Oleh Zulfata, M.Ag
Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM). Email: fatazul@gmail.com
Karu adalah satu kata dari bahasa Aceh yang memiliki pertalian makna dengan konflik, ricuh, kacau, gawat, berantakan, heboh, biang kerok, rebut, bikin onar, bising, sibuk hingga lasak. Memang dalam berbahasa sulit dipolisikan atau diberikan pembatasan makna, sebab bahasa merupakan komunikasi yang tumbuh dari cara berfikir, berpilaku dan beradaptasinya masyarakat. Termasuk pula dalam memaknai kata karu dalam konteks sosial, budaya dan politik di Aceh.
Secara sosiologis, mungkin pembaca pernah mendengar percakapan sesama masyarakat Aceh dengan mengeluarkan kalimat “bek karu”. Kalimat ini tidak dapar diartikan secara etimologi saja dengan mengartikan “jangan ribut”. Sebab bisa saja diartikan dengan makna “jangan lasak”. Maka dari itu, kontekstualisasi antara pengguna bahasa sangat menentukan makna yang dimaksud dalam menggunakan kata karu.
Jadi, varian makna dari kata karu sulit dihindari, atau lebih tepatnya permainan bahasa dari kata karu cenderung digunakan dalam komunikasi politik atau propaganda politik. Misalnya muncul jargon “Hanakaru Hokagata” yang dimainkan oleh mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Hanakaru Hokagata secara makna yang sempit dapat diartikan upaya dalam menyampaikan pesan politik kepada kelompok diaspora Aceh di luar negeri bahwa “tidak di masa konflik lagi, dimana kamu”.
Dalam konteks kajian hermeneutik (penafsiran), antara pembuat teks, pembaca teks dan makna teks itu sendiri sangat relevan untuk memahami posisi kata karu ini. Terkait Hanakaru Hokagata, secara makna utuhnya hanya dapat dipahami oleh Irwandi Yusuf, namun dari sisi pembaca teks, bisa jadi makna Hanakaru Hokagata tidak seirama dengan apa yang dimaksud oleh pembaca atau khalayak ramai. Lain lagi Hanakaru Hokagata secara makna teks itu sendiri, maka teks terkadang sulit mempertahankan makna dirinya sendiri (baca filsafat hermeneutik). Apa yang dilakukan oleh Irwandi Yusuf ini dalam mengemas kata karu secara tidak langsung menarik untuk menguraikan kata karu dalam konteks Aceh kekinian.
Pada tahapan ini coba pembaca maknai ada berapa dampak makna ketika mendengar kalimat apakah Aceh karu saat ini saat Penjebat Gubernur (PJ Gubernur) diisi oleh kalangan militer? Atau apakah Pemerintah Aceh karu karena Aceh masih juara bertahan sebagai daerah miskin di pulau Sumatera? Atau apakah di warung kopi identik dengan suara yang karu? Tentu pembaca sekalian memiliki jawaban yang berbeda diakibatkan dengan bias makna kata karu.
Substansi yang ingin disampaikann di sini sejaninya bukan sekadar mengenalkan ada banyak varian makna terkait kata karu. Jauh dari itu, kata karu ibarat bahasa satra/puisi yang sejatinya ingin mengatakan begitu tetapi maksudnya begini. Artinya, dalam kata karu ini dapat dijadikan sebagai simbol komunikasi politik warga Aceh yang kemudian menggiring pembaca untuk mengenal bagaimana orang Aceh berpolitik melalui komunikasi politiknya. Pada posisi inilah terkadang komunikasi politik di Aceh mengarah pada politik enigma, dengan tidak menyebutnya lain bicara di depan dan lain pula di belakang.
Benar bahwa dalam komunikasi politik sering ditemukan bahwa komitmen mungkin hal belakangan setelah melakukan kontrak politik. Kesepatakan bisa jadi dilanggar ketika yang kuat sudah mendapatkan bagiannya. Sosok yang melanggar komitmen tersebut dalam bahasa Aceh juga dapat disebut sebagai si-karu (pihak yang membuat berantakan). Namun demikian, si-karu bukan saja hadir dalam gelanggang politik, tetapi dalam keluarga juga ada si- karu. Misalnya dalam bersaudara, pasti ada kalau tidak ada si- karu, pasti tidak ada yang membuat heboh dalam artian mengundang galak tawa.
Oleh karena itu, tidak berlebihan jika menyebutkan bahwa orang Aceh adalah orang suka karu, dalam bahasa Aceh disebut “galak keukaru”, dari sini tentu makna karu belum menemui konteksnya. Boleh pula disebut di Aceh bahwa tidak ada karu maka tidak seru. Jika tidak ada karu maka tidak ada yang ramai atau suasananya begitu formal dan menegangkan. Pada tahapan ini menurut penulis bahwa kata karu adalah salah satu bagian untuk mengenal karakter masyarakat Aceh. Karu secara tidak langsung mencitrakan orang Aceh yang dinamis, ingin bebas merdeka dan tidak suka dibelenggu.
Menariknya, secara kebudayaan berfikir masyarat Aceh, jika dibelenggu maka ia akan membuat karu. Sebaliknya, jika diberikan kebebasan atau kekhususan, maka ia jug akan membuat karu. Oleh karena itu, jangan heran melihat kondisi pemerintahan Aceh hari ini bahwa banyak anggaran atau tidak, dan ada kebijakan khusus atau tidak, maka tetap adanya karu. Bagi kalangan yang tidak mengenal ke-Acehan tentu bingung dalam memahami kondisi sedemikian. Sebab dalam posisi apapun, zaman apapun, karu adalah identitas yang sulit mengalami pengikisan identitas di kalangan masyarakat Aceh.
Alasan mengapa kata karu disebut sebagai identitas atau salah satu pintu cara memahami orang Aceh, terutama dalam berpolitik, karena kata karu dapat melintasi berbagai suasana yang jadi pembicaraan, ia bukan saja dapat menggiring pembicaraan sebatas badan manusia atau sifat manusia saja, tetapi juga menyentuh persoalan lain seperti kebijakan ataupun hewan yang sering membuat karu di kawasan pertanian, serta termasuk pula pejabat yang suka membuat karu di ruang publik. Pejabat Karu, kebijakan karu.
Menyikapi kondisi sedemikian bukanlah menjadikan Aceh sulit maju, melainkan Aceh akan terus unik dan akan berpotensi maju dengan keunikannya yang sedemikian, unik karena ke-karu-annya. Siapa yang mampu memaknai karu sesuai pada tempatnya, maka ia akan dapat mengambil hati rakyat Aceh, sehingga di situlah posisi makna “menyoe hate ka teupeh, bu leubeh han dipeutaba, menyoe hate han teupeh, boh kreh jeut geuraba” artinya kalau hati sudah tersakiti, nasi lebih tidak akan diwari, kemudian jika hati tidak tersakiti, (barang itu) boleh diraba.
Dari pemaparan di atas dapat dipahami bahwa membuat karu dapat dijadikan peluang dalam membangun Aceh, dan bisa jadi pula dengan membuat karu akan ditentang oleh orang Aceh. Mengelola karu adalah jalan panjang bahkan jalan strategis dalam agenda Aceh yang lebih maju dan sejahtera. Untuk itu, para pemimpin atau calon pemimpin di Aceh, atau masyarakat Aceh sekalipun harus mampu mengelola Aceh secara karu.
Aceh saat ini butuh pemimpin yang mampu membuat kebijakan karu sehingga mampu menjadi daerah panutan bagi daerah lain yang mampu keluar cepat dari belenggu ketertinggalannya. Demikian juga masyarakat Aceh harus mampu karu, karena pemimpin karu terlahir dari pola pikir dan pola sikap masyarat Aceh yang karu. Dengan keterpaduan karu antara pemimpin dan masyarakatnya, maka Aceh akan karu. Pada akhir tulisan inilah sejatinya kata karu tidak dapat dimaknai selalu bersifat negatif, dan tidak pula selalu dimaknai positif. Tidak ”karu”, bukan Aceh namanya. Aceh, na karu, na gata.