Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mengukur Kekuatan HMI

Jumat, 26 November 2021 | November 26, 2021 WIB Last Updated 2021-11-26T13:59:13Z



Oleh : Zulfata

Ada yang beranggapan ber-HMI tak kenal henti, sampai umur kapanpun tanggung jawab ber-HMI akan terus melekat pada diri seorang yang pernah dikaderkan di laboratorium HMI. Benarkah sedemikian anggapannya? Jawaban ini sungguh relatif, tentatif, subjektif, sangat tergantung bagaimana pengalaman dan kesadaran seseorang yang ber-HMI. Pada bagian tulisan sebelumnya telah banyak singgungan yang diuraikan terkait perjalanan dan liku-liku HMI dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Untuk itu, bagaimana cara mengukur kekuatannya? Apa alat ukur memahami kekuatan HMI? Dari sisi manakah HMI dapat diukur?

Untuk sampai pada jawaban dari sederet pertanyaan di atas, sudah menjadi rahasia umum bahwa HMI adalah organisasi pengkaderan (terlepas apa yang dikaderkan, misalnya apakah pemberantas koruptor, atau penerus koruptor). Yang jelas kader HMI katanya memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan kehidupan adil dan makmur yang diridhai Allah Swt. Komitmen keislaman dan keindonesiaan melekat di dalamnya.

Tidak ada yang meragukan dinamika HMI dalam bernegara, “apa lagi berpolitik praktis”, HMI yang didirikan beberapa tahun setelah Indonesia merdeka hingga saat ini tentu memiliki liku-likunya tersendiri, dalam liku tersebut terdapat prestasi, pencapaian hingga pada kekacauan. Memahami perjalanan HMI hampir sama dengan memahami liku-liku dinamika bernegara dari orde lama (orla) hinga orde baru (orba). Alasannya bahwa HMI selalu bersinggungan dengan kekuasaan, aktor-aktor negara terlibat langsung dangan mendongkrak HMI, atau ingin melumpuhkan kekuatan HMI.

Di akhir pemerintahan orla, HMI menjadi salah-satu lembaga konsolidatif mahasiswa beragama Islam yang langsung berlawanan dengan barisan pendukung komunis. HMI berbenturan dengan komunis, HMI dan komunis sama-sama menampakkan kekuatannya di hadapan kepala negara (presiden). Waktu itu suara “ganyang HMI” meluap, pemuda-pemudi komunis mendesak HMI agar bubar. HMI tidak diam, HMI terus bergerak melalui berbagai strategi perlawanannya, hingga HMI sempat bekerjasama dengan militer dalam melemahkan kekuatan politik komunis di Indonesia.

Masa orba, HMI berhadapan dengan pemimpin yang sering disebut pemimpin otoriter. Masa orla, HMI bekerjasama dengan militer yang kemudian pemimpin militer tersebut menjabat sebagai presiden di masa orba. Saat pemimpin negara dipimpin dari kalangan militer, sebut saja namanya Presiden Soeharto. Di masa kepemimpinannya HMI mengalami benturan. HMI dihadapkan dengan pemberlakuan azas tunggal, yang kemudian HMI mengalami pembelahan secara konsepsi ideologi, yang satu berkutat dengan ideologi berlandaskan Islamisme, yang satunya lagi berkutat pada konsepsi ideologi berlandaskan Pancasila. Kini, jika HMI masih memperdebatkan benturan antara islamisme dan Pancasila secara ideologis, sehingga HMI lalai menjalankan tanggung jawabnya dalam bernegara, pada saat itu pula HMI berubah menjadi Himpunan Mengatasnamakan Islam.

Masih di masa orba, HMI kembali mendapat peran penting, sosok dari HMI yang berpengaruh waktu itu, sebut saja Cak Nur, disebut-sebut dekat dengan Partai Golongan Karya, sehingga dalam berbagai pendapat terkait kendaraan politik Cak Nur menjadikan ia tak jadi meraih kursi presiden waktu itu. Banyak pertimbangan yang menjadikan Cak Nur gugur menjadi presiden. Benar bahwa tak seutuhnya raga dan pikiran Cak Nur diidentikkan dengan HMI, tetapi di balik kemegahan HMI waktu itu tidak lepas dari pola kepemimpinan Cak Nur di HMI. Pada posisi inilah pantas mengatakan bahwa banyak kontribusi pemikiran Cak Nur di HMI, mulai dari persoalan perumusan ideologi HMI hingga menciptakan kepemimpinan strategis untuk HMI.

Dari deskripsi singkat dan bebas saat HMI melenggang di dua era (era orla dan orba), dapat ditarik benang merah bahwa HMI memiliki harga tawar yang sebanding dengan partai politik (parpol) sebagai mesin politik pemerintah, artinya HMI tidak ada yang mengintervensi, ia jalan dan berpolitik sesuai prinsip politik HMI itu sendiri yaitu politik kemanusiaan, politik kebudayaan, politik kenegaraan (bukan politik pemerintah), politik keummatan hingga politik “teologi pembebasan”. HMI berdiri tegak atas dasar independensi ilahiah. Dari sisi ini dapat dilihat bahwa kekuatan HMI berangkat dari komitmen perjuangannya untuk menyelamatkan negara dari ancaman komunisme dan kolonialisme serta mengangkat harkat-martabat manusia dalam bernegara.

Dengan kekuatan HMI yang begitu besar waktu itu, menjadikan ia sebagai lembaga yang tidak boleh jauh dari kekuasaan. Jika HMI jauh dari kekuasaan, sungguh dimungkinkan kekuasaan itu akan memberikan karpet merah bagi kaum politik sisa sisa komunis-liberalis (pascaorla), demikian pula di masa orba, HMI tidak boleh jauh dari kekuasaan, karena kehadiran HMI di masa orba berpeluang untuk menciptakan stabilitas politik bagi kekuatan politik umat Islam waktu itu.

Dari deskripsi terkait pemetaan kekuatan HMI di atas, dapat dikerucutkan bahwa untuk mengukur kekuatan HMI dapat diukur melalui gerakan kepemimpinan, diplomasi, militansi, daya ideologis, konsolidasi, daya kontrol, daya tahan di hadapan kekuasaan hingga pada level regenerasi pengkaderan. Semua sisi yang disebutkan di atas adalah sisi-sisi yang mesti terus diukur untuk menilai sejauh mana kekuatan HMI.

Di masa orla, jelas bahwa kepemimpinan HMI teruji. Diplomasi HMI sungguh solid. Militansinya berapi-api. Daya ideologisnya stabil. Konsolidasinya utuh. Daya kontrol terhadap negara bersifat efektif. Daya tahan di hadapan kekuasaan tidak menjadikan HMI menyembah penguasa. Pengkaderannya terus berjalan dalam melahirkan para manusia-manusia yang berintegritas lintas profesi waktu itu.

Ingat, tulisan di atas adalah cerita masa lalu atau lebih baiknya disebut sebagai sejarah gemilang peran HMI dalam berbangsa dan bernegara. Tidak ingin terjebak pada romantika sejarah HMI, atau berapologi terkait HMI. Apa yang disampaikan di atas senantiasa menjadi cerminan, menjadi penggiring untuk berani mengukur kekuatan HMI setelah orba. Lanjutnya, bagaimana kekuatan HMI pascareformasi? Bagaimana kekuatan HMI pascareformasi dikorupsi, hingga bagaimana kekuatan HMI di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo?

Penulis tidak ingin menjawab beberapa pertanyaan terkait seberapa kuatnya kekuatan HMI pada masing-masing pertanyaan di atas. Hanya saja penulis mencoba memberikan perangkat alat ukur bagi pembaca untuk silakan mengukur kekuatan HMI. Alat ukur tersebut adalah pikiran yang sehat dalam menganalisis. Sudut pandang yang merdeka dengan disertai kejujuran berlandaskan hati nurani dalam menilai kekuatan HMI. Objek ukuran HMI selain dapat mengukur sisi pergerakan HMI di eksternalnya, juga dapat dilihat sejauhmana komitmen pengkaderan HMI yang kini sudah tersebar di seluruh wilayah di Indonesia.

Jenjang training formal yang sering disebut oleh kader HMI sebagai LK-1, LK2, LK-3 hingga training lainnya di HMI juga dapat dijadikan alat ukur untuk memahami seberapa kuatnya HMI hari ini. Setelah mencermati semua objek dan pergerakan HMI, baik di internalnya maupun di eksternalnya, kemudian didudukkan atas peta ideologis HMI (Nilai Dasar Perjuangan) di situ akan tampak bagi pembaca terkait seberapa kuatnya HMI, atau seberapa lucunya HMI hari ini, atau seberapa anehnya HMI hari ini, atau HMI telah bubar dengan sendirinya seiring Presiden Soharto Memundurkan diri, atau seiring Gus Dur dilengserkan. Pada kesempatan ini pula tidak keliru rasanyanya mengatakan, jangan-jangan HMI hari ini hanya tinggal cangkangnya saja, sehingga ruhnya sudah lama meninggalkan rakyat Indonesia. Atas dasar pengukuran seperti inilah mari kita bubarkan cangkang HMI yang tidak memiliki ruh perjuangan keislaman dan keindonesiaan tersebut.

Penulis adalah provokator akal sehat yang sering masuk dalam training HMI