Oleh ZulfataIndonesia sempat gempar sejenak usai anggota komisi VI DPR RI Rafli menyuarakan agar ganja dapat dijadikan sebagai komoditi ekspor. Kegemparan usulan legislasi ganja tersebut ternyata tidak hanya menyentuh nalar kalangan pemuda, tetapi juga membuat salah-satu partai politik nasional sedekit “bergetar”, bahkan kalangan istana pun tampak bijaksana menghadapi fenomena ini melalui pernyataan juru bicara presiden dan wakil presiden waktu lalu.
Hadirnya tulisan ini sejatinya bukan menerima legislasi ganja tanpa catatan, dan bukan pula menolak tanpa pertimbangan. Tetapi tulisan ini mencoba membuka ruang diskusi bagi publik untuk mengurai bagaimana memahami cara pandang terkait apa yang diusulkan oleh anggota DPR-RI asal Aceh tersebut, sehingga dengan adanya diskusi melalui sudut pandang yang logis, maka kegaduhan sosial tidak akan terjadi, justru pendidikan publiklah yang ditemui.
Dalam konteks ini, menjadikan ganja sebagai pokok persoalan tentunya dapat memicu berabagai varian tafsir, karena ganja adalah salah-satu jenis tumbuhan yang dapat mengakibatkan dampak positif dan negatif. Beberapa narasi yang muncul terkait ganja di antaranya adalah ganja merupakan jenis tumbuhan yang dilarang peredarannya secara hukum. Selain penggunaanya dapat mengakibatkan kerusakan mental bagi rakyat Indonesia juga mendapat penolakan bagi kaum agama di Indonesia dalam konteks tertentu. Negara melalui Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN-RI) selama ini tampak serius dalam memberantas penyalahgunaan narkoba yang didalamnya juga termasuk soal ganja.
Jika dicermati secara proporsional, usulan legislasi terkait ganja bukanlah suatu yang aneh dalam negeri ini, terlebih prinsip demokrasi telah menjamin seseorang untuk menyuarakan aspirasinya. Lantas soal nantinya diterima atau tidak, itu adalah bagian dari proses akhir yang secara otomatis akan terhenti sendiri. Menariknya, melalui fenomena ini paling tidak telah membuka celah berfikir bagi publik dan pemerintahan apakah salah mengelola ganja jika digunakan pada kebutuhan medis yang dikelola secara khusus? Adakah penelitian serius di republik ini meneliti terkait manfaat ganja dalam dunia medis? Atau sebatas ambivalensi yang kemudian konsepsi penolakan ganja dalam kebutuhan medis hanya sepatas asumsi politis tanpa landasan ilmiah? Kemudian apakah keliru seutuhnya jika tatakelola ganja dalam mengembangkan dunia medis mendapat kepastian dan keadilan hukum yang tidak serta mertanya ganja bebas dipergunakan dan diperdagangkan? Atas dasar rentetan pertanyaan inilah semestinya kita mencoba mencari benang merah tanpa meresponsnya dengan landasan asumsi yang berbalut euforia.
Pada posisi ini penulis bukanlah mendukung pihak yang menentang atau menerima pengelolaan ganja sebagai peluang pasar bagi kebangkitan ekonomi nasional. Tetapi jangan sempat pula larangan penggunaan ganja mengakibatkan publik atau praktisi tidak mendapat tempat untuk mengaktulisasikan risetnya terkait inovasi ganja yang tidak merusak manusia.
Tentunya dalam pengembangan hasil riset terkait ganja dapat menciptakan berbagai kemungkinan, mungkin saja saat ini ganja belum dapat dioptimalkan pengembangannya karena situasi demokrasi Indonesia saat ini yang masih tertatih-tatih, dan mungkin saja setelah diriset ternyata ganja dapat memberi nilai tambah bagi kebutuhan inovasi dunia medis di tanah air, yang kemudian akan berdampak baik pada pasar dalam negeri maupun luar negeri (ekspor).
Meskpun pemerintah pusat tampak belum cukup tinggi hasratnya untuk meneliti terkait kebutuhan inovasi ganja dalam dunia medis, sehingga semangat riset nasional pemerintahan Joko Widodo-Maaruf Amin belum memberi restu terhadap penelitian inovasi ganja. Maka disinilah peran perguruan tinggi untuk menyelesaikannya melalui program-program riset terpadu untuk mendalami manfaat ganja. Sehingga anggapan komiditi pelarangan ekspor ganja sebagai bentuk konspirasi global yang dimaksud anggota DPR-RI Rafli beberapa waktu lalu dapat dibantahkan secara ilmiah, atau justru sebaliknya ternyata benar bahwa “stagnan” dalam memahami ganja adalah bagian dari bentuk konspirasi global.
Sejatinya mendiskusikan ganja saat ini bukanlah semata-mata untuk seorang anggota legislatif, tetapi sebagai peluang melihat peredaran ganja yang marak di Indoensia dapat disikapi melalui kekuatan out of the box, sehingga melahirkan suatu kebijakan transformatif di mana ganja yang dulunya sebagai ancaman generasi Indonesia kemudian dapat berubah menjadi daya dorong bagi inovasi medis di Indonesia untuk dunia. Gagasan seperti inilah yang disebut dengan politik ganja, di mana ganja dapat dikelola sekreatif dan seinovasi mungkin melaui proses politik yang berbasis riset yang matang.
Memahami manfaat ganja saat ini bukanlah tanpa data yang kosong, beberapa peneliti telah menyampaikan bahwa ganja cukup baik dalam dunia medis terutama ketika mengobati penyakit kanker. Berbagai seminar publik pun telah dilakukan meskipun belum masif di seluruh Indonesia, dan media massa tampak telah dipandang cukup proporsional dalam mewartakan polemik ganja di nusantara.
Jika menulusuri sejarah manfaat ganja secara kultural, Aceh dapat dijadikan sebagai kawasan yang unik terkait ganja dengan tidak menyebutnya bahwa Aceh identik dengan ganja. Diakui atau tidak, tradisi kuliner Aceh sebelum ada bumbu-bumbu semacam micin yang beragam dewasa ini, justru Aceh dulunya menggunakan ganja sebagai bumbu tradisional saat memasak daging. Peneliti manuskrip sejarah Aceh Tarmizi Hamid dalam kitab Tajul muluk mengutarakan bahwa telah menjadi warisan kesultanan Aceh pada abad ke-18, di mana Aceh dulunya sempat menjadikan ganja sebagai bahan pengawet makanan dan penyedap rasa yang tidak disalahgunakan bagi kehidupan manusia (CNN Indonesia). Terlebih perilaku yang mengarah pada kerusakan mentalitas manusia sungguh dilarang dalam ajaran Islam. Realitas sejarah ini tentunya sangat relevan dengan sejarah peradaban Islam di Aceh, sehingga ajaran Islam yang disadari secara pendidikan kultural dapat mengakibatkan penggunaan ganja secara profesional dalam artian digunakan hanya sebatas bumbu-bumbu masakan.
Benar bahwa lain dulu beda sekarang, dulu masa kerajaan, kini masa negara hukum. Namun perubahan zaman tersebut tidak menghalangi cara untuk menggali manfaat ganja dengan maksud bukan untuk menentang hukum yang berlaku, tetapi mencoba membuka peluang inovasi dunia medis. Pada posisi inilah semestinya negara hadir untuk memberikan edukasi pada publik agar tidak serta-merta dihadang dengan penolakan tanpa tindak-lanjut yang terukur dan realistis.
Terkadang kita patut melirik bagaimana negara di luar Indonesia. Kanada misalnya, negara ini mendapat keuntungan dari penghasilan ganja untuk dunia kesehatan (CNBC Indonesia, 17/10/2018). Dalam konteks ini bukan untuk meniru Kanada seutuhnya, paling tidak memberi pengayaan bagi Indonesia bahwa mengapa Kanada mampu mengolah ganja untuk inovasi kebutuhan kesehatan bagi negaranya. Namun demikian tentunya mengurai benang kusut terkait ganja dan riset inovasi ini bukanlah pekerjaan tanpa resiko, dan bukan pula tak digarap karena ada resiko. Sebab terdapat sebuah keyakinan bahwa suatu keberhasilan kebijakan negara dapat diukur melalui besarnya potensi resiko mencerminkan manfaat yang besar pula.
Akhirnya, ketika Indonesia mampu mengurai benang kusut terkait ganja ini nantinya bukan hanya dapat mencerdaskan rakyat Indonesia dalam merespons dinamika legalisasi suatu komoditi, tetapi juga dapat memicu pola pikir publik bahwa apa yang selami ini diyakini selalu membawa dampak perusak, ternyata juga terselip potensi kebangkitan ekonomi yang strategis. Untuk itu, mari kita tunggu apakah negara Indonesia akan serius menggarap riset terkait ganja dan medis dalam meningkatkan perekonomian nasional? Wait and see !
Zulfata, S.Ud., M.Ag., Direktur Badan Riset Keagamaan dan Kedamaian Aceh Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry. Email: fatazul@gmail.com