BerawangNews.com, Takengon - Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk H. Faisal Ali, menolak tegas pertambangan jika tidak sesuai syariat Islam dan tidak memberikan rahmatan lil alamin (rahmat bagi sekalian alam). Hal ini disampaikannya dalam pidatonya saat melakukan sosialisasi fatwa MUI-MPU tentang pelestarian satwa dan keseimbangan ekosistem di kantor camat Kecamatan Linge, Aceh Tengah pada Selasa lalu (17/05/2022).
“Kalau nilai-nilai rahmatan lil alamin (rahmat bagi sekalian alam) bisa terwujud di pertambangan itu tidak masalah. Bukan (malah) nilai-nilai ketamakan dan kebinasaan”, pungkas beliau. Ia turut mengajak agar kita bersama-sama mencegah upaya-upaya pengrusakan alam agar Allah selalu mencurahkan rahmat kepada daerah kita ini.
“Kita, umat nabi Muhammad, sebagai khalifah di muka bumi ini harus menjadi rahmat bagi makhluk-makhluk Allah secara menyeluruh”, ujar Abu, begitu beliau akrab disapa. Dalam pidatonya beliau juga mengingatkan bahwa dalam agama islam sangat tegas dilarang perilaku-perilaku yang merusak alam dan ekosistem. “Melakukan tindakan tanpa manfaat yang jelas seperti menganiaya makhluk hidup (satwa dan tumbuhan), merupakan pintu kefakiran”, tambah beliau.
Sosialisasi ini ikut dihadiri oleh Bupati Aceh Tengah, Shabela Abubakar. Dalam sambutannya ia menyampaikan bahwa kerusakan alam dan perburuan satwa yang terjadi di wilayahnya dilakukan oleh oknum-oknum dari luar. “Perburuan satwa dan kerusakan hutan di Aceh Tengah banyak dilakukan oleh pihak luar” ucapnya. Oleh karena itu, ia berharap agar adanya sinergitas antara hukum negara, hukum agama, dan hukum adat dalam penegakannya. Terakhir ia juga menambahkan bahwa pemerintah kabupaten perlu diberikan wewenang untuk mengelola dan menjaga kawasan hutan dan alam di wilayahnya.
Kegiatan sosialisasi fatwa MUI ini bertujuan untuk membangun diskusi bersama tokoh agama dan masyarakat disekitar kawasan hutan terkait upaya perlindungan dan pelestarian. Sosialisasi Ini dilakukan di hadapan tokoh agama, majelis adat, organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan dari Linge, serta akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dengan dukungan dari Yayasan HAkA (Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh). Yayasan HAkA merupakan lembaga non-profit yang fokus pada penguatan masyarakat di daerah dalam upaya perlindungan hutan dan satwa yang ada di Aceh.
(Juan)