Oleh Zulfata
Pendiri Sekolah Kita Menulis (SKM) dan Pendiri Lembaga Inovasi Indonesia (LII)
Kartel, kampus dan koruptor hampir menjadi nama lain dari Indonesia. Kartel menyebabkan monopoli pasar semakin menguat, sehingga berbagai program kesejahteraan rakyat yang dijalankan pemerintah bagaikan singa ompong. Begitu pula dengan keberadaan kampus, yang seakan tak berdaya meningkatkan angka keteladanan usai mendapat gelar pendidikan yang berjenjang. Sehingga koruptor masih mendapat tempat yang nyaman dibalik penentu kebijakan di level nasional maupun lokal.
Pada tahapan ini perlu disadari bahwa apakah kartel, kampus dan koruptor merupakan mata rantai yang saling menguatkan? Apakah kampus mengorbitkan para subjek kartel? Apakah pada saat koruptor menjelma menjadi kartel mendapat karpet merah dalam penentuan calon presiden, wakil presiden bahkan menteri? Apakah untuk menjadi rektor mesti mengikuti hasrat narasi rezim dari pembantu presiden? Pada rentetatan pertanyaan inilah penulis mengajak pembaca untuk sama-sama menjawabnya. Sehingga hadirnya aktualisasi penyadaran terkait bagaimana konsolidasi kerakyatan untuk menyelamatkan bangsa dari ancaman virus 3K (kartel, Kampus dan koruptor) ini.
Jika kartel memiliki kemampuan otoriter dalam menentukan peta persaingan, atau satu-satunya pemasok dari kebutuhan pasar, maka kampus yang seharusnya melahirkan manusia-manusia merdeka kemudian disulap menjadi manusia yang “tertib”, “sopan” dengan tidak menyebutnya budak atau berpikiran bebal. Aktivitas kampus yang dimaksud telah menjadi miniatur negara otoriter, tidak ada celah untuk menjadikan rakyat “mahasiswa” untuk berdaulat dalam mewujudkan misi sucinya tri dharma perguruan tinggi. Lanjutannya, kampus seakan rabun dengan kedalaman makna tri dharma perguruan tinggi tersebut, sehingga aksi menjalankan amanah tri dharma perguruan tinggi, justru yang terjadi adalah praktik transaksi bermotif biaya pendaftaran, biaya kelulusan dan nama kreatif korupsi lainnya.
Jika dicermati secara serius terkait kondisi berdemokrasi di Indonesia, hampir banyak sistem yang menggrogoti daya tahan bangsa ini, untung saja modal kebangsaan Indonesia masih “keramat”, apakah keramatnya bangsa ini diakibatkan oleh jiwa rela berkorbannya para pahlawan bangsa yang tercatat di mata pelajaran sekolah maupun yang tidak tercatat. Yang jelas kehadiran sistem-sistem yang disinggung dalam tulisan ini dapat dipastikan jika terus dibiarkan, maka akan mengakibatkan kerapuhan bagi kekuatan bangsa di masa depan.
Generasi muda saat ini harus menentukan sikap bahwa mencegah lebih baik dari pada mengobati, sistem-sistem yang dimaksud adalah sistem tatakelola kampus, sistem tatakelola pasar (ekonomi nasional), hingga sistem tatakelola pemberantasan korupsi (politik lima tahunan). Fakta keindonesiaan seperti ini dapat dijadikan semacam pukulan untuk menampar generasi muda Indonesia agar bergegas untuk berbenah, terutama di kalangan mahasiswa di seluruh Indonesia. Menguraikan kebrobrokan terkait keberadaan kartel, kampus dan koruptor di negeri ini bukanlah bagian dari pemupukan semangat pesimisme generasi muda, tetapi harus dimaknai sebagai daya dorong untuk segera dan berkelanjutan untuk dibenahi.
Lantas bagaimana cara membenahi kartel? Bagaimana cara membenahi kampus? Kemudian bagaimana cara membenahi koruptor? Secara normatif memang Indonesia mesti memperkuat keadilan hukum, kepastian hukum serta keberpihakan hukum atas kedaulatan rakyat, tanpa itu akan menjadi tantangan lebih berat saat ingin membenahi situasi dan kondisi yang sedang dihadapi. Sehingga generasi muda membutuhkan kekuatan ultra-ekstra.
Mengurai untuk menciptakan solusi soal ini memang ibarat seperti mencari jarum dalam jerami, ibarat mengurai benang kusut. Namun demikian, bagi generasi muda khususnya mahasiwa tidak boleh lari dari masalah kebangsaan yang sedang dihadapi, Masalah ini harus dihadapi dan harus dilewati sekuat mungkin. Sebab mahasiswa harus menemukan bagaimana cara mensiasati agar generasi selanjutnya tidak tercemari otak dan perilakunya sebagai akibat dari kekacauan sistem-sistem bobrok yang sengaja dibiarkan dan dipertontonkan.
Dengan satu kata “berani” mungkin bisa jadi pintu masuk bagi mahasiswa untuk terus mengobarkan bendera perlawanan, api gerakan untuk membongkar misteri di balik menguatnya perselingkuhan antara kartel, kampus dan koruptor di negeri ini. Menyebut tidak ada koruptor di kampus adalah naïf. Mengatakan kartel itu membiayai proses politik mungkin telah menjadi keniscayaan bagi Indonesia hari ini. Menyindir pemberantasan korupsi tampak tebang pilih, itu bisa jadi. Mentalitas keberanian bagi generasi muda harus terus dipupuk, maju terus pantang mundur adalah bagian dari proses merawat jiwa kesatria dan daya juang seorang mahasiwa. Jika mentalitas seperti ini tidak terus diasah sejak menempuh pendidikan tinggi, maka tidak ada gunanya mahasiswa menduduki perguruan tinggi tersebut.
Tidak ada yang melarang untuk membubarkan kampus jika kampus terntentu menyimpan bom waktu bagi kekacauan sosial, mencetak manusia budak, mudah dibodohi dengan topeng yang mengatasnamakan pendidikan tinggi. Sebab level tertinggi dari sebuah kesadaran yang terdidik adalah rasa merdeka. Kemerdekaan itu bermakna tindakan yang keluar dari kesadaran untuk berani menyuarakan yang benar tetap benar, yang salah tetap salah, tidak ada keraguan di antara itu.
Martabat mahasiswa harus terus dijaga mesti kampus akan runtuh malam ini, kampus jangan dibiarkan seperti praktik kartel dalam mengelola pasar. Mahasiswa harus menjadi penyambung lidah rakyat, mahasiswa mesti mampu merasakan denyut nadinya masyarakat tertindas. Jika prinsip ini bertentangan dengan kampus atau pengajar kampus, maka kampus atau pengajar kampus tersebut terjangkit masalah kesadaran moral berbangsa yang dangkal. Mahasiswa mesti membuka ruang untuk meluruskan substansi pendidikan yang benar-benar memerdekakan manusia dari segala bentuk pembodohan dan pembungkaman. Siapapun yang menghadangnya mesti dilawan, apakah itu rektor, bahkan presiden sekalipun. Sebab cita-cita kemerdekaan Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan memanipulasi anak bangsa.
Atas nama institusi pendidikan serta apapun jabatan tertentu yang melekat kepada seseorang tidak boleh merubah makna pendidikan adalah perlawanan. Mahasiswa yang melawan kediktatoran pejabat kampus bukan berarti mahasiswa yang kurang ajar, mungkin perlawanan mahasiwa tersebut sedang melakukan proses menyalakan akal sehat agar tumbuh mewarnai kampus dan sekitarnya. Spirit ini sesuai dengan para pendiri bangsa yang menempuh pendidikan di Belanda, namun setibangnya di tanah air mereka mengolok-ngolok Belanda bahkan melawan Belanda dengan berbagai siasat yang mereka lakukan.
Jika benar ada kampus yang persis dijalankan seperti kololonial Belanda, maka itu adalah musuh Pancasila. Demikian juga praktik kartel juga musuh Pancasila, seterusnya Koruptor juga musuh Pancasila. Lantas mengapa di umur Indonesia ke-77 tahun ini surplus teriak Pancasila namun minus implementasi Pancasila. Justru yang terlihat adalah menguatnya upaya pembenihan mentalitas kolonial di dalam lembaga pendidikan. Membuka ruang kuasa bagi kartel? Tebang pilih menangkap koruptor? Bahkan ada partai politik penguasa yang mahir menyulap koruptor yang ada namun tiada di negeri ini. Sungguh Indonesia ini unik dan ajaib.
Saking uniknya, yang menulis dan berkata jujur terkait realitas kekinian disebut sok idealis, dan mahasiswa yang berjuang menegakkan kebenaran disebut kurang ajar. Sungguh pandangan kerdil seperti ini dikembangkan atau dipopulerkan oleh siapa? Hayo tebak? hehe