Oleh Zulfata
Pendiri Sekolah Kita Menulis (SKM), dan Pendiri Lembaga Inovasi Indonesia
Seorang rektor perguruan tinggi negeri di Lampung tertangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kampus jadi wadah predator seksual, pasar gelap suksesi pemilihan rektor, rektor gelar profesor palsu, hingga siswa sekolah dikerdilkan lantaran baju seragamnya telah usang. Rentetan peristiwa ini masih terjadi di Indonesia di umur 77 tahunnya, dari potret inilah kita harus melatih kejujuran untuk menilai kualitas pendidikan di negeri ini.
Apakah pendidikan di Indonesia sedang mengarah pada spirit pendidikan berengsek? Pendidikan yang menjadikan manusia pintar untuk korupsi, pintar menumbuhkan kesenjangan sosial yang membuahi kemiskinan tak berujung, serta pendidikan yang memprioritaskan golongan elite atau kelas atas. Terkadang kata berengsek mesti dilekatkan pada yang namanya pendidikan, sebab golongan yang merasa dirinya terdidik masih berkarakter berengsek, tidak becus, justru dengan tingginya jenjang pendidikan yang dilaluinya menjadikan ia benalu bagi rakyat, bangsa dan perdaban Indonesia.
Jika diuraikan lebih dalam, apakah faktor menjadikan pendidikan itu berengsek? Jawabannya pasti banyak, ada yang menyebutnya faktor watak, ekonomi, politik hingga kesehatan jiwa. Pendidikan berengsek menguat pada saat subjek yang menjalankan pendidikan terus mengantongi niat busuknya untuk tidak peduli saat merugikan orang lain asalkan dirinya mendapat tempat martabat tinggi dalam pengakuan sosial. Sehingga titel atau pengakuan akdemik yang dicapainya kreatif digunakannya sebagai topeng untuk mencuri atau merendahkan martabat manusia lain.
Demikian juga dengan faktor politik, untuk mendapat gelar atau jabatan apapun dalam panggung akademik, apakah itu jabatan rektor, wakil rektor atau dekan, mereka yang bergelimang dalam nuansa pendidikan berengsek menjadikan jabatan tersebut untuk berkuasa serta mendapatkan layanan bahkan mendapat daya sembah tinggi dari kalangan akademik yang memiliki strata di bawahnya. Pada posisi ini, dengan kesadaran pendidikan berengseknya, seorang rektor atau seorang pengajar/guru menganggap orang bodoh adalah sesuatu yang harus berjarak dengan dirinya, atau dapat memperlakukan orang lain dengan semena-mena.
Parahnya otoritas pendidikan yang melakat pada seorang yang mengkristal pendidikan berengseknya mampu memanipulasi publik seolah-olah tidak ada solusi lain jika tidak ada keikutsertaan buah pikirannya. Seolah-olah yang menjalani pendidikan formal cenderung memiliki daya solusi tinggi, seolah-olah dengan menjalani pendidikan formal sudah hilang wataknya. Sehingga semua guru besar/guru sekolah bahkan kalangan akademik apapun namanya tidak dapat lepas begitu saja dari perangkap karakter berengsek. Oleh karena itu daya pendidikan yang melekat pada seseorang pasti berubah, berubah dari baik ke buruk, atau sebaliknya dari buruk ke baik, dari cerdas ke bijaksana, atau dari bijaksana ke buas karena panggung penghormatan publik yang disandangkan padanya.
Faktor ekonomi juga mempengaruhi manusia menggeluti pendidikan berengsek ini. Tujuan pendidikan tidak lagi melihat keseimbangan antara cara bertahan hidup dengan temuan karya pengetahuan untuk bermanfaat bagi publik. Tetapi tujuan pendidikan dimanipulatif sebagai ladang mencari kerja dengan cara membabi buta, menumpuk kekayaan, mengolah administrasi riset untuk memenuhi nafsu birahi pribadi maupun keluarga.
Sehingga faktor ini menggiring kesadaran kita terkait mengapa hasil-hasil riset yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan tinggi di Indonesia jarang dipakai atau tidak dapat dipakai karena tidak sesuai dengan solusi dalam membenahi pendidikan dan problem kesejahteraan rakyat Indonesia. Buktinya boleh kita temukan fakta dengan menghitung seberapa banyak lembaga pendidikan tinggi di negeri ini? sudah berapa lama kampus-kampus berdiri? Sudah berapa banyak alumninya? Serta temukan daya perannya dalam memperbaiki bangsa dan pemerintah Indonesia? Pasti dari banyak jawabannya adalah faktor pendidikan Indonesia yang merdeka di usia 77 tahun belum mampu memperkuat integritas para penjabat yang usai menempuh pendidikan tinggi, atau spirit pendidikan belum mampu memberi daya imun dan stabilitas demokrasi di negeri ini.
Inilah benang merah pendidikan Indonesia yang belum mampu diuraikan dengan baik oleh lembaga pendidikan, baik itu pendidikan pemerintah maupun swasta. Pendidikan di Indonesia masih terjebak pada bongkar pasang kurikulum, lomba “keren-kerenan” nama program, tidak terkecuali dengan bobroknya pendidikan di tangan menteri Nadiem Makarim yang tidak sesuai dengan keinginan presiden Joko Widodo untuk mengurangi kesenjangan pendidikan akibat masih banyaknya daerah pinggir Indonesia yang belum mendapatkan akses pendidikan yang layak.
Sungguh program pendidikan merdeka yang diumbar oleh Menteri Nadiem Makarim hanya sebatas propaganda pendidikan yang ompong dan tidak berdambak efektif bagi perbaikan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Sebab daya sentuh pendidikan nasional tidak hanya untuk wilayah kota-kota besar, tetapi juga harus sampai ke pelosok daerah yang ditandai dengan berdirinya gedung atau “gubuk” sekolah.
Tidak lebih bobrok dari itu, pendidikan di bawah kementerian agama juga makin kacau, spirit moderasi beragama tampak mengarah pada pelemahan kebangkitan ekonomi politik di dalam negeri saat menghadapi gelombang ekonomi asing. Seolah-olah moderasi Bergama tidak memliki daya dampak bagi pelemahan daya juang umat mayoritas dalam membela tanah air yang dijajah secara ekonomi oleh asing. Seolah-olah moderasi beragama tidak ada kaitan dengan egenda politik tertetentu. Spirit moderasi beragama seolah-olah menutup mata pada agama minoritas yang juga dapat berulah menjadi sumber masalah ketimpangan ekonomi di daerah. Ingat, moderasi beragama memang bukan masalah kaum mayoritas dan minoritas, jauh lebih penting adalah bagaimana moderasi beragama dalam naungan kementerian agama yang dipimpin oleh Menteri Yaqut Cholil Qoumas berdampak nyata untuk menurunkan mentalitas korupsi di jajaran birokrasi kementerian agama, termasuk kasus korupsi laten di lembaga perguruan tinggi islam.
Pertalian pendidikan berengsek akan terus menjadikan ekosistem pendidikan yang berengsek pula. Mulai dari rektornya berengsek, mahasiswa berengsek serta pengajar yang berengsek pula. Demikian juga di kalangan sekolah, pimpinan sekolah berengsek hingga wali murid yang merengsek. Dari hari ke hari, tahun berganti tahun, rakyat Indonesia terus hidup bergelimang keberengsekan pendidikan ini. Kemudian permasalahan yang dianggap tabu terkait fakta keberengsekan pendidikan ini dianggap tidak elok dibahas, sehingga tidak sadar pada gejala menumbuhnya pendidikan yang terus merusak bangsa dan negara dari dalam negeri sendiri.
Apa jadinya kualitas sumber daya manusia di Indonesia saat potensi dan gejala pendidikan berengsek ini tidak dibumihanguskan? Apakah cita-cita proklamasi kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa akan tercapai selama spirit pendidikan berengsek ini terus menguat dari masa ke masa?
Kemungkinan terjadinya peningkatan statistik meningginya manusia bersekolah formal dan meningginya jumlah manusia bertitel akademis namun tidak berkarakter dan tak bermoral akan terus dialami oleh Indonesia selama 20 tahun ke depan. Permasalahan ini adalah persamalahan besar yang mesti cepat dibenahi oleh segenap bangsa ini. Bom waktu pendidikan berengsek yang terus menciptakan predator manusia ini tidak sedang dialami oleh generasi masa kini, tetapi juga akan terwariskan di masa depan. Atas dasar itu pula kita hari ini tidak keliru mengatakan kita sedang merdeka dalam keterjajahan akibat salah urus pendidikan di negeri sendiri. Bukankah akibat salah urus yang dibiarkan terus menerus dapat menjadikan suatu negara bisa hancur? Wait and see.