Oleh Zulfata
Meski menyakitkan, kita harus jujur mengatakan bahwa masa kepemimpinan Gubernur Nova Iriansyah tidak ada prestasi apapun dalam mengangkat martabat Aceh. Kini detik-detik habisnya masa jabatan Gubernur Nova Iriansyah akan tiba, hanya menghitung hari, transformasi kepemimpinan Aceh ke Penjabat (Pj) Gubernur Aceh terus memicu perbincangan hangat di kalangan pemerhati politik di Aceh. Penampakan dalam sorotan Pj Gubernur Aceh yang dominan terlihat berada di sekitar diskursus pemimpin militer, kesadaran permasalahan Aceh, boneka rezim, hasrat politik DPRA hingga kriteria yang diharapkan masyarakat Aceh.
Mencermati kekutan politik pesuruh presiden Jokowi hari ini dalam menyikapi Aceh, apapun yang disodorkan DPRA, pegiat politik atau masyarakat umum, tampak tidak mempengaruhi sedikitpun kebijakan pemerintah pusat, termasuk dalam hal penentuan siapa Pj Gubernur Aceh. Mohon maaf, apakah ini bukti dari tidak ada lagi kekuatan politik Aceh dalam menentukan siapa pemimpinnya, atau lobi-lobi politik elite politisi Aceh memang tidak ada posisi tawar sedikit pun di hadapan elite politik istana. Jadi, saat mencermati pandangan politik terkait kriteria Pj Gubernur Aceh yang berkembang akhir-akhir ini sungguh seperti bunyi pepatah “anjing menggonggong kafilah berlalu”. Sudah disampaikan, tetapi tidak untuk diindahkan.
Paling tidak dengan kehadiran perbincangan terkait sosok Pj Gubernur Aceh selama ini dapat dijadikan sebagai penanda sejauhmana progresifnya kekuatan politik di Aceh dalam mensejahterakan masyarakat. Tetapi yang pasti, hari ini kepemimpinan di Aceh tak ada ubahnya seperti kepemimpinan boneka, tidak kuat, tidak ada terobosan, sesuatu yang sudah dimiliki Aceh pun bisa hilang di tangan Aceh. Uniknya, pembaca boleh renungkan bahwa mengapa di negeri yang banyak kombatan, toh regulasi khusus bisa hilang di tangan pemerintahan Aceh? Jawaban rinci dari pertanyaan inilah yang akan menghantarkan pembaca untuk sampai pada kesimpulan “Aceh Pungo” dan perlu “dirajah” untuk mengobatinya.
Makna “Aceh Pungo” inilah yang kemudian harus dipahami oleh Pj Gubernur Aceh nanti, Aceh Pungo yang dimaksud dalam tulisan ini adalah soal permasalahan perselingkuhan politik yang akut antara gubernur dengan DPRA sebelum terpilinya Pj Gubernur (2022). Sebab hal terkait kemiskinan dan daya korupsi yang terjadi di Aceh disebabkan oleh dampak struktur dari perselingkuhan politik antara gubernur dengan DPRA. Dalam konteks ini pula kuatkah Pj Gubernur mengendalikan untuk menyelamatkan Aceh dari dampak lingkaran setan sebagai buah cinta perselinkuhan politik gubernur dengan DPRA.
Praktik perselingkuhan politik antara gubernur dengan DPRA bukanlah cerita baru, ini cerita lama yang terulang kembali. Dalam konteks masa kepemimpinan Gubernur Nova Iriansyah dengan DPRA (berganti pimpinan), kisah perselingkukan ini dimulai dari sikap saling benci namun merancang pertemuan dalam gelap, benci-benci tetapi rindu. Ini bukan persoalan cintanya para remaja, terapi upaya menggiring pembaca untuk mengingatkan kembali ketika DPRA waktu itu ingin mencopot Gubernur Nova Iriansyah sebagai gubernur Aceh, dan akhirnya upaya pencopotan tersebut berujung pada pesta bagi-bagi kekuasaan. Laporan pertanggungjawaban gubernur pun mulus tanpa kendala soal transparansi, berbagai temuan kebijakan korupsi anggaran pun menjadikan DPRA rabun temuan, dan solid dalam bagi-bagi porsi kekuasaan. Inilah sekelumit gambaran gelanggang penyebab Aceh tidak bermartabat, baik secara politik maupun secara perekonomian.
Siapapun Pj Gubernur Aceh terpilih nanti, senantiasa ia benar-benar mampu memutuskan dampak lingkaran setan sebagai akibat perselingkuhan politik dua lembaga tersebut (eksekutif dan legislatif). Jangan pula Pj Gubernur Aceh terperosok ke dalam akibat perselingkuhan itu yang kemudian menjadikan Pj Gubernur Aceh memilih posisi cari aman atau Asal Bapak Senang (ABS). Terlebih lagi model kepemimpinan Pj Gubernur Aceh nanti tetap dalam jalur komando politik pemerintah pusat. Pada posisi ini pula, masyarakat Aceh kembali diulur waktunya untuk merasakan kesejahteraan dari dampak penerapan kebijakan oleh pemimpinnya.
Benar bahwa tugas Pj Gubernur Aceh bukan mengurus DPRA, tetapi ingat, DPRA selalu mencari celah dengan tidak menyebutnya membuat celah bagi Pj Gubernur. Dalam kondisi ini sungguh memungkinkan Pj Gubernur untuk melakukan penyesuaian dengan hasrat politik DPRA. Jika sedemikan benar terjadi, maka Aceh semakin pungo dan berpotensi semakin sulit dirajah. Rajah dalam konteks ini bukanlah makna sesungguhnya rajah dalam bahasa Aceh yang maknai sebagai uapaya mengunakan mantra dalam hal pengobatan suatu penyakit. Tetapi makna rajah dalam tulisan ini dimaknai secara filsafat politik bahwa untuk menangani persoalan Aceh yang begitu akut, tidak dapat lagi dibenah secara sikap-sikap formal birokratis, tetapi harus disikapi dengan sikap gesit dan progresif. Sebab dalam tradisi di Aceh, memilih jalan rajah ketika semua obat-obatan medis diangap tidak mampu dalam melawan penyakit, atau tidak menyebabkan kesembuhan, sehingga rajah sebagai solusi akhir. Hingga masa kini, praktik rajah masih eksis di kalangan masyarakat Aceh.
Selanjutnya, mampukah Pj Gubernur Aceh yang terpilih dapat mengaplikasikan politik rajah saat memimpin Aceh setelah sederet residu politik yang diwariskan oleh Gubernur Nova Iriansyah beserta para pembisiknya? Pertanyaan ini tidak mungkin untuk dijawab secara rinci, sebab menilai kinerja Pj Gubernur Aceh yang dipilih nanti sungguh teralu dini untuk sekarang. Paling tidak, melalui tulisan ini dapat membantu Pj Gubernur Aceh atau pemangku kekuasan di Aceh dalam menemukan sinyal agar dapat mengubungkan Aceh ke jalan pembangunan yang berkelanjutan, bukan ke jalan mulus menuju pemiskinan secara berkelanjutan.
Tanpa ada upaya yang bersungguh-sunguh dan komitmen yang bernar-benar komitmen dari sikap politik pemimpin Aceh dalam rangka membangun martabat Aceh, maka proses menuju jalan sebagai daerah miskin akan selalu identik dengan Aceh. Pada harapannya, siapapun sosok Pj Gubernur Aceh yang diberikan amanah, diharapkan mampu mematikan virus-virus perselingkuhan politik yang ditinggalkan oleh seonggok kroni dari masa kepemimpinan Gubenur Nova Iriansyah. Sebab virus-virus tersebut sudah menampakkan gejala di kalangan bawahannya seperti kinerja kepala dinas di lintas pemerintahan provinsi Aceh.
Walau Pj Gubernur Aceh nanti tidak memiliki kuasa untuk menggeser jabatan strategis tertentu dalam kepemimpinan birokratisnya, paling tidak jangan membiarkan Aceh semakin pungo sebagai akibat dari virus-virus perselingkuhan politik yang sudah marak berkembang di pemerintah Aceh hari ini. Virus ini tidak bisa dibunuh melalui tulisan, tidak bisa dibunuh melalui pidato Pj Gubernur, tetapi virus ini bisa dibunuh dengan menunjukan bukti sebagai tindak lanjut menjalankan kebijakan yang benar-benar berdampak bagi keadilan, kedamaian dan kesesahteran masyarakat Aceh. Inilah esensi dari makna rajah dalam mengobati Aceh Pungo. Akhirnya, selamat datang Pj Gubernur dalam menakhodai Aceh Pungo, semoga “rajah” dari Pj Gubernur nanti dapat mengobati Aceh dari berbagai permasalahannya, bukan justru menambah tumpukan masalah bagi Aceh karena Aceh dianggap “nakal” serta memiliki potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah.