Oleh Zulfata, M.Ag
Pendiri Lembaga Inovasi Indonesia (LII), dan Pendiri Sekolah Kita Menulis (SKM)
Sebutan Aceh sebagai daerah termiskin se-Sumatera akrab terdengar di beberapa tahun terakhir. Sejatinya memang dilematis jika menyebut Aceh sebagai daerah miskin, namun apalah daya, kemiskinan itu masih menjadi realitas sosial, ekonomi dan politik. Hadirnya tulisan ini tidak sedang mengarah pada uraian bagaimana terjadi proses pemiskinan di Aceh atau Aceh termiskinkan. Tetapi kajian ini berupaya memperkuat gagasan dan menggalakkan sociopreneur sebagai pilar pengentasan kemiskinan di Aceh.
Soal apakah kajian ini akan mengurucut pada strategi, motivasi atau memastikan terapan terkait pengentasan kemiskinan di Aceh, itu semua tergantung dampak kesadaran pembaca. Dalam konteks ini, ada tiga potensi lingkungan yang melandasi mengapa sociopreneur dapat dijadikan pilar pengentasan kemiskinan. Terutama bagi kalangan generasi muda yang melek digital dan aktif dalam dunia organisasi. Tiga potensi lingkungan tersebut adalah potensi permasalahan kemiskinan yang sedang terjadi, media sosial (medsos) dan relasi (networking).
Melalui sirkulasi sociopreneur, kutukan kemiskinan dapat disulap menjadi potensi untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan yang massif, baik itu kemiskinan struktur, kultur maupun bencana. Sebab sosiopreneur hadir untuk menyelesaikan permasalahan berbasis usaha/bisnis. Sehingga bicara bisnis tak selamanya bersanding dangan nilai lintah darat atau praktik oligarki yang terus menciptakan pasar bebas.
Pada pemahaman sedemikianlah benar bahwa sociopreneur dimaknai sebagai kesatuan sikap dan aksi antara dunia bisnis dengan dunia sosial (social dan preneur) yang menunjang nilai tambah dalam memproduksi sesuatu, atau yang lebih sederhananya bahwa sociopreneur ditopang oleh dua fondasi yaitu fondasi profit dan solusi kemaslahatan sosial. Dalam sociopreneur, pelaku tidak hanya mendapat keuntungan finansial/materil, tetapi juga merajut dampak sosial di berbagai mensi. Dampak sosial ini tergantung bidang usahan/bisnis yang digarap. Jika bisnisnya bergerak di bidang lingkungan, maka dampaknya akan megarah pada perbaikan lingkungan. Jika bisnisnya bergerak di bidang pendidikan, maka dampak sosialnya bagi perbaikan pendidikan. Jika bisnisnya di bidang kesehatan, maka dampak sosialnya bagi perbaikan kesehatan. Demikian seterunya.
Benar bahwa dalam dunia bisnis memerlukan modal dalam bentuk uang, tetapi boleh dilihat tidak semua yang memiliki banyak uang dapat berbisnis. Jauh dari itu dapat ditemukan pula tidak semua yang memiliki modal uang bisnisnya dapat berkembang maju. Demikian pula tidak semua bisnis yang tidak dimulai dengan uang menjadikan perkembangan bisnisnya menjadi tidak berkembang.
Justru banyak ditemukan perusahaan menjadi besar dengan cara merangkak-rangkak dari nol. Persoalan ini banyak ditemukan pada kisah hidup para orang miskin di masa muda namun menjadi kaya-raya di masa menjelang tua. Oleh karena itu, sebagai pemula atau bisnisnya sedang berjalan, kita tidak perlu memperdebatkan terlalu tajam soal modal uang atau modal gagasan yang lebih diutamakan, sebab dua hal tersebut dapat hidup dan tumbuh secara berdampingan.
Selain kegigihan, inovasi adalah modal utama dalam bergerak di dunia sociopreneur. Dengan sikap inovatif menjadikan dunia bisnis dapat menyesuaikan diri dengan gerak pasar dan mampu memastikan solusi dalam setiap penyelesaian masalah sosial. Tanpa mampu berinovasi, dapat dipastikan dunia bisnis akan mati, dan permasalahan sosial tidak dapat diselesaikan. Dalam konteks ini pula penulis yakin bahwa setiap konflik/masalah dapat dijadikan lapak pasar atau ruang dagang yang realistis.
Sebab dampak dari konflik/masalah termasuk kemiskinan dapat menciptakan sirkulasi ekonomi, dimana dalam hal tersebut dapat muncul produsen, pemasaran dan pembali. Melalui cara pandang inilah sejatinya cara pandang konflik/masalah bahkan kemiskinan tidak selamanya dipandang sebagai kutukan atau beban yang terus diratapi, melainkan harus dirubah menjadi cara pandang dalam menciptakan peluang yang harus dikelola.
Jauh dari itu, dalam sociopreneur dapat memunculkan kesadaran bahwa ide harus diapresiasi, tenaga harus dibayar, bahan harus dibeli, produk harus dijual, target sosial harus tercapai. Hubungan bisnis dengan solusi sosial dapat saling mendukung, sehingga selama bisnis bertahan dan maju, selama itu pula solusi sosial akan dirasakan masyarakat. Demikian juga dengan daya serap tenaga kerja, semakin maju suatu usaha bisnis, sungguh dimungkinkan lapangan kerja terbuka, saat ada yang bekerja maka daya beli masyarakat dapat terdorong naik. Demikian selanjutnya dalam hal permintaan dan penawaran. Seterusnya, ada gagasan ada produk, ada permintaan, ada penawaran, sehingga kesejahteraan sosial dapat diwujudkan sebagai akibat serangkaian tersebut.
Memang berbicara sociopreneur dalam konteks pembicaraan atau tulisan seolah tampak absrak, bahkan tak jarang dianggap sedang berhalusinasi. Tetapi yakinlah bahwa dalam praktik yang dijalankan dengan sungguh-sungguh nantinya akan menemukan tantangan yang dinikmati. Karena dalam menjalankan dunia sociopreneur secara tidak langsung pelaku tergiring melakoni etika bisnis. Misalnya bisnis harus dijalankan dengan penuh integritas, kredibelitas dan transparan. Persoalan waktu kapan bisnis dapat maju, semuanya dapat tergantung kepemimpinan dan manajemen sociopreneur terseut dijalankan.
Peluang atau menggairahkan sociopreneur sebagai pilar pengentasan kemiskinan di Aceh sungguh startegis. Terlebih saat ini dunia mengalami tanpa batas semenjak hadirnya kecerdasan buatan (artificial inteligence). Sebab produk teknologi sejatinya dirancang untuk keberpihakan ekonomi tertentu. Bergerak dalam sociopreneur dapat memanfaatkan teknologi, baik dalam hal agenda pemasaran, pengaruh, metode kerja hingga upaya penguatan bisnis lainnya.
Jika direnungkan secara mendalam, tingginya pengangguran di kalangan generasi muda di Aceh sepatutnya tidak mungkin terjadi. Karena ada berbagai lain hal (baca buku catatan usil), itulah realitas kekinian Aceh. Ada banyak potensi kreatifitas dalam diri Aceh yang harus dikelola atau dikemas oleh generasi mudanya. Sebab Aceh bukan saja dikenal dengan daerah Serambi Mekah, tetapi juga negeri kaya raya dengan tidak menyebutnya negeri surga karena syariatnya. Potensi alamnya berlimpah, khazanahnya diteliti warga dunia, dan masih banyak potensi lainnya.
Dengan sentuhan kekuatan sociopreneur yang dijalankan secara berkelanjutan, senantiasa dapat memperbaiki situasi Aceh dengan perlahan-lahan tetapi pasti. Cara sederhanya untuk memperbaiki kemiskinan di Aceh adalah dimulai dengan diri sendiri untuk mempraktikkan gerakan sociopreneur. Atas dasar untuk memutar roda perekonomian Aceh yang dimainkan oleh generasi muda inilah yang penulis sebut sebagai pilar pengentasan kemiskinan.
Naif bahwa generasi muda Aceh tidak mampu menangkap peluang di dunia sociopreneur, sebab di dalam diri pemuda dianggap mudah untuk dibukakan cakrawala dan semangat berbisnis yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Jika sudah ada bukti kelompok anak muda yang telah sukses berkarier dalam dunia sociopreneur, kini mengapa enggan terjun dan berjuang di dunia sociopreneur? Ingat, tidak ada kemandirian tanpa perekonimian, dan tidak ada pula kemajuan perjuangan berkelanjutan. Untuk itu, tulisan ini mengajukan empat rekomendasi kebijakan, baik untuk pemangku kekuasaan, atau sebagai landasan sikap personal bagi pembaca. Rekomendasi tersebut adalah:
Pertama. Menciptakan stimulus gagasan inovatif melalui program stategis. Hal ini dapat dilakukan melalui organiasi pemerintah maupun non-pemerintah (civil society). Program ini memiliki target pendidikan terbuka untuk terus menebar semangat berinovasi di kalangan masyarakat Aceh.
Kedua. Aktif mengadakan kegiatan pelatihan berbasis minat bakat. Kegiatan ini diharapkan mampu untuk membekali skill dan memutahirkan skill sesuai bidang yang diinginkan. Saat skill dimiliki, sudah pasti kemampuan bekerja dapat menggiring seseorang mampu dipekerjakan atau memperkerjakan.
Ketiga. Memperhatikan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Upaya ini bermasud untuk memberikan dukungan kepada pelaku UMKM, baik dalam bentuk bantuan modal mupun stigma sosial, sehingga bergerak dalam bidang UMKM yang bernuansa sociopreneur adalah sebuah strategi dalam memajukan daerah di Aceh.
Keempat. Pendidikan sociopreneur berkelanjutan. Menggalak seminiar, Focus Group Discussion (FGD) dan acara lainnya yang bersifat pengembangan pendidikan terkait peningkatan dunia usaha bagi masayarkat. Pendidikan seperti ini tidak boleh tidak ada dalam agenda pendidikan pemerintah. Sebab pendidikan dalam rumpun sociopreneur dipastikan tidak akan tergilas zaman apapun yang melanda dunia.
Dengan konsisten dan fokus menjalan rekomendasi di atas, diyakinkan dapat merontokkan tingginya angka pengangguran dan kemiskinan di berbagai wilayah di Aceh. Tentunya upaya pengentasan kemiskinan di Aceh tidak hanya bergantung pada pilar sociopreneur semata, sebab ia hanya bagian dari pilar-pilar pengentasan kemiskinan lainnya. Tetapi paling tidak menjadikan pilar sociopreneur sebagai langkah alternatif dalam pengentasan kemiskinan sungguh strategis diterapkan di manapun dan kapanpun. Selamat mencoba !