Oleh Zulfata
Kader HMI yang pernah merasakan gemblengan secara kultur dan struktur di HMI telah menyebar ke berbagai sektor ruang publik, termasuk mengisi hirarki jabatan pemerintah. Sistem kekuasaan yang menghubungkan antara atasan dan bawahan yang kemudian melahirkan suatu kebijakan dan pelaksanaan kebijakan dalam lingkup pemerintah sering juga disebut sebagai birokrasi pemerintah. Pemerintah juga dipandang sebagai pilar eksekutif yang memiliki hirarkinya tersendiri. Hal yang mengawasi, menganggarkan dan merancang peraturan disebut pilar legislatif. Keterpaduan eksekutif, legislatif dan masyarakat disebut sebagai pemerintahan.
Lantas dalam sistem pemerintah, dimanakah posisi HMI? Apakah ia merupakan sub-pemerintah yang kemudian menjalankan agenda-agenda pemerintah? Apakah HMI tunduk dan patuh atas segala hasrat kuasa pemerintah, sehingga hanya menonton sejumlah kegagalan agenda pemerintah? Apakah HMI tidak boleh mengevaluasi pemerintah karena sosok yang sedang mengisi pemerintah adalah pernah menjadi bagian dari HMI? Bolehkah HMI kehilangan arah pergerakan dalam menyikapi pemerintah? atau HMI tidak memiliki tanggung jawab untuk mengurus pemerintah?
Yang jelas, HMI hadir sebagai penyeimbang, pengontrol dan penyokong pemerintah agar tidak keluar dari rel pelayanan publik yang efektif dan efisien. Birokrasi pemerintah yang memiliki lintas sektor garapan juga harus mendorong HMI dapat mampu atau mengisi peran sebagai intelektual publik agar arah birokrasi pemerintah tidak keluar dari apa yang diinginkan rakyat. Misalnya, rakyat tidak menginginkan birokrasi pemerintah yang tak efektif, koruptif hingga tak mengedepankan nilai perikemanusiaan.
Namun demikian, apa jadinya jika HMI menjadi luluh di hadapan birokrasi pemerintah. Bagaimana pula jika kader HMI bergerak seperti budaya birokrasi pemerintah? Tentunya tradisi ber-HMI tidak boleh sama dengan etika birokrasi pemerintah. Jika birokrasi pemerintah tidak dibenarkan anggotanya melawan atau berdinamika dengan atasannya, maka di HMI melawan atasan dengan ketentuan tertentu adalah suatu proses dinamika kepemimpinan, bahkan jika dinamika kempemimpinan tersebut tidak dialami, maka daya tahan kader HMI tersebut akan mengalami mental kerupuk dan keropos.
Sejatinya banyak perbedaan yang mencolok antara pola struktural di HMI dengan pola hirarki kekuasaan dalam pemerintah. Hal ini adalah suatu kewajaran. Yang kurang wajar bahkan sesuatu yang aneh adalah saat kader HMI merasa seperti birokrat pemerintah di mana para atasannya harus mendapat pelayanan yang istimewa dari bawahannya, serta para atasan tidak boleh diajak berdinamika. Upaya untuk menemukan persamaan dan perbedaan antara HMI dengan birokrasi pemerintah ini senantiasa HMI tidak boleh menjadi lembaga pemerintah, terutama lembaga di bawah kendali presiden atau kementerian, gubernur, bupati/wali kota.
Kini, HMI itu tampak seperti takluk di hadapan istana, kini tampak kinerja HMI (PB) seperti tak ubahnya dengan kementerian. Sepertinya HMI tidak ubahnya dengan perusahaan yang mengelola program pemerintah, parahnya adalah kini HMI justru tampak memanipulasi tujuannya untuk mengisi jabatan birokrasi dalam pemerintah. Benar bahwa tidak ada yang salah jika kader HMI, atau alumni HMI yang masuk ke dalam birokrasi pemerintah dengan tujuan perbaikan kapasitas kepemimpinan pada pemerintah, tetapi hal ini justru kader HMI mengalami kehilangan arah atau kekuatan perjuangannya menjadi lemah saat berada dalam sistem birokrasi pemerintah.
Sebagai contoh, perhatikan beberapa jabatan posisi strategis kader HMI saat ini yang menduduki jabatan birokrasi pemerintah, baik sebagai menteri, gubernur, bupati/wali kota, kepala dinas dan lain sebaginya, posisi kader HMI yang menduduki jabatan sedemikian belum menjadikan birokrasi pemerintah benar-benar progresif dalam menerjemahkan kebutuhan rakyat. Namun demikian hal yang sebaliknya justru terjadi yaitu mengamankan atau berusaha mengelola kader HMI melalui kekuatan yang berasal dari birokrasi pemerintah, sehingga melalui sosok yang ber-HMI di dalam birokrasi pemerintah terus berusaha untuk mengelola kader HMI di luar pemerintah dengan tujuan pengamanan bagi penguasa atau mengaminkan seluruh hasrat penguasa.
Tidak jarang adanya upaya pelemahan demonstrasi yang dilakukan kader HMI yang kemudian terus dihalang atau dipersuasif oleh kader HMI yang berada dalam birokrasi pemerintah, sebut saja yang berada di dalam birokrasi pemerintah ini sebagai alumni HMI. Pada posisi ini alumni HMI yang berada di dalam birokrasi pemerintah militansi pragmatisme jabatannya sangat kuat. Sehingga dapat melakukan apa saja terhadap kader HMI yang sedang berproses, termasuk dalam mengintervensi pergerakan kader HMI yang sedang aktif berproses. Misalnya adanya intervensi atau penggiringan pergerakan pada pengurus cabang HMI oleh sosok alumni HMI pada birokrasi pemerintahan.
Pertanyaan kritis lanjutannya yang harus dijawab adalah jika benar yang pernah ber-HMI kemudian masuk ke birokrasi pemerintah di seluruh Indonesia dapat menjadikan birokrasi pemerintah di tanah air berjalan sesuai dengan cita-cita rakyat? Sungguh hal ini masih jauh panggang dari api. Oleh karena itu, HMI tidak boleh tunduk seutuhnya kepada sistem birokrasi pemerintah dengan maksud bahwa HMI harus menjadi mitra kritis bagi pemerintah, HMI bukan berposisi sebagai musuh pemerintah, melainkan sebagai penguat kerakyatan yang tak boleh lepas dari agenda pemerintah. Tanpa menjadi mitra kritis, dapat dipastikan HMI akan terus-terusan masuk dalam skema kekuasaan praqmatismenya pemerintah.
Mencermati kajian HMI dan birokrasi pemerintah ini secara tidak langsung ingin mempertegaskan bahwa puncak karier ber-HMI bukanlah menyasari jabatan atau orientasi kekuasaan pada jabatan birokrasi pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN). HMI bukan dibentuk untuk mengisi jabatan strategis pada birokrasi pemerintah. Jauh dari itu, HMI harus menjadi penyeimbang bagi sehatnya roda putaran birokrasi pemerintah dalam melakukan agenda pelayanan dan tujuan kemaslahatan publik di seluruh Indonesia yang sesuai dengan agenda keislaman dan keindonesiaan.
Pada Posisi ini pula pembaca harus memahami bahwa setiap alumni HMI yang telah berada atau mendapat jabatan pada birokrasi pemerintah, maka jabatan tersebut tidak boleh mengganggu arah perjuangan HMI yang sejatinya untuk memberantas kemungkaran yang dianggap bagian dari agenda pemerintah. Alumni HMI yang berada pada birokrasi pemerintah tidak dibenarkan menjadi alat penguasa untuk mengubah orientasi perjuangan HMI menuju cita-citanya. Kini sudah lazim terlihat bahwa sosok-sosok alumni HMI yang mendapat jabatan strategis pada birokrasi pemerintah sedang berusaha menggiring HMI untuk berkoalisi dengan kekuatan politik oligariki atau feodalimse yang mesra dengan pemerintah hari ini.
Meski demikian, sistem birokrasi pemerintah bukanlah musuh HMI, tetapi birokrasi pemerintah yang brobrok harus dibenahi oleh HMI sebagai bagian dari perwujudan kehidupan adil makmur yang diridhai Allah swt. Senada dengan itu pula alumni HMI benar menjadi bagian terpenting dalam upaya konsolidasi HMI, tetapi alumni HMI yang berusaha melemahkan kekuatan HMI atas dasar wujud profesionalitasnya sebagai birokrat pemerintah tidak boleh dibiarkan. Intinya, HMI adalah HMI. Ia harus selalu mengedepankan prinsip independensinya sebagai wujud komitmen pada kebenaran ilahiah universal. Birokrasi pemerintah adalah birokrasi pemerintah, di dalamnya tersirat agenda politik lima tahunan penguasa. Meski HMI dan birokrasi pemerintah dapat berkolaborasi, jangan sempat pula perjuangan HMI mati dan berganti menjadi HMI sebagai sub-struktur birokrasi pemerintah. Jika hal ini terjadi, inilah yang disebut sebagai Himpunan Mahasiswa Istana (HMI).
Penulis adalah provokator akal sehat yang sering masuk dalam training HMI