seni komunitas begitu indah. Seni yang memiliki massa dan karakter sangat mudah ditemukan.

Orang Gayo ahli dalam seni arsitektur, patung, relief, dekorasi dan ornamen, tetapi mungkin tidak begitu kaya dalam berbagai ekspresi seni dalam bentuk budaya material, mereka tampaknya belajar dan menikmati lebih banyak dari sastra: puisi , teka-teki, dongeng, lagu, bacaan, legenda. Dengan demikian, unsur seni luar seperti salle, akting, dan nyanyian tampak lebih cepat mengakar.

Pemahaman ini kemudian dikenal sebagai sebuah kumonikasi kultural. Kebudayaan, kesenian dan masyarakat, merupakan tiga unsur yang memiliki hubungan yang erat dalam dinamika kehidupan sosial.

Doc. Istimewa

Sehingga tidak heran jika dikatakan bahwa kebudayaan dan kesenian suatu daerah atau suatu kelompok manusia, sering dijadikan sebagai tolak ukur atau salah satu indikator untuk mengetahui tingkat peradaban suatu komunitas sosial masyarakat.

Masyarakat Gayo dan Kesenian Didong

Didong masih populer sampai sekarang. Masyarakat Gayo sangat menikmati bermain Didong. Keberlanjutan kesenian ini tentunya menjadi kabar yang sangat baik mengingat Didong lebih dari sekedar pertunjukan, ia berperan dalam melestarikan dan meningkatkan nilai kehidupan Gayo untuk generasi yang akan datang. protes dan kritik terhadap permasalahan Sosial.

Salah satu kesenian yang paling populer di masyarakat Gayo adalah Didong. Kesenian Didong adalah Sa'er (puisi Islam), Kekitiken (teka-teki), Kekeberen (prosa lisan), melengkan (bahasa adat), Sebuk (puisi sedih), Guru Didong.

Dalam perkembangannya, Didong muncul tidak hanya pada hari-hari besar agama Islam, tetapi juga pada upacara-upacara adat seperti perkawinan, khitanan, membangun rumah, panen, dan menjamu tamu. Pedidon biasanya memilih tema pementasan yang sesuai dengan upacara yang diadakan. Misalnya, pernikahan menyajikan teka-teki seputar aturan pernikahan yang biasa. Oleh karena itu, seorang pemain Didong harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang seluk beluk adat pernikahan. Dengan cara ini pengetahuan masyarakat tentang adat dapat dipertahankan. Nilai-nilai yang hampir punah direklamasi oleh ceh untuk kepentingan seni Didong.

Multikulturalisme

Masyarakat Gayo harus mengintegrasikan paradigma seni pertunjukan Didong dan Didong Jalu sebagai identitas budaya lokal. Dari segi multikultural, Didong merupakan sarana pemersatu seluruh suku bangsa yang ada di wilayah Gayo, bukan sebaliknya. Didong bukan milik masing-masing daerah tetapi milik bersama, dan perlu untuk dapat menyatukan pemahaman estetika tentang apa yang termasuk dalam keseluruhan pertunjukan Didong agar tidak ada kesalahpahaman yang mempengaruhi nilai seni Didong itu sendiri.

Perbedaan etnis mencerminkan sistem makna dan kepercayaan yang unggul. Setiap orang memiliki kekuatan budaya yang berbeda, perspektif yang berbeda. Setiap pertunjukan etnik di daerah lagu menggunakan metodenya masing-masing, terutama pada lirik lagu yang digunakan. Gayo Alas membuat lirik untuk bahasa mereka, Gayo Deret membuat lirik untuk bahasa yang mereka gunakan, dan begitu juga dengan suku Gayo lainnya. Setiap etnis mempengaruhi yang lain, jadi refleksi mendalam dan wawancara bertukar pikiran sepanjang pertunjukan Didong.

Mewujudkan pemerataan kemandirian, kekuatan ekonomi, dan akses universal bagi seluruh masyarakat Gayo.

Didong Gayo

Didong juga bisa dinyatakan sebagai salah satu varian dari “nyanyian rakyat” (folksong).  Dengan rumusan sederhana, kesenian didong dapat dinyatakan sebagai konfigurasi ekspresi seni sastra, seni suara, dan seni tari.

Arti harafiah dari kosakata didong tidak begitu jelas. Melalatoa menyebutkan bahwa barangkali didong ada kaitan pengertiannya dengan beberapa kosakata lainnya dalam bahasa gayo, seperti denang atau donang yang maknanya sama dengan “dendang” dalam bahasa Indonesia. Namun didong memuat pengertian yang lebih luas, artinya bukan hanya sekedar berdendang. Mungkin didong bisa dianalisi untuk dinyatakan sebagai suatu bentuk teater, yang biasa disebut sebagai “teater-mula”, atau bisa dikatakan sebagai “teater kehidupan”. Total pergelaran didong berlandaskan suatu sistem ide yang berakar dari tradisi masyarakatnya. Sistem ide itu berupa suatu nilai, norma, dan aturan-aturan yang keseluruhannya menjadi acuan yang harus dipatuhi oleh masyarakatnya. Barangkali sistem ide ini masih dapat dirinci, sehingga menjadi apa yang disebut “skenario” yang tidak tertulis. Skenario ini diacu oleh para aktor atau pemain-pemain didong untuk bermain improvisasi atau berlaga, baik oleh aktor yang ada di atas pentas maupun aktor di luar pentas. Aktor di luar pentas ini adalah penonton.

Di antara sejumlah unsur seni bertutur yang terangkum dalam seni Didong adalah: Kekitiken/Ure-ure (seni berteka-teki). Yaitu seni dalam berteka-teki yang biasanya dilakukan oleh anak-anak menjelang tidur. Dari segi bahasa dan kalimat yang digunakan dalam teka-teki ini lebih mementingkan tata bunyi dan irama dengan pola persajakan a-b a-b. Seni berteka-teki ini merupakan bentuk puisi Gayo yang telah cukup tua.

Didong Gayo sebagai representasi berkesenian masyarakat Gayo merupakan ekpresi kebudayaan yang memberikan gambaran kehidupan masyarakatnya. Kesenian ini mencerminkan sejarah budaya masyarakat pendukungnya. Dilihat dari proses perjalanan kesenian ini, didong memberikan harapan adanya keberlangsungan kebudayaan Gayo tentunya dengan adanya inovasi-inovasi.

Di antara penggalan syair seni Didong Gayo, yang isi dan makna terkandung di dalamnya, sarat dengan muatan nilai-nilai dan pesan moral yang regelius. Berikut penulis utarakan beberapa butiran bait-bait syair dimaksud, diantaranya adalah:

Sara ketike pada sara saat
Bewene lat batat hancur binasa
Langit nge gelep bumipe nge seput
Nge kalang kabut umet atan donya
Bewene si morip nge murasa takut

Suatu ketika pada suatu saat
Semua makhluk hancur binasa
Langit kian gelap dan bumi pun selput
Sudah kalang kabut umat manusia
Semua yang hidup merasa ketakutan

Pesan yang terekam dalam butiran bait syair di atas merupakan sebuah pesan yang menggambarkan keadaan manusia ketika hari kiamat tiba.

Untuk mencapai kebahagiaan abadi di masa yang akan datang, kita harus memperbanyak amal shalih dan memperkokoh keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT.

Menjaga nilai-nilai budaya lokal juga merupakan bagian dari perjuangan menegakkan nilai-nilai syariah melalui kearifan lokal dan budaya yang tidak menyimpang dari norma-norma syariah itu sendiri. Apalagi seperti yang dikembangkan dan dikembangkan oleh masyarakat Gayo dan Aceh pada umumnya.

Banda Aceh, 15 November 2022

Penulis,
Ashshifa Annur
Gadis asal dari Pidie Jaya, Kuliah pada jurusan Kesejahteraan Sosial (Kesos)
Fakultas Dakwah dan Komunikasi
UIN Ar-Raniry Banda Aceh, email : 200405005@student.ar-raniry.ac.id.