Oleh Zulfata
Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM)
Hari mengenang Tsunami Aceh tahun ini (2021) kembali menyapa dunia, bukan sekedar menyapa Aceh, setelah Tsunami, berbagai negara di segala penjuru dunia mengulurkan tangannya ke Aceh sembari mendonasikan berbagai bentuk uluran tangan keterwakilan warga internasional, kalangan elite, militer, politisi, aktivis, agamawan lintas agama, serta ormas turut seayun dan selangkah untuk membantu Aceh setelah beberapa menit diporak-porandakan oleh gelombang Tsunami Aceh. Sederhananya, gelombang Tsunami Aceh disebut dalam kearifan warga Simeulue sebagai Smong.
Jauh sebelum Tsunami melanda Aceh (2004), Padang (2009) dan Palu (2018), Aceh-Simeulue juga pernah dilanda Tsunami pada tahun 1907, kemudian ada juga yang menyebut pernah terjadi di tahun 1833. Artinya sebelum Indonesia merdeka ternyata telah awal bangsa ini disapa oleh Smong. Jadi, tidak perlu berlebihan takut pada Smong, bersahabatlah dengan dia melalui upaya penguatan pendidikan Smong sebagai pembelajaran hidup manusia.
Hanya saja saat ini Indonesia mesti terus berbenah agar mitigasi bencananya lebih kondusif, preventif tanpa harus menciptakan korban terdahulu baru kemudian adanya program mitigasi dari pemerintah. Dari Smong (Simeulue) senatiasa kita dapat memetik pembelajaran bahwa di balik filsafat Smong sejatinya bukan sekedar imbauan untuk naik ke gunung saat gempa hadir dan air laut mulai surut, tetapi jauh dari itu Smong menyimpan makna keberlanjutan hidup manusia secara berkelanjutan di sana.
Melalui catatan ini saya tidak ingin kembali mengurai khazanah Smong sebagai seni tutur atau Smong sebagai budaya simbolis dari Simeulue. Karena semua terkait sisi itu sudah banyak literasi yang mengurai dan mengulasnya. Setuju atau tidak, saya mencoba untuk menarik nilai metafisikanya Smong bahwa Smong bukan sekedar imbauan lari ke gunung, melainkan suatu kekuatan politik kebudayaan Simeulue waktu itu untuk memberikan praksis kebijaksanaan bagi generasi setelahnya. Sebagai generasi saat ini, kita patut bersyukur bahwa generasi Simeulu waktu masa itu mampu menitip pembelajaran mitigasi bencana yang kemudian disampaikan melalui seni tutur atau cerita Smong bagi generasi setelahnya.
Praksis yang dilakukan oleh generasi Simeulue waktu itu menurut saya bukanlah sesuatu yang langsung jatuh dari langit, pasti daya lenting kebijaksanaan tokoh-tokoh Simeulue waktu itu sungguh mulia niat dan harapannya. Hal ini makin membuat saya memahami bahwa inti peradaban itu mungkin memang terletak di masa lalu, masa lalu meskipun disebut tradisional, namun penuh dengan kekuatan moral, beda dengan masa kini, sederet dengan sebutannya modern, post-modern, kontemporer, milenial, genersi Y, Generasi Z, bonus demograsi hingga ke sebutan generasi alfa, namun kekuatan moral kolektif kewargaan saat ini tampak seperti terjun bebas, sungguh kondisi ini layak disebut sebagai zaman kaya label namun miskin moral. Cukup, saya tak ingin melanjutkan soal kebrobrokan moral masa kini, nanti jadi kehilangan arah substansi tulisan ini.
Generasi Simeulue waktu itu ternyata jauh lebih visioner, mampu menitip makna agar generasi masa mereka yang sempat ditenggelamkan oleh gelombang laut agar tidak dialami lagi oleh anak cucu mereka. Melalui persepktif Smong sebagai politik kebudayaan ini pula secara tidak langsung pembaca boleh-boleh saja memahami bahwa kekuatan yang melekat pada kearifan lokal Smong tersebut adalah bentuk nyata dari politik kebudayaan asal Simeulue untuk dunia, bukan sekedar dari Simeulue untuk Simeulue, bukan sekedar dari Simeulue untuk Aceh, sekali lagi, untuk dunia. Titik.
Boleh saja pembaca tidak setuju dengan perspektif Smong sebagai politik kebudayaan, itu haknya pembaca. Tapi mesti diingat adalah prasis merawat Smong ini mesti diperkuat dengan bukan sekedar merawatnya melalui proses mengenang Tsunami Aceh, bukan sekedar untuk pertunjukan seni saat pernikahan, khitanan atau pesta rakyat lainnya, tetapi jauh dari itu khazanah Smong harus dijadikan sebagai oasis kekuatan kebudayaan Simeulue untuk selalu saling imbau, saling mengingatkan lintas generasi agar terhindar dari marabahaya.
Marabahaya Smong secara fisik memang berbentuk serangkaian gempa dan gelombang laut yang besar yang siap memporak-porandakan daratan kawasan terdampak. Pesan Smong secara fisik memang terselip imbauan untuk naik ke gunung saat gempa dan air laut surut. Tetapi di balik itu terselip nilai metafisika Smong bahwa sebagai manusia yang hidup di kolong bumi ini harus memiliki ikhtiar untuk memitigasi bencana, tak boleh pasrah begitu saja saat bencana tiba, baik bencana alam maupun bencana struktur yang diciptakan oleh manusia yang serakah.
Hadirnya tulisan ini tidak bermaksud untuk menghilangkan simbolis kearifan Simeulue yang dikenal dunia sebagai Smong, tetapi tulisan ini berusaha untuk menarik pembelajaran hidup dibalik nilai filosofis Smong yang dicipta-karsakan oleh masyarakat Simeulu tempo doeloe. Pembaca boleh setuju, boleh saja tidak, tulisan ini adalah upaya diskusi ringan dari penulis terhadap pembaca dengan tema Smong. Jika Smong diakui sebagai kearifan asal Simeulue, lanjutannya apakah kearifan ini tidak boleh dikembangkan perspektifnya untuk mitigasi kemanusiaan di masa depan agar anak manusia selamat dari berbagai bencana? Bukankan nilai kearifan lokal tersebut dapat menjadi semacam “kaca spion” untuk melaju ke masa depan demi kemaslahatan umat manusia, tanpa memandang umur, usia, jabatan, kekayaan hingga ajaran agama?
Sungguh dari Smong perspektif politik kebudayaan ini dapat dijadikan bentalan analisis kebudayaan untuk memberi daya imunitas bagi kekebalan moralitas politik negeri hari ini. Saya tidak ingin mengurai bahwa apakah kearifan lokal (Smong) memberi dampak daya dorong kekuatan moral bagi masyarakat-Kabupaten Simeulue, baik secara ekonomis, politik, kesehatan? Sebab sebagai generasi masa kini cara untuk merawat kearifan tidak boleh terjebak sebagai praksis simpolis-seremonial belaka, melainkan harus mewujud dengan daya lenting moralitas kemanusiaan, dengan bahasa lain dapat disebut apakah daya lenting komando moralitas menyelamatkan masyarakat Siemeulue hari ini sudah meningkat dari pada moralitas Siemelue masa lalu? Jangan-jangan Simeulue hari tak sebijaksana Simeulue masa lalu. Pemahaman seperti inilah yang penulis sebut sebagai misteri Smong sebagai politik kebudayaan masyarakat Simeulue.
Dengan jiwa polos saya, yang terus belajar dari nilai-nilai kearifan lokal Simeulue, saya yakin bahwa Kabupaten Simeulue hari ini para pemimpinnya jujur, peningkatan ekonominya stabil, tidak ada korupsi di sana, lautnya dan pantainya indah seindah perilaku para pejabat pemerintahnya. Jujur memang ini, jujur dari lubuk hati saya yang paling dalam meskipun dalam posisi ini banyak pembaca memastikan bahwa saya sedang memainkan logika terbalik terkait kondisi Simeulue hari ini.
Mohon maaf saya tidak ingin berbicara terlalu jauh terkait Simeulue, sebab saya masih berusaha untuk belajar dari Simeulue melalui perspektif Smong sebagai politik kebudayaan. Jika pun ada yang memahami bahwa Smong jangan saja dijadikan sebagai program pengucuran anggaran pemerintah, jika Smong jangan saja dijadikan sebagai narasi budaya tanpa berdampak pada perilaku masyarakat dan pemerintahnya agar lebih mengedepankan hajat hidup orang banyak. Lanjutan ini tentunya saya serahkan kepada para pemuda Simeulue, tokoh cerdik-pandai serta kaum ulama di sana untuk tak lelah membangun Simeulue berbasis kearifan lokal.
Seingat saya, fungsi kearifan lokal juga bertujuan untuk meningkatkan keadaban masyarakat dari masa ke masa, sudahkah daya lenting keadaban masyarakat di Simeulue semakin menguat atau terjun bebas. Jujur, saya tidak dapat menjawab soal ini, semoga filosofi Smong dapat membuka cara pandang kita semua, baik terkait eksistensi Simeulue, Aceh maupun dunia bahwa kepentingan kemaslahatan hidup orang banyak harus selalu kita imbau agar generasi masa depan tidak tenggelam dalam gelombang fatamorgananya dunia yang fana ini. Semoga.