Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Politik Riset Era Presiden Jokowi

Minggu, 09 Januari 2022 | Januari 09, 2022 WIB Last Updated 2022-01-09T06:55:48Z



Oleh Zulfata, M.Ag
Direktur Badan Riset Keagamaan dan Kedamaian Aceh (BARKKA). Email: fatazul@gmail.com

Menanggapi pemikiran Guru Besar Antropologi Hukum FHUI, Sulistyowati Irianto (Opini Kompas, 07/01/2022), serta berselang satu hari selanjutnya diikuti pandangan kritis oleh Budiman Tanuredjo (Kompas, Catatan Politik Hukum, 08/01/2022) secara tidak langsung menghujam hati sanubari saya untuk menulis “catatan usil” ini, boleh jadi ini adalah sebagai bentuk pertanggungjawaban saya sebagai generasi bangsa yang menaruh harapan bahwa pergulatan riset di bangsa ini jangan sempat dikendalikan oleh praksis politik golongan yang saling terpecah-belah menjelang Pemilu. Boleh jadi pula tulisan ini sebagai ruang demokratis yang memberi sinyal bahwa betapa bobroknya kepemimpinan riset secara nasional di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Mengapa Presiden Jokowi ikut terseret terkait ini? Bukankah ini bagian dari tanggung jawab menteri terkait atau pimpinan Badan Riset Nasional (BRIN)? Jawaban ini akan didapat pada saat mencermati spirit prosedurl-birokratis yang dibungkus dengan nomenklatur integrasi riset di bawah BRIN. Berbagai persoalan muncul di sini, di antaranya adalah aura polarisasi politik di balik integrasi BRIN dengan kementerian serta lembaga pemerintah dan non-pemerintah di masa Presiden Jokowi.

Peristiwa pegawai yang dipecat dan tidak mendapat pesangon seperti yang disinggung oleh Kepala BRIN Laksana Tri Handoko (3 Januari 2022), belum lagi persoalan efisiensi program riset dan manfaatnya bagi kondisi bangsa dan negara, hingga persoalan program riset apa yang akan dapat diterima oleh pemerintah dan yang tidak dapat diterima pemerintah. Tidak ingin mengurai sederet motif politik dibalik pembentukan BRIN hingga persoalan teknis birokratisnya yang justru mematikan esensi riset itu sendiri. Yang jelas, hasrat politik justru lebih menonjol dalam tatakelola BRIN hari ini dari pada efisiensinya dalam menyelamatkan warga negara,, hingga keanekaragaman riset berbasis riset inovasi lintas sektor. Sehingga berikut pembagian klasifikasi potret kepemimpinan riset secara nasional yang dapat penulis tangkap selama kepemimpinan Presiden Jokowi.

Penulis tidak menyebut bahwa hadirnya BRIN ini ada kaitannya dengan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, tetapi hadirnya BRIN adalah buah pikir dan hasil politik pemerintah dibawah komando Presiden Jokowi dalam upaya memajukan Indonesia (berkedaulatan). Secara kasat mata memang hadirnya BRIN untuk mendorong proses inovasi kebangsaan dan keanekaragaman agar berkembang maju, Namun demikian, melihat gelagat BRIN hari ini, justru bukan perwujudan esensi riset yang terjadi, tetapi telah berubah menjadi panggung politik riset. Para periset/peneliti pun hampir tak ada bedanya dengan politisi partai politik. Ada berbagai kepentingan politik yang menungganginya, hingga ada kehendak politik oligarki masuk di dalamnya, sehingga dapat dipastikan bahwa saat Presiden Jokowi tidak terpilih lagi, maka BRIN akan menjadi “lelucon” bagi para peneliti yang memegang teguh prinsip-prinsip riset yang muaranya untuk kemaslahatan manusia. Bukan satu-satunya landasan kepentingan industri tertentu. Semoga saja BRIN ini bukan sebagai wadah para pendukung Presiden Jokowi dalam mengakomodasi ilmuan/peneliti saat sebelum memenangi Pilpres 2019. Yang jelas, polarisasi politik praktis di kalangan guru besar/ilmuan/peneliti yang semakin terpecah-belah justru semakin jelas terlihat saat ini.

Klasifikasi pertama adalah BRIN tidak mampu menjadi entitas riset yang independen dalam mendaulatkan negara berbasis riset inovatif. Artinya kemerdekaan dalam melakukan riset secara nasional masih jauh panggang dari api. Tangan-tangan oligarki tersembunyi masih kuat mencekam dunia riset Indonesia hari ini. Jangan tanya bagaimana prospek agenda riset kampus, jangan tanya objek penelitian yang dimainkan oleh pemerintah terhadap kampus, serta jangan tanyakan pula apa tujuan periset di kampus. Jawaban pertanyaan ini semuanya akan tidak bermuara pada kemaslahatan hidup rakyat, tapi sekedar mencari makan, ya, riset dapat dijadikan sebagai penopang dapur periset berkarakter picik, berlagak ilmuan padahal kemunafikan. Parahnya anggaran yang dikeluarkan untuk riset masa kepemimpinan Presiden Jokowidodo justru tidak berbanding lurus dengan efisiensi pemecahan masalah bagi kondisi kedaulatan negara hari ini. Semoga akan dibangunnya bukit algoritma (Silicon Valley) tidak menjadi penyokong kelucuan Indonesia dari hari ini untuk masa depan. Astaghfirullah.

Klasifikasi kedua adalah BRIN cenderung dijadikan panggung politik dengan tidak menyebutnya manipulasi riset atas nama riset. Dengan meleburkan semua lembaga riset, ada upaya pengendalian secara terpusat oleh pemerintah dalam menjalankan agenda riset secara nasional. Pada hasrat pengendalian seperti ini seharusnya tidak baik dilakukan, sebab kepemimpinan riset tidak boleh disamakan dengan teori penguasaan negara dalam mengatur perekonomian. Kepemimpinan tidak boleh dikendalikan oleh satu pihak (oligarki), kompetisi politik justru tumbuh subur jika kepemimpinan riset diintegrasikan dengan satu tampuk kekuasaan, terlebih BRIN adalah bentukan politik koalisi pemenangan Presiden Jokowi. Praktik pemenang mengambil semua justru tejadi di era ini, kekacauan politik pemerintah Presiden Jokowi secara tidak langsung berdampak pada kepemimpinan riset secara nasional hari ini.

Klasifikasi ketiga adalah cenderung birokratis. Adanya problem peneliti/periset Aparatur Negeri Sipil (ASN) dengan periset non-ASN menjadikan tatakelola riset nasional hari ini masih terjebak pada persoalan birokratis, prinsip instruksi atasan masih berlaku di sana. Dapat dibayangkan bagaimana inovasi atau temuan secara “radikal” oleh periset dari bawah dapat diterima oleh atasan, sementara atasannya memiliki gejala pertentangan politik dengan temuan periset. Sungguh situasi seperti ini akan menjadikan temuan riset sangat tergantung Apa Selera Bapak (ASB) atau Ikut Selera Bapak (ISB). Ini Indonesia Bos! terlebih di era kepemimpinan Presiden Jokowi, tampak sederet program kabinet menterinya cenderung mengarah pada praksis kepentingan politik sepihak yang justru tampak dominan dalam setiap program yang dilakukan oleh kementerian, apakah itu kementerian agama, kementerian sosial dan kementerian seterusnya. Soal riset untuk kebutuhan rakyat dan kedaulatan negara agar dapat memangkas tali menyusui terhadap negara asing masih jauh panggang dari api.

Klasifikasi keempat adalah semangat integrasi justru mematikan keragaman dunia riset. Bagian ini mempertegas bahwa ada agenda pelumpuhan sektor riset atas nama peleburan atau integrasi lembaga penelitian secara nasional. Seharusnya pemerintah, termasuk aktor intelektual terbentuknya BRIN harus berjiwa besar agar lembaga-lembaga riset di Indonesia jangan dipaksa untuk dikendalikan, sebab masing-masing lembaga riset memiliki visi, prinsip, dan sikap yang tidak sama dengan riset pemerintah. Meskipun semua lembaga riset memiliki cita yang sama untuk terus memajukan Indonesia, tetapi mengintegrasikan untuk mengendalikan lembaga riset secara nasional adalah praksis kekonyolan manajemen riset di Indonesia.

Disadari atau tidak, hadirnya lembaga riset seperti BRIN bukanlah pertama kalinya di masa Presiden Jokowi. Sejarah lembaga riset di tanah air patut dijadikan pembelajaran. Sederet nama-nama presiden Indonesia sebelum Presiden Jokowi juga pernah muncul dan redupnya lembaga riset yang dibangun oleh rezim mereka. Semua ini terjadi karena kekuatan politik pemerintah telah menjadi ancaman bagi independensi pada lembaga-lembaga riset. Semua ini dapat pembaca pahami bagaimana runtuh dan redupnya lembaga riset nasional dari orde lama, orde baru, reformasi, hingga era reformasi dikorupsi saat ini dengan tidak menyebutnya sebagai demokrasi keblablasan.

Oleh karena itu, semua peneliti, ilmuan, akademikus, bahkan para pecinta ilmu pengetahuan di negeri ini jangan terlalu nyaman untuk terus-terusan ikut arus terhadap agenda tata-kelola riset oleh penguasa. Sebab peneliti hari ini harus mampu menampakkan kekuatan keteladanannya dengan menjaga semangat riset dalam memajukan negeri jangan sempat dipolitisasi oleh kelompok-kelompok elite yang berfikir fokus pada kekuasaan lima tahunan (Pemilu), terlebih lembaga riset nasional yang cenderung dikuasai oleh petinggi-petinggi partai politik besar di tanah air saat ini. Akhirnya negara hari ini mungkin sudah benar-benar oleng, hingga suasana riset tidak didudukkan pada tempatnya sendiri. Jangan bermain api dengan tatakelola riset secara nasional jika kita tidak ingin terbakar bahkan hangus di masa depan. Wait and See.