Oleh Zulfata, M.Ag
Penulis buku “Bubarkan HMI?”
Dari dugaan hingga fakta, dari cerita hingga upaya penangkapan, dari prasangka jadi operasi Tangkap Tangan (OTT), dari perkara dan penyelesaian yang tak kunjung tiba. Serangkaian argumentasi inilah yang menimpa Aceh hari ini. Aceh Hebat (korupsi), mulai dari indikasi korupsi Kapal Aceh Hebat, beasiswa hingga dana hibah oleh OKP/Ormas. Ini bukan cerita fiksi terkait negeri oleng, tetapi ini adalah duka sekaligus kebobrokan yang sedang dipertontonkan di Aceh. Duka karena kepada siapa lagi masyarakat Aceh berharap dalam memberantas korupsi khususnya di Aceh. Kebobrokan terkait maraknya indikasi korupsi di Aceh hampir menjadi orkestra harian.
Rilisnya sejumlah 400 mahasiswa berpotensi korupsi beasiswa tidaklah begitu mengejutkan, karena hal itu telah lama menjadi buah bibir di masyarakat Aceh, sangking seringnya masyarakat Aceh mendekar kasus korupsi, dikhawatirkan akan muncul perilaku sosial yang apatis terhadap korupsi di Aceh. Kini spirit korupsi tersebut telah mengalir dari pejabat hingga mahasiswa, lain lagi maraknya kepala desa (geuchik) yang tersandung korupsi dana desa.
Kini, gubernur Aceh bukan satu yang ditangkap korupsi, namun entah sampai kapan koruptor di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang juga akan menyusul, apakah mereka tidak terlibat dengan kasus korupsi beasiswa yang menyeret 400 mahasiswa tersebut? Entahlah, serahkan saja pada pihak yang berwenang, apakah ingin dituntaskan sehingga tidak lagi mejadi isu musiman alias gertak sambal sebagai hiburan membuka perhatian publik. Kini masyarakat masih menunggu upaya penuntasan itu, tapi entah sampai kapan, bisa jadi sampai kuda makan Loyang, sampai menunggu buaya hanyut. Ha ha ha ha
Terkadang jenaka dapat muncul dibalik meningkatnya tren korupsi di Aceh, jenaka itu muncul bukan berarti pasrah dengan begitu saja pada keadaan, melainkan alternatif menciptakan sekmen dalam menghindari kejenuhan akibat beruntun tertimpa tsunami informasi korupsi di Aceh. Oleh karena itu tidak salah jika keluar pernyataan bahwa “Berikan aku 10 pemuda, akan kucabut Semeru dari akarnya, berikan 400 mahasiswa akan kita korupsi uang negara”. Kalimat ini sudah menjadi penampakan di Aceh, mudah-mudahan penampakan ini tidak bertahan lama, tidak mandarah daging pada mahasiswa Aceh selanjutnya.
Untuk Aceh, memang harus menggantungkan harapan kepada generasi mudanya, terlebih kepada mahasiswanya adalah sebuah keniscayaan. Mesti saat ini stigma buruk terhadap mahasiswa, terutama bagi mahasiswa yang sering turun ke jalan tak jauh dari sikap ledekan dari pejabat. Seolah-olah menangani mahasiswa cukup gamblang, tinggal dipenuhi kebutuhan dalam tanda petik “finansial”. Stigma sedemikian harus terus dilawan, bukan dilawan dengan turun ke jalan, bukan dilawan dengan membakar ban, dan bukan pula dilawan dengan membalas dengan politik uang, melainkan harus diperkuat melalui gerakan keteladanan, gerakan yang berintegritas.
Penulis yakin bahwa pembaca tersenyum saat membaca ada upaya untuk mendorong penguatan mahasiswa masa kini untuk memperkuat gerakan yang berketeladanan dan berintegritas. Hal itu bukan keliru, tetapi tak sepenuhnya benar. Memang fakta dilapangan dapat ditemukan secara kolektif bahwa jarang adanya daya rentang gerakan mahasiswa Aceh yang kokoh integritasnya mulai saat jadi mahasiswa hingga ia menjadi pejabat. Kehidupan terus mengalir, dari mahasiswa berjuang, kemudian mejadi pejabat.
Demikian halnya, dari mahasiswa setelah lincah jadi mahasiswa koruptor, sampai pada saat jadi pejabat, maka semakin lincah jadi pejabat koruptor. Inilah yang penulis sebut sebagai skema regenerasi koruptor di Aceh. Melihat fakta ini, mustahil akan adanya ledakan bonus demografi yang mempercepat kemaslahatan masyarakat, melainkan petaka demografi yang terus membakar api kemelaratan bagi masyarakat.
Diakui atau tidak, Aceh kini mengalami multikriris. Krisis kepemimpinan kuat dan berintegritas namun surplus kepemimpinan koruptif. Kritis dan surplus ini bukan saja menyebabkan bahaya laten, tetapi juga menampakkan bahwa kekuasaan yang berlebih usai Aceh mengalami konflik ternyata benar-benar membawa kutukan sosial, kutukan politik, kutukan kekuasaan, kutukan pendidikan, kutukan sumber daya alam, hingga kutukan dengan maraknya pembenihan koruptor di kalangan mahasiswa.
Bagaimana menyikapi situasi dan kondisi Aceh seperti ini? Ingat. Serangkaian kutukan untuk Aceh pasti tidak selamanya terjadi, pilihan dan pintu solusi masih terpajang rapi, tetapi entah sampai kapan pintu solusi untuk Aceh itu dibuka secara serius. Kini pintu solusi tersebut asyik dibuka dan ditutup, dikhawatirkan henselnya lepas dan pintunya rusak. Saat pintu solusi itu rusak, maka rusaklah kondisi Aceh mulai dari hari ini dan berdampak di kemudian hari.
Falsafah pintu solusi di atas memberi makna bahwa Aceh saat ini belum ada komitmen bersama, terutama bagi pemangku kekuasaan untuk membuka pintu solusi secara utuh dan jangka Panjang, yang ada hanyalah bermain dan bersembunyi di balik pintu solusi tanpa membukanya. Parahnya, saat pemangku kekuasaan tidak dapat diharapkan lebih, para generasi muda-mahasiswa justru tersungkur sebelum dapat melihat pintu solusi tersebut. Jangankan memegang dan membuka pintu solusi, melihat solusi secara utuh saja belum mampu.
Sampai kapan kita menikmati situasi dan kondisi Aceh seperti ini, saat anggaran Aceh berlimpah namun kemiskinannya terus menganga dan masyarakat miskin terpaksa bersabar dalam kondisi menjerit. Satu-satunya terobosan adalah Aceh mendesak hadirnya solidaritas mahasiswa yang tidak menjadi bagian dari proses regenerasi koruptor pada dirinya. Terkait ini terkadang perlu kita renungkan bahwa bagaimana mahasiswa belajar dan mendapatkan strategi hingga terperosok pada perilaku koruptif? Apakah keasyikan mereka berorganisasi dan bersilaturahmi dengan pejabat menjadikan mereka tersayat mentalitas koruptor?
Jawaban dua pertanyaan ini masih menjadi misteri. Jangan-jangan, pola berorganisasi mahasiswa hari ini justru menjadi jebakan bagi mereka untuk melanjutkan estafet kepemimpinan, sebagai calon pemimpin yang koruptif. Sebab kekuatan dan permainan terkait koruptif tersebut telah mereka tekuni saat berorganisasi, saat menjadi aktivis. Ya aktivis, aktivis yang mahir korupsi. Koruptor muda demo koruptor tua. Koruptor junior lawan koruptor senior. Kehidupan perjuangan apa-apaan yang dipertontonkan Aceh saat ini.
Aceh terus bertumbuh seiring berbagai masalah terus menggerogoti. Aceh masih berharap kepada mahasiswa yang masih hidup di wilayahnya. Aceh tidak boleh dibiarkan menderita dengan maraknya praksis korupsi yang mewartai dirinya dari hari ke hari. Mahasiswa Aceh, sadar dan seriuslah bahwa Aceh sangat berharap pada kekuatan solidaritas dan kekuatan integritas kalian. Tanpa kalian, Aceh tidak lagi sebagai Serambi Mekah, melainkan jadi Serambi Serakah.