Oleh Zulfata
Pendiri Sekolah Kita Menulis (SKM). Email: fatazul@gmail.com
Indonesia telah mengalami apa yang disebut Tsunami informasi. Bagaikan gelombang Tsunami, over informasi dapat meluluhlantakkan siapa saja saat tidak memiliki kemampuan dalam membedakan mana yang fakta dan mana yang fiktif. Hadirnya fenomena post truth telah memberi bukti terhadap rakyat Indonesia bahwa sikap yang mengedepankan emosi secara sepihak yang kemudian menjelma seolah-olah menjadi kebenaran yang mesti diperjuang telah menjadikan dunia informasi sebagai nilai tambah perpecahan rakyat. Parahnya, fenomena post truth terus ini dikelola bahkan diinovasikan oleh praksis-praksis politik di panggung demokrasi lima tahunan.
Tsunami informasi telah menjadi keniscayaan hari ini, generasi masa kini bahkan masa depan tampak akan terus mengalami ketergantungan dengan formulasi informasi yang dimainkan oleh algoritma (Artificial Intelligence) sebagai hulu, dan media sosial (medsos) sebagai perangkat menghilirkan informasi. Medsos sebagai ruang ekspresi publik yang tidak dapat dikontrol oleh kelompok konsumen informasi dapat membentuk ruang adu gagasan, bertukar pendapat, bahkan saling merendahkan opini satu dengan opini lainnya, yang kemudian tidak jarang mengakibatkan kontak fisik dan menyebabkan kematian.
Sementara itu, kehadiran opini tidak boleh dimatikan karena ada yang mengklaim bahwa opni terlalu subjektif. Dalam konteks menulis opini (salah satu genre penulisan populer), tidak semua opini bersifat tidak dapat diterima sebagai rujukan bagi publik, sebab karya tulis opini sangat tergantung pada kualitas sosok yang menulis opini. Jadi, karya ilmiah seperti jurnal, skripsi, tesis dan disertasi tidak boleh menciptakan landasan bahwa keberadaan opini itu rendah. Karena karya opini jauh lebih aktif dan strategis dalam menghidupkan nalar publik, terutama dalam menjaga nalar publik di tengah Tsunami informasi yang dialami Indonesia saat ini.
Benar bahwa karya tulis opini termasuk ke dalam bagian yang mengakibatkan Tsunami informasi, namun keberadaanya ini paling tidak dapat mengarah pada upaya pembentang atau pembuka jalan bagi adanya perbandingan fakta, analisis bahkan solusi yang ditampilkan dalam sebuah karya tulis opini. Dengan kata lain, berupaya mendorong generasi muda untuk aktif menulis opini itu sama artinya kita sedang berupaya untuk mengelola Tsunami informasi agar tidak membawa bencana bagi rakyat dan bagi negara.
Coba bayangkan ketika intensitas menulis opini cenderung terjadi pada upaya menjaga kepentingan penguasa yang rakus, tentu keberadaan karya opini akan menjadikan strategi atau wadah dalam memperkuat alasan untuk memuluskan kehendak kebijakan penguasa rakus akan mudah terjadi. Jangan sempat semangat menulis opini yang dilakoni oleh para pendiri bangsa (founding fathers) menjadi lemah untuk generasi Indonesia hari ini.
Jangan sempat pula spirit menulis secara akademis di kampus menjadikan karya tulis opini di ruang publik menjadi mati. Matinya karya tulis opini sama artinya dengan matinya ruang dialetika publik dalam mewaraskan produk kebijakan negara. Saat semua pihak meyakini bahwa menulis opini adalah bagian dari pencerdasan akal nurani dalam mencerdaskan publik, maka mengapa arus menulis opini dalam membela rakyat justru tampak melemah hari ini? Di mana peran kampus? Semoga pebaca tidak menjawab bahwa kampus telah sibuk dengan belenggu penjajahannya yang disebut “beban administrasi” atau perintah rektor boneka dari menteri yang tidak pro-rakyat.
Dalam konteks menggairahkan menulis opini dalam Tsunami informasi di Indonesia hari ini, jangan berharap banyak untuk dimotori oleh dunia kampus, karena dunia kepemimpinan dan kebijakan kampus hari ini justru hampir tak ada bedanya dengan lembaga yang anti karya yang bernuansa kebebasan berpikir dan bertindak dalam mencerdaskan publik. Padahal cita-cita proklamasi Indonesia bermuara pada garis mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan menulis untuk sekadar berlomba-lomba mengejar angka pangkat atau lebel kampus tertinggi publikasi. Sungguh konyol ketika semangat mengejar publikasi tetapi tidak berdampak bagi progres pencerdasan publik. Praktik yang dilakoni kampus seperti ini sejatinya adalah praktik kolonial yang dibungkus rapi secara akademik oleh perguruan tinggi.
Untuk itu, gairah menulis harus dihidupkan oleh lembaga-lembaga non pemerintah, terutama oleh organisasi mahasiswa. Dengan seimbangnya karya opini dari kalangan pemerintah dengan karya opini non-pemerintah, maka dipandang akan terjadinya keseimbangan untuk mencerahkan informasi yang akan didapat publik. Mendorong generasi muda menulis opini semakin penting seiring eksistensi pendengung (buzzer) yang semakin mendapat tempat dalam prkasis politik di Indonesia.
Tanpa mengurai manfaat personal saat generasi muda menulis opini, karya opini generasi muda di Indonesia harus mampu berkontribusi dalam menyelamatkan demokrasi di Indonesia. Melaui karya opini menuju daya kuat implementasi Pancasila. Dengan karya tulis opini pula generasi harus mampu menyingkirkan narasi-narasi perpecahan yang sengaja diletupkan, atau narasi penggiring untuk melegalkan kebijakan negara yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Kesadaran menulis opini seperti inilah yang terkadang tidak disukai oleh penguasa, dan penguasa dengan kekuasaannya tidak jarang terlihat terus menciptakan upaya pasar atau menggiring dunia akademis bahwa menulis opini itu adalah karya rendah, seolah-olah subjektif yang selalu dipandang buruk serta tidak alamiah. Untuk itu, generasi muda di Indonesia saat ini merdekalah dalam menilai dan menulis opini.
Demikian pula saat publikasi, meski sebagai pemula dalam menulis opini sulit dipublikasi, jangan merasa kecil hati atau gundah. Begitu pula dengan soal terbit atau tidaknya karya opini di media lokal atau nasional, semua ini bukanlah tolak ukur yang tunggal bagi sebuah ukuran opini yang menarik. Sebab bisa jadi indutri pers tidak menarik dengan tema atau judul karya opini tertentu dikarenakan industri pers tersebut memiliki hubungan terselubung dengan jaringan penguasa.
Jadi, dalam menulis opini bagi pemula atau yang ingin memulai, jangan jadikan persoalan publikasi opini sebagai momok yang menakutkan, sehingga mengakibatkan tidak jadi menulis opini secara berkelanjutan. Jauh lebih penting adalah terus berusaha melahirkan karya opini. Jika karya opini telah siap ditulis, maka berusahalah untuk dapat dipublikasikan. Jika tidak, maka tulis lagi dengan tema yang lain dan berusaha untuk mencari celah agar dapat dipublikasi. Kemudian, teruslah menulis opini dan yakinlah suatu saat akan terpublikasi. Sehingga gagasan yang tertuang dalam karya tulis opini dapat menjadi bagian dari agenda mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, penting untuk disadari bahwa dengan menulis opini secara berkelanjutan, maka kita telah ikut berkontribusi dalam memperkuat Indonesia dari ancaman Tsunami informasi saat ini bahkan masa depan.