Andi Saputra, S.HI (Ketua Meurah Silu Foundation)
15 tahun berlalu sejak penandatangan damai Aceh di Helsinki pada tahun 2006, Aceh masih Provinsi kedua termiskin se-Sumatera. Padahal Aceh berkewenangan khusus dan mendapat dana otonomi yang besar. Karenanya Meurah Silu Foundation yang berbasis di Pase (Aceh Utara) berpendapat bahwa memang sudah saatnya Ulama ‘turun gunung’.
Kegiatan silaturahmi ulama se-Aceh adalah langkah konkrit Ulama atas kegundahan bangsa Aceh selama ini. Lebih lagi di era teknologi informasi yang dibanjiri oleh informasi yang kian tidak relevan dan penuh kebohongan (hoaks), kejelasan adalah kekuatan. Dan Ulama menuntun kita ke arah ‘kejelasan adalah kekuatan’ tersebut.
Terlalu sempit cara berpikir kita bila melihat Silaturrahmi Ulama se-Aceh seolah reaksi atas sikap politik kelompok masyarakat tertentu. Karena cara berpikir demikian adalah cara berpikir di jaman batu dalam konteks ke-Acehan.
Aceh pernah berada di puncak kejayaan di era Kesultanan karena kesadaran kolektifnya sebagai bangsa yang berperadaban tinggi. Melaksanakan Syari’at Islam dalam bingkai ahlus sunnah wal jamaah.
Pemain Global yang miliki sumber daya alam, sumber daya manusia dan letak geografisnya yang strategis. Aceh milik bagi semua orang Aceh. Masalahnya juga masalah bagi semua orang Aceh termasuk Ulama.
Ulama Aceh menggerakkan kembali kesadaran kolektif bangsa Aceh secara terbuka (inklusif). Hal tersebut terlihat jelas pada poin ketujuh dalam rekomendasinya, “Para ulama sangat sadar bahwa membangun Aceh tidak dapat dilakukan oleh satu kelompok tetapi harus dilakukan semua kelompok dan komponen baik di tingkat lokal dan nasional.”
Sebagaimana ungkapan dari Imam Malik Bin Anas, “Generasi selanjutnya tidak akan pernah berhasil kecuali dengan konsepsi lama yang pernah terbukti sukses.” Islam di masa Kesultanan telah terbukti dan teruji sebagai pemersatu dan pemantik kebangkitan Aceh. Islam tidak menjadi hambatan bagi lancarnya diplomasi, hubungan dagang dan pengembangan pendidikan dengan luar Negeri.
Situasi Dunia terus berubah dan berkembang pesat. Aceh tidak hanya dihadapkan pada penyelesaian masa lalu seperti kemiskinan dan pengangguran, namun juga mau tidak mau, siap tidak siap, harus menghadapi tantangan-tantangan di masa depan.
Karenanya, mari bersatu bersama Ulama demi masa depan generasi Aceh.
Jangan sampai kita terus terjebak dalam pola pikir yang tidak kontekstual di Aceh dan terjerumus dalam pola tindak yang tidak relevan dengan semangat jaman. Jangan sampai kita terus disibukkan dalam hal yang penuh kesia-siaan.
Come On, Orang mulai menggunakan mesin, bukan lagi mempekerjakan orang. Sedangkan di Aceh belum berpindah tema diskusi dari semisal, “Bagaimana nasib perempuan petani Tirom?” dan “Bagaimana mewujudkan Pemilu yang bersih?”
Wahai harapan bangsa, sahuti seruan Ulama, walau di jalan berbeda bergeraklah untuk memperbaiki perpolitikan di Aceh. Mari, bersama Ulama kita selamatkan masa depan Aceh!.