Oleh: Isa Ismail
[Pimpinan Sekolah Kita Menulis Cabang Padang, Formateur/Ketua Umum Senat Mahasiswa STAIPIQ Sumatera Barat]
Saya tertarik menulis tulisan ini setelah beberapa hari lalu, mengadakan kegiatan lapak baca gratis dan diskusi kepenulisan di salah satu kampus Sumatera Barat. Melihat respon dari mahasiswa yang tak begitu meramaikan. Bahkan hampir tidak ada pengunjung, mahasiswa hanya melihat-lihat dari kejauhan. Membuat saya berkesimpulan bahwa budaya literasi mahasiswa di kampus tersebut sangat jauh dari yang diharapkan.
Kondisi seperti ini tentu sangat memprihatinkan. Melihat kondisi gerakan literasi masyarakat Indonesia, khususnya mahasiswa yang begitu merosot tajam. Sebab daya literasi terkhusus daya baca-tulis ialah budaya yang tidak boleh lepas dari mahasiswa. Maka tulisan ini akan menjelaskan secara gamblang bagaimana sebenarnya arti penting budaya literasi bagi mahasiswa. Tulisan ini diperuntukan agar mahasiswa membangun gerakan literasi serta merefleksikan produktivitas menulisnya.
Akrab dengan Literasi
Budaya literasi yang seharusnya melekat pada diri mahasiswa, telah mengalami degredasi. Pergeseran nilai-nilai mahasiswa yang sudah dibangun sejak dahulu, telah menjadi permasalahan yang kian kompleks. Dari masa ke masa terdapat pergeseran pada nilai-nilai prinsipil yang mendasar hingga besar-besaran. Agaknya, budaya literasi barangkali sudah diwariskan oleh para tokoh-tokoh besar dari Sumatera Barat. Barangkali tidak ada satupun tokoh besar Sumatera Barat yang sukses tanpa literasi yang kuat.
Terus terang, melihat minimnya antusias mahasiswa menjadi pengunjung, ataupun seolah-olah tak mau berbaur dngan buku-buku, ialah fenomena yang mengerikan. Bagaimana mungkin mahasiswa harapan sumatera barat bisa menjadi penerus Buya Hamka, Agus Salim, Tan Malaka, Bung Hatta, Sutan Syahrir, M Yamin dan M Natsir. Tentu deretan beberapa nama tokoh Sumatera Barat tersebut sangat akrab dengan literasi, gemar membaca serta sangat produktif perihal tulis-menulis.
Para tokoh pergerakan bangsa Indonesia yang menentang imperialisme dan kolonialisme, ialah para literal yang sangat akrab dengan baca-tulis. Sehingga, dapat dipastikan oleh sebab rutinitas mereka itulah, menjadi salah satu faktor memperkuat peranannya sebagai pejuang kemerdekaan. Dengan mengakrabkan diri dengan literasi berarti menstimulus analisis yang kuat, pikiran yang tajam, serta meningkatkan wawasan mereka.
Jika seandainya menelisik lebih dalam lagi, maka dapat terlihat nyata di Dunia luar sana tidak ada satupun negara maju, yang memiliki masyarakat dengan daya literasi lemah. Dapat dipastikan, jika seandainya suatu masyarakat di suatu negara memiliki daya literasi yang kuat, maka akan maju negara tersebut. Berkaca kepada Amerika, Jepang, yang memiliki daya literasi yang kuat, dimanapun, kapanpun, baik itu dalam antrian, berjemur di pantai, masyarakatnya akan tetap membaca.
Barangkali tentu ini akan menjadi perenungan bagi mahasiswa, sebab budaya literasi sudah diterapkan sejak dahulu dalam kehidupannya. Tiada hari tanpa membaca dan menulis, buku dan pena telah mendarah daging. Kemudian, bagaimana warisan ini tetap terjaga, tetap menggelora pada pribadi-pribadi tentu ada ditangan mahasiswa tersebut. Jangan sampai warisan ini hilang ditelan zaman, bak pepatah minang “Alah limau dek mindalu, hilang pusako dek pancarian” artinya hilang kebudayaan kita, sebab ulah kebudayaan asing.
Selanjutnya, jika Mahasiswa tidak meningkatkan daya literasinya, berarti meruntuhkan peranannya sebagai mahasiswa sebagai insan akademis. Aktivitas mahasiswa yang bernanung dalam lingkup keilmuan tidak akan terlaksana, serta Tri Darma Perguruan Tinggi dalam melaksanakan pendidikan, penelitian dan pengabdian tidak akan pernah terwujud secara maksimal.
Berdasarkan data dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), bahwa Indonesia memiliki tingkat daya literasi baca-tulis sebesar 0,001%. Artinya, hanya 1 orang yang memiliki daya literasi dari 1000 orang. Kemudian, berdasarkan data Badan Statistik tahun 2022 menyebutkan bahwa, tingkat kegemaran literasi masyarakat Indonesia berada di angka 59,52 dengan durasi membaca hanya 4-5 jam saja perminggu, dan hanya 4-5 buku per triwulan.
Peran Sekolah Kita Menulis
Melihat data demikian, menunjukkan bahwa persoalan literasi ialah hal mendesak yang harus dibenahi. Oleh karena itu, kehadiran Sekolah Kita Menulis (SKM) mempunyai peran aktif dalam pembenahan ini. SKM dimaknai sebagai suatu wadah pengisi kekosongan gerak negara dalam menguatkan literasi masyarakat. Peran SKM dapat juga diartikan sebagai wadah pendorong, dan penyadaran generasi muda seberapa pentingnya literasi untuk kehidupan mendatang.
Melihat cita-cita negara Indonesia untuk menuju Indonesia Emas di tahun 2045, namun dengan literasi masyarakat yang kacau, membuat saya agak tergelitik menimbulkan tawa. Apakah mungkin negara Indonesia bisa menjadi negara maju dan negara adidaya lagi perkasa? Disini saya bukan maksud ingin meragukan, apalagi menertawakan cita-cita negara saya sendiri. Namun, ulah kekeruhan tingkat literasi bangsa itu sendiri yang menstimulus saya.
Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, bahwa tidak mungkin suatu negara bisa maju, jika masyarakatnya berdaya literasi lemah. Artinya, disini saya coba tekankan kepada negara, bahwa jika seandainya ingin mencapai cita-cita di tahun 2045, hal mendasar yang wajib dibenahi ialah daya literasi masyarakat. Pemerintah harus mendongkrak kekuatan literasi masyarakatnya, terkhusus mahasiswa sebagai pemegang tongkat estafet.
Dalam konteks ini, melihat kondisi negara yang belum mampu mendonkrak literasi masyarakat, maka Sekolah Kita Menulis hadir pasang badan untuk membantu negara, membopong negara pincang yang sedang tertatih-tatih menuju cita-citanya di tahun 2045, dengan berfokus arah gerakan berbasis penguatan literasi. Sekolah Kita Menulis bukanlah berbentuk sekolah formal, namun SKM hadir dengan pola pelatihan (Training).
SKM hadir dengan motode yang cukup kokoh, dengan mengkombinasikan semua kegiatan literasi, mulai dari memperkuat membaca, dengan teori, motivasi dan praktik menulis serta diskusi membedah permasalahan. SKM juga bergerak untuk mewujudkan isi UUD 1945 perihal mencerdaskan kehidupan bangsa, maka SKM akan hadir di segala penjuru Indonesia.
Sampai saat ini, sudah tercatat sebanyak 10 Cabang Sekolah Kita Menulis yang tersebar di Indoneia, mulai dari SKM cabang Jakarta, SKM cabang Tanjung Pinang, SKM cabang Medan, SKM cabang langsa, SKM cabang Lhokseumawe, SKM cabang Aceh Tengah, SKM cabang Aceh Tenggara, SKM cabang sigli, SKM cabang Banda Aceh, dan terkhusus tanah kelahiran saya, SKM cabang Padang.
Harapannya, dengan hadirnya SKM ini dapat melahirkan kembali tokoh-tokoh pemikir bangsa, yang ikut ambil bagian dalam memperjuangkan cita-cita negara Indonesia. Kemudian, terkhusus masyarakat Sumatera Barat agar dapat merawat dan menumbuh kembangkan budaya literasi ini, jangan sampai nama Sumatera Barat yang pernah harum sebagai daerah penghasil pemikir, intelektual hilang begitu saja. Mari bersama-sama mencerdaskan kehidupan bangsa, mari mengibarkan daya literasi untuk meningkatkan sumber daya manusia yang kompetitif menguasai ilmu pengetahuan.
BIODATA PENULIS
- Nama : Isa ismail
- Status/Jabatan: Pimpinan Sekolah Kita Menulis Cabang Padang
- Formateur/Ketua Umum Senat Mahasiswa STAIPIQ Sumatera Barat
- Alamat: Padang, Sumatera Barat