Oleh Andi Wijaya
Mahasiswa STAI Syekh H. Abdul Halim Hasan Al-Ishlahiyah Binjai
Sejumlah desa di kabupaten Langkat dinyatakan akan menggelar pemilihan kepala desa (Pilkades) serentak pada 19 Juni 2022. Dalam pesta demokrasi tersebut, tercatat ada sekitar 167 desa yang akan mencari nahkoda yang diharapkan untuk bisa membawa desanya masing-masing kearah kemajuan selama enam tahun kedepan. Sebelum warga desa menentukan dan menggunakan hak pilihnya di tempat Pemungutan Suara (TPS) masing-masing, tentu mereka akan dihadapkan oleh serangkaian aktivitas-aktivitas kampanye dari para calon kepala desa (kades) beserta tim sukses (timses) mereka masing-masing dengan tujuan penjaringan hak suara sebanyak-banyaknya.
Para calon kades tampak gencar dalam mengadu strategi, bersilaturahmi kesana-kemari, dan berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan di masa kampanye. Pada masa kampanye ini ada yang berbuat baik dengan label agama, ada yang berbuat baik dengan label peduli kondisi sosial dan ekonomi kreatif, ada juga yang berbuat baik dengan label pendidikan generasi muda, dan masih banyak lagi label-label yang digunakan untuk meraih simpati dari warga desa. Namun tidak sah rasanya jika didalam setiap jenis kegiatan yang diselenggarakan pada masa kampanye, jika tidak ada foto-foto bersama, penyampaian visi dan misi, dan penggunaan atribut simbolik yang mencantumkan nomor urut calon kades. Disini penulis menilai bahwa kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh para calon kades semata-mata hanyalah kegiatan transaksional dengan mengharapkan imbalan.
Pada masa-masa ini, beragam isu politik juga dilontarkan oleh mereka para calon kades dan juga timsesnya. Isu agama dalam politik juga digunakan untuk menjatuhkan lawan politiknya yang berasal dari minoritas. Karena pada saat ini domisili tidak lagi menjadi batasan untuk menjadi calon kades di suatu desa, namun ada juga dari calon kades yang menyulut isu domisili kepada warga, sehingga mempersempit calon kades yang sebelumnya tidak berdomisili di desa tempat ia mencalonkan diri. Dan banyak lagi isu-isu politik yang diangkat oleh para calon kades, yang semuanya itu tidak lain hanyalah untuk memenangkan pertarungan sengit dalam menarik simpati warga.
Dari semua kegiatan yang mereka lakukan, tentu tidak salah dan tetap sesuai dengan aturan main yang berlaku. Tapi alangkah mirisnya jika warga desa hanya bisa merasakan perlakuan-perlakuan baik tersebut pada masa kampanye saja. Butuh waktu enam tahun lagi bagi warga desa untuk merasakan masa-masa penuh kebaikan selanjutnya. Apakah periodesasi kepemimpinan kepala desa harus dirubah menjadi satu tahun saja, supaya warga desa merasakan masa-masa penuh kebaikan setiap saat? Namun walaupun periodesasi kepemimpinan kepala desa benar-benar dirubah menjadi satu tahun saja, saya khawatir masa-masa penuh kebaikan itu pun mulai berkurang durasi dan kuantitasnya. Sebab bisa saja jabatan kepala desa sudah tidak lagi menarik dan dikejar oleh semua orang.
Berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan (fastabiqul khairat) adalah hal yang dianjurkan oleh agama. Namun rasa ikhlas tanpa pamrih juga merupakan sesuatu yang tak boleh ditinggalkan dalam setiap perbuatan baik. Pada saat masa kampanye sebelum pilkades digelar, mereka para calon kades bersemangat dan berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan. Namun bisakah kita menganggap bahwa kebaikan yang mereka buat didasari rasa ikhlas?
Kondisi warga desa saat ini dalam menyikapi fenomena fastabiqul khairatnya para calon kades juga bermacam-macam. Sebagian warga desa ada yang polos dan dengan lugu menerima perbuatan baik mereka dan merasa terpukau dengan slogan-slogan, janji-janji, dan juga jargon-jargon yang dilontarkan oleh para calon kades. Sebagian lagi dari mereka ada yang sudah hafal dengan skema kampanye pikades setiap periodenya yaitu menanam modal terlebih dahulu, lalu mengambil keuntungan setelah menjabat, sehingga mereka pun kehilangan kepercayaan terhadap adanya sosok calon pemimpin yang benar-benar tulus ingin memajukan desannya. Ada juga sebagian dari warga desa yang pintar mengambil moment politik tersebut, dan terus mengeruk manfaat-manfaat yang bisa ia ambil dari setiap calon kades.
Akhirnya sebagai pilihan berdemokrasi, penulis berharap Pilkades di Langkat tahun 2022 jangan sempat dilakukan sebagai formalitas atau seremonial politik belaka. Terkait jalannya pemerintahan desa di daerah Langkat selanjutnya, warga setempat tidak boleh mengeluh dan diam begitu saja, atau berbisik-bisik memperbincangkan kinerja kades yang terpilih dari perbuatan-perbuatan baik di masa kampanye yang padat modal. Namun semua perilaku politik yang buruk menjelang Pilkades atau saat Pilkades harus dibasmi secara bersama-sama.
Sebagai mahasiswa yang mengemban tugas agent of change, penulis mengajak kepada pembaca untuk lebih cerdas dan bijsaksana dalam menyikapi fenomena-fenomena yang terjadi di dalam serangkaian agenda Pilkades tahun 2022 di Langkat. Warga desa harus bijak dalam memilih calon pemimpin level pemerintahan desa. Sebab dampak dari sikap kita sebagai pemilih hari ini akan mempengaruhi nasib kita dalam jangka waktu enam tahun bahkan lebih. Wasapadah !