Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Dari Penjajah ke Penjajah

Senin, 30 Mei 2022 | Mei 30, 2022 WIB Last Updated 2022-05-30T08:58:14Z



Oleh Zulfata
Wakil Sekretaris Bela Negara Republik Indonesia (FBN-RI) Provinsi Aceh

Belenggu penjajahan seperti tak ingin lepas dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Fakta ini dapat ditelusuri dari problem multikolonial masa orde lama (orla), ode baru (orba), reformasi hinggga kini. Motif penjajahan tersebut selalu ada, ia tampak hidup sebagai benalu kepemimpinan nasional. Catatan ini bukan pembuka pintu untuk melihat pekerjaan rumah Indonesia yang mengabaikan penjamuran praktik penjajahan di tubuhnya sendiri. Benang merah tulisan ini berbicara mengarah pada bagaimana bentuk penjajahan yang terus bermetamorfosis? Siapa yang menjajah? Bagaimana penjajahan itu hidup dan dirawat? Hingga bagaimana penjajahan dirawat tanpa disengaja.

Melawan penjajahan adalah agenda kemerdekaan. Komitmen ini menyublim dalam setiap agenda politik nasional. Sejarah bangsa Indonesia cukup kontras menampilkan runtuh, tumbuh dan redupnya praktik penjajahan di negari ini. Sesekali bentuk pelaksanaan penjajahan tersebut mencuat, dan sesekali tertimbun dengan euforia kemerdekaan itu sendiri. Belanda menjajah Indonesia. Memori kebangsaan ini tampak tak memiliki kekuatan bagi daya lenting kekuatan bagi Indonesia hari ini. Belum lagi memori Indonesia dijajah secara tidak langsung hari ini.

Nilai-nilai penjajahan tersebut bukan saja lahir dari proses sikap alamiah sebagai manusia yang memiliki kekhilafan, tetapi menguat menjadi institusi yang legal maupun sporadis. Negara terperangkap di gelanggang penjajahan itu. Pemerintah merayakan praktik penjajahan, pemerintah diperkuat dengan pilar-pilar penjajahan. Pada tahapan ini kemerdakaan masih tanda tanya dengan tidak melupakan jasa para pahlawan.

Untuk mengukur sejauhmana iklim penjajahan di Indonesia hari ini, bolehlah tengok khazanah bangsa dan negara masa lalu, dan boleh pula visikan kondisi Indonesia di masa depan. Menimbang-nimbang stabilitas negara dari masa lalu, masa kini dan masa depan sejatinya dapat menjadikan warga negara mengambil posisi sikap strategis terkait bagaimana menjalani hidup di bumi pertiwi.

Soal berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara kebudayaan memang pelita yang harus kita nyalakan. Tetapi perjalanan Indonesia yang masuk dalam siklus dari penjajah ke penjajah telah menyulap eksistensi politik Indonesia masa kini. Bagaimana pula eksistensi ekonomi Indonesia masa kini? Bagaimana eksistensi budaya Indonesia masa kini? Bagaimana nasib Indonesia jika tiga hal tersebut tidak mengarah pada cita-cita kemerdekaan?

Untuk menemukan jawaban bagimana politik Inonesia masa kini dapat dipahami melalui potret politik lima tahunan usai diberlakukan Pemilu di Indonesia. Pada posisi ini perjuagan cita-cita kemerdekaan justru tergilas dengan ampas-ampas politik lima tahunan. Jangan tanya lagi soal peran demokrasi Pancasila hari ini, sebab hampir tak memberi bekas solutif. Polarisasi dan pembelahan politik dari masa ke masa tampak tak mendewasakan warga sebagai tuan politik di negerinya sendiri. Peningkatan politik uang semakin meningkat. Korupsi semakin menggila, mahar politik mengalahkan akal sehat pemilih. Bukankah potret seperti ini politik Indonesia sedang berada pada siklus penjajah?

Telusuri pula potret pelaksanaan ekonomi yang pernah ingin diselamatkan pada masa reformasi. Tarik menarik antara politik dan ekonomi dalam agenda lima tahunan telah menjadikan perekomian Indonesia tampak jauh berada dari jati dirinya sendiri. Menemukan dalil atau rasionalitas untuk Indonesia berdikari pada ekonomi sendiri masih jauh panggang dari api.

Buah pikir para pendiri bangsa terkait fondasi ekonomi dan politik di masa awal-awal kemerdekaan tampak telah dikubur hidup-hidup dangan sengaja dan dipaksa seiring masuknya investasi terselubung yang tidak benar-benar bermaksud memperkuat perekonomian negara. Motif penjajah semakin halus dan marak dilakukan bukan saja dari pihak yang berada di dalam sistem pemerintah, tetapi juga di luar pemerintah. Pada posisi ini tanpa disadari negara sedang merayakan praktik penjajahan di negerinya sendiri.

Lain lagi dari sektor budaya yang tergilas remuk dengan kemajuan kecerdasan teknologi. Kepribadian, karakter, etika sosial dan intividu perlahan-lahan memanipulasi jadi diri mentalitas anak bangsa. Kebebasan berekspresi berkambang pesat seiring membesarnya banjir informasi. Sikap gotong-royong secara nasional berubah cepat menjadi hidup nafsi-nafsi secara nasional. Buruknya, kebudayaan yang sejatinya untuk memuliakan hajat hidup manusia secara universal telah menjadi semacam orkestra yang hanya terjebak dalam bentuk ornamen dan seni karya. Karya bahkan hampir gagal membangun memori kebangsaan sebagai kekuatan melawan praktik penjajahan yang sangat massif dari masa ke masa.

Meski demikian, problem kenegaraan ini mesti diselesaikan. Jika tidak untuk generasi masa ini, maka itu menjadi kewajiban generasi masa depan. Semangat dan harapan mesti terus digelorakan. Memang jalan menuju penyelesaikan Indonesia mendekati cita-cita kemerdekaan telah terlanjur berliku-likunya bagaikan benang kusut. Untuk itu, problem kenegaraan ini mengharuskan generasi bangsa harus terus ditempa dan diputuskan mata rantai praktik penjajahan dari kaum terdahulunya. Belenggu-belenggu penjajahan produk Indonesia maupun bukan produk Indonesia harus dibumihanguskan.

Diakui atau tidak. Siapa saja dinegeri ini berpotensi menjadi penjajah, apakah ia seorang presiden, menteri, petinggi militer, elite partai, gubernur, bupati/walikota, kepala desa, mahasiswa hingga masyarakat sekalipun. Memang tidak ada gunanya untuk saling menyalahkan meski ada sosok dalang yang dapat ditunjung batang hidungnya. Namun sebaik-baik sikap memperbaiki adalah keberani jujur mengevaluasi. Artinya laju negara ini mesti terus dievaluasi agar tidak kehilangan jati dirinya sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang bernar-benar merdeka dan berdaulat di panggung Internasional.

Logika dan kesadaran berbangsa dari berbagai sektor harus terus dimunculkan bukan untuk disengketakan, melainkan untuk dijadikan penyokong kekuatan keindonesaan agar semakin kuat. Oleh karena itu bukan saja logika pemerintah yang dominan, dan bukan pula logika militer yang menguasai, serta bukan pula logika publik awam yang harus jadi panglima. Untuk itu, sepakat atau tidak, logika anti penjajahan dalam berbagai bentuk harus terus ditebarkan bagi seluruh rakyat Indonesia, apapun jabatan dan kekayaan yang melekat padanya.

Disadari atau tidak, fenomena penjajah teriak penjajah sudah menjadi tren strategis hari ini dalam menarik perhatian publik. Lawan dan kawan semakin sulit dibedakan. Gerakan-gerakan massa terus bermunculan yang tak berbanding lurus dengan kekuatan konsolidasi kebangsaan. Rasa curgai dan saling tidak percaya dalam memimpin negeri semakin menguat. Formalitas agenda konsolidasi persatuan bangsa semakin menyala. Koalisi antar koalisi masih saja berujung korupsi yang disengaja. Rekayasa dan sandiwara demi agama dan bangsa semakin jelas wajahnya seiring pengelolaan sumber daya alam yang koruptif.

Inilah iringan nalar dalam memahami perjalanan Indonesia hari ini. Kehidupan rakyat. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin terjepit. Kekuatan negara dalam menjamin kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia masih sebatas cita-cita. Dalam konteks ini beberapa pihak penyelenggara negara tampak tak ingin jujur menilai sejauhmana progres kekuatan negara dalam mendaulatkan tubuhnya sendiri. Pemahaman seperti ini mesti menjawab pertanyaan mampukah Indonesia tidak menjadi negara penjajah bagi negaranya sendiri. Pemerintah yang yang tidak menjajah rakyatnya sendiri. Rakyat yang tidak menjajah negerinya sendiri. Rakyat yang tidak menjajah antar sesama rakyat. Akhirnya, sudah berapa jujurkah kita dalam upaya melepaskan belenggu penjajahan di negeri ini? Atau saat ini kita sedang melaju di jalan kehidupan dari penjajah ke penjajah? Biarlah hati yang terdalam untuk menjawabnya.