Oleh Zulfata
Pendiri Sekolah Kita Menulis (SKM)
Indonesia merdeka telah memasuki usia ke 77 tahun. Negara terus berjalan, lurus, timpang, bahkan terseok-seok dengan segala benalu klasik dan tantangannya. Catatan usil (casil) kali ini mengajak pembaca untuk berpikir terkait bagaimana melihat kondisi negara Indonesia hari ini. Terkadang Indonesia tidak cukup dilihat dari perspektif formal yang cenderung menampilkan hal-hal formal seperti Indonesia adalah negara gotong-royong, negara merdeka, negara kaya potensi atau negara sedang berkembang.
Satu sisi memang kita harus akui Indonesia adalah negara tangguh, namun pada satu sisi lainnya Indonesia juga tak dapat dihindari sebagai negara rapuh. Kerapuhan ini terjadi dari banyak faktor, dan faktor kerapuhan negara justru menumpuk, menggunung dari pada faktor yang membuat Indonesia semakin tangguh. Iklim demokrasi Indonesia di umur 77 tahunnya tampak semakin suram dengan tidak menyebutnya telah punah. Demokrasi di Indonesia hampir menjadi sistem atau situasi yang langka.
Kualitas pendidikan jauh lebih tertinggal dari tetangganya Malaysia. Ancaman krisis ekonomi dan pangan terus menghantui. Etos politik birokrasi terus menipis, manipulasi kebijakan untuk kepentingan oligarki terus mentereng. Ditambah lagi belum nampaknya kepastian negara dalam menjamin kesejahteraan rakyat saat badai perang beruntun melanda dunia. Dari perang dagang Amerika-China ke Perang Rusia-Ukraina.
Kondisi Indonesia sedemikian jika dilihat secara sikap optimis justru akan menyulut kemampuan menghadang tantangan. Entah sampai kapan semangat melewati tantangan tersebut membuahkan kemenangan yang terukur dan sesuai dengan prinsip keindonesiaan. Harapan dan kemenangan yang disajikan saat ini hampir tak ada bedanya dengan intrik membohongi rakyat, atau pemerintah membohongi rakyat, atau sebaliknya, rakyat membohongi pemerintah. Semangat bohong-bohongan ini memang belum begitu serius dibuka dalam ruang publik. Karena saat sistem bohong-bohongan ini di kelola, maka akan mendulang keuntungan lintas sektor bagi penguasa.
Sederhananya, dari umur 77 tahun, sudah berapa pemimpin yang dipersiap dan dipercayakan untuk mewujudkan pada cita-cita proklamasi? Sudah berapa dekolonialisasi konstitusi sudah tercapai? Sudah berapa banyak belenggu-belenggu penjajahan sudah dibebaskan? Atau negara hari ini mahir merubah diri menjadi penjajah? Atau rakyat sebagai tuan demokrasi telah menjajah negaranya sendiri? Rentetan pertanyaan ini sungguh penting untuk dijawab untuk memberi nilai tambah bagi prospek kekayaan dalam bernegara.
Makna kekayaan dalam bernegara bukan bermakna sepadan dengan negara yang kaya, namun kekayaan dalam bernegara memiliki pertalian makna dengan jiwa besarnya dalam bernegara, sikap lapang dada dalam menyelesaikan problem kebangsaan, benar-benar merdeka dalam mengelola negara. Itulah esensi kekayaan dalam negara. Kekayaan yang membuat negara benar-benar maju, kekayaan yang benar-benar menjadi negara berdaulat secara ekonomi. Makna kekayaan ini memberi spirit pada tingginya daya solusi dan aksi untuk memperbaiki dan mempercantik negeri ini. Sehingga Indonesia tidak menjadi negara yang dikutuk oleh para pendiri bangsanya yang telah rela berkorban, menyabung nyawa demi negara.
Sebaliknya, kemiskinan negara bukan pula bermakna sama dengan negara miskin. Kemiskinan dalam bernegara memiliki pertalian makna pada semangat mencari atau mengelola korban dalam bernegara. Jika pendiri bangsa gemar rela berkorban, namun dalam praktik kemiskinan bernegara justru harus mengelola atau mencari korban dalam bernegara. Siapakah wujud yang dikorbankan dalam bernegara tersebut? Tidak lain adalah kelompok masyarakat yang kebijakannya dikorupsi, tanahnya dirampas, haknya sebagai warga negara tidak pernah didapatkannya. Singkatnya, golongan miskin dan fakir terlantar adalah tanggung jawab negara, namun hal ini tidak dapat ditemukan dalam semangat kemiskinan bernegara.
Dampak kemiskinan dalam bernegara terus bertaut dengan sikap bernegara yang munafik, manipulatif, gemar mencuri, prosedur nihil substansi, pelayanan prima untuk orang dalam, kekuasaan yang menyengsarakan serta memanggungkan ketidakjujuran. Tidak terhenti di situ, penjahat mendapat karpet merah untuk mengelola negara ini. Para koruptor alias perampok dipilih dan dipilah. Perampok yang dekat dengan penguasa bebas dari hukuman dengan cukup diberikan lebel burunan, buronan yang tidak diburon. Bagaimana negara Indonesia dapat maju jika negara ini dikelola oleh penguasa yang tidak jujur dengan negaranya sendiri?
Tidak keliru jika menyebut angka 77 tahun Indonesia adalah kutukan 77 Indonesia. Sebab di angka 77 ini justru Indonesia dominan menumpuk beban dari pada kesejahteraan. Tengoklah potret produk legislatif negeri kita? Intiplah gelagat penguasa kita? Jujurlah melihat kondisi mesyarakat kita? Buka-bukaanlah siapa pemilik terbanyak tanah di negeri kita ini? Mungkin akumulasi jawaban dari pertanyaan ini dapat membentuk kesimpulan bahwa benarlah kutukan 77 tahun Indonesia.
Kutukan 77 tahun Indonesia ini baru sebatas pembungkus dari butir-butir kutakan yang menumpuk di dalamnya. Serangkaian kutukan seperti mencuri saat mengelola negara, membohongi untuk menang, merampas saat hendak meningkatkan perekonomian, bahkan memiskinkan saat hendak mendaulatkan pangan. Jangan tanya lagi soal pendidikan, tanpa menyebut pengelola pendidikan formal produk pemerintah adalah agenda merawat kutukan. Di umur 77 tahun Indonesia di mana letak kejayaan pendidikan di Indonesia bagi tatakelo pemerintah atau tatakelola pendidikan publiK? Jangan-jangan pendidikan bukan pendidikan yang sedang hidup di Indonesia hari ini, melainkan pembodohan yang dianggap pendidikan.
Cara pandang kemiskinan bernegara yang menghantarkan pembaca untuk memahami kutukan 77 Tahun Indonesia ini senantiasa dapat menjadi obat bagi manusia-manusia Indonesia masa kini. Berharap pada kata revolusi mental untuk meruntuhkan kutukan 77 tahun Indonesia, namun kata revolusi mental pun telah digunakan untuk menyokong kutukan 77 tahun itu, demikian kata maju, bersatu bahkan kata yang serumpun dengan itu juga digunakan untuk menjadi koalisi yang justru memperkuat kutukan 77 tahun Indonesia saat ini dan beberapa periode pemerintahan masa lalu.
Sebagai manusia yang memiliki nalar dan perasaan tulus, sebagai warga negara yang ingin benar-benar merdeka, benar bahwa harapan itu harus terus dinyalakan, perjuangan itu mesti digerakkan. Hukum itu mesti ditegakkan. Kesejahteraan itu harus diwujudkan. Kemerdekaan itu tidak datang saat sekadar memberi suara di kotak pemilihan umum. Semua ini harus dikonsolidasikan mesti konsolidasi di Indonesia sering berakhir pada arus perpecahan.
Jangan jadikan rakyat Indonesia semakin sengsara saat negara semakin canggih, jangan jadikan negara sebagai sapi perah saat elite pemerintah semakin berharta. Jangan jadikan perbedaan sebagai jalan mengaminkan segala pendapat. Jangan jadikan kaum mayoritas dan minoritas sebagai ajang permainan konten politik lima tahunan. Akhirnya, semua kita mesti sadar dan bergegas untuk melepaskan negara ini dari kutukan 77 tahunnya. Sehingga Indonesia benar-benar tampil sebagai negara yang merdeka dari segala beban yang melekat padanya, terutama beban dalam ketidakmampuan pemerintah untuk menerapkan pola bernegara yang berkemanusiaan dan beradab. Sudah seberapa beradapkah kebijakan di Indonesia hari ini? Jika jawabannya mengarah pada tidak beradab, maka kutukan 77 tahun Indonesia adalah nyata.