Oleh Dwi Setiawan
Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM) Cabang Langsa. Email: dwisetiawan1998@gmail.com
Manusia selalu berpikir pragmatis dalam menunjukkan bahwa dia lebih baik dari orang lain entah itu dari segi kebaikan ataupun keburukan. Ego dan kesombongan sektoral ini lah yang selalu muncul merusak fitrah yang semestinya ada pada manusia dan berujung pada unsur kepentingan personal ataupun kelompok.
Kita tidak pernah kekurangan orang-orang yang punya pemikiran-pemikiran maju karna setiap eranya dalam transformasi zaman, pemikiran juga selalu berkembang lebih maju. Namun seiring dengan perkembangan zaman, terkadang kita lebih kekurangan orang-orang yang punya kesadaran bahwa manusia terikat oleh Tuhan, bukan sekedar memiliki ilmu tentang Tuhan namun berujung ke kepentingan personal ataupun penilaian orang-orang demi bisa disebut publik figur.
Dalam tulisan ini penulis menyebutnya Memolitikkan Tuhan demi mendapatkan kepercayaan manusia. Maka dalam hal ini perlu ditanamkan kesadaran lagi bahwa sebaik apapun kita menjadi manusia tetap tidak bisa menjadi tuhan atau menuhankan manusia.
Diera sekarang sepertinya telah menjadi kebiasaan kita harus menghamba kepada manusia untuk bisa mendapatkan jabatan dan kekayaan. Bahkan banyak juga yang membayar uang kecil untuk mendapatkan kesempatan mengambil uang besar dalam mencapai jabatannya. Hal inilah yang menjadikan pupuk untuk benih-benih korupsi di negeri ini semakin menjadi, inilah kebiasaan figur jenis perampok yang dibalut dengan mode intelektualitas.
Berbagai macam dan rupa jenis figur publik juga belakangan mulai banyak bermunculan. Penulis menyebutnya, seni populis atau drama adu tampil. Mengingat beberapa waktu kedepan panggung politik akan digelar dinegeri ini. Dalam berpolitik sejatinya kita memang harus pintar. Berbagai mode kini mulai banyak tampil diberbagai panggung rakyat. Padahal, masa kampanye pemilu belum juga dimulai.
Baliho dan spanduk berisi gambar wajah publik figur politisi dan lambang berbagai partai politik mulai bertebaran dimana-mana. Seakan-akan para tokoh publik dan latar belakang kelompoknya ini, hadir untuk berlomba-lomba memulai start dan memampangkan wajah agar siapa yang dikenali terlebih dahulu oleh rakyat.
Subtansinya yang ingin disampaikan disini, apakah nilai-nilai independensi seseorang harus digadai oleh kepentingan ideologi kelompok-kelompok partai yang sudah mulai bergeser hari ini?
Bukankah tujuan partai politik adalah mewujudkan cita-cita nasional bangsa indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bukankah partai politik berfungsi sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.
Apakah semua itu masih kita rasakan saat ini, atau apakah mungkin tujuan dan fungsi partai kini sudah mulai bergeser, bukan lagi untuk kepentingan rakyat, melainkan semata-mata hanya untuk kepentingan kelompok partai?
Namun penulis percaya dan berharap bahwa tidak semua pejabat atau yang penulis sebut “publik figur” ini telah kehilangan pijakan independensinya demi rakyat dan juga partai tidak kehilangan idealismenya untuk memberikan hak independensi kepada publik figurnya demi kepentingan rakyat.
Terakhir penulis menitipkan pesan untuk para publik figur besertai kelompok partainya, untuk tetap bekerja ikhlas demi kepentingan rakyat, bukan lagi saling adu tampil dan menunjukan seni populis tentang partai mana yang lebih baik. Karna jika publik figur ini terus adu tampil dan menunjukan seni populisnya terus-menerus dan tidak bekerja dengan ikhlas untuk rakyat. Maka penulis khawatir rakyat harus kerja untuk diri sendiri, karna pejabatnya sibuk untuk promosi.