Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Berani Jujur Pecat

Minggu, 03 Oktober 2021 | Oktober 03, 2021 WIB Last Updated 2021-10-03T14:09:30Z



Oleh Zulfata

Diakui atau tidak, kejujuran belum dijadikan kekuatan dalam menyelenggarakan negara, apakah itu dari sisi eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Kejujuran lebih condong dijadikan urusan keimanan masing-masing manusia, belum menjadi sebuah praksis atau agenda birokrasi untuk memperkuat negeri. Munculnya kesadaran untuk cari aman lebih menguat dari pada bersuara jujur di setiap instansi pekerjaan. Pandangan untuk tidak ingin mengganggu urusan kekuasaan lebih baik dari pada memperjuangkan nasib hajat hidup orang banyak. Kita seakan-akan menyongsong ke arah berkehidupan plural egosisme, bermoderasi dengan egoism. Prinsip hidup berakhir menjadi bermanfaat untuk diri sendiri. Memperdulikan nasib banyak orang adalah sesuatu yang dijalani meskipun tak ingin diakui.

Memilih jujur yang kemudian dianggap membuat onar, tukang kompor, tidak sopan, tidak beretika, tidak sesuai keinginan pimpinan atau harus ikut selera tuan masih menjadi faktor penyelamat seseorang dalam bekerja. Praktik saya ikut asal tuan senang kemudian menjadi sebuah komando instansi, yang seharusnya berpegang kepada kebenaran dan kejujuran berubah secara otomatis untuk menyenangkan tuan atau para tuan-tuan. Lantas untuk apa kita menganggarkan proyek penelitian sosial humaniora di negeri ini untuk menciptakan sebuah solusi, padahal masalahnya ada di diri kita sendiri, birokrasi kita sendiri. Malu-malu untuk membuka diri bahwa kita takut jujur demi sesuap nasi, serta kenyamanan hidup pribadi atau mitra diri.

Dalam bekerja, atau mengabdikan diri kepada negara, tak perduli dengan prestasi pembongkaran kebusukan politisi korup. Upaya melakukan pemberantasan korupsi mudah terjebak stigma, diciptakan ranjau atas nama seleksi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pencegahan radikalisme pada suatu instansi. Sungguh unik bin aneh cara untuk melumpuhkan kekuatan pemberantasan korupsi pada waktu yang tidak dapat disebutkan itu. Tebang pilih pemberantasan korupsi telah menjadi rahasia publik dengan melumpuhkan kekuatan para mereka yang telah jujur dalam memberantas korupsi.

Karier pemberantasan mereka berakhir dengan pemecatan akibat tidak dianggap lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Tak peduli dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pelaksanaan seleksi tersebut, tak peduli seberapa besar kasus yang dapat dibongkar ketika tidak ada pemecatan penyidik tersebut. Yang jelas pecat karena mereka tak taat perintah tuan, stigma Taliban dipaksa tempelkan pada mereka meskipun ada yang mengaku di antara mereka yang berkehidupan “saliban” penuh damai dalam keberagaman.

Menjelang pemecatan tersebut, disambut pula sebuah wacana bahwa pihak kepolisian bersedia untuk menerima lebih dari lima puluh anggota yang dipecat dari instansi anti rasuah, wacana tersebut menjadi suatu yang semakin aneh, mengapa yang tak lulus TWK dapat menjadi bagian dari ASN sebagai bagian dari kepolisian, atau apakah ini sebuah permainan wacana yang dimaikan oleh elite negara? Sungguh kita sebagai rakyat kecil hanya bisa menulis dengan hati-hati, kelewatan bicara dapat ditanggap dengan berbagai tuduhan yang didasari kepastian hukum.

Kondisi sedemikian secara perlahan-lahan kekuatan kejujuran ditekan, semangat drama atau sandiwara elite melebar dari panggung pidato kenegaraan hingga visi dan misi kampanye politik saat ingin memikat suara publik. Publik dibutuhkan khusus di waktu pesta demokrasi, di waktu itu, praktik sogok-menyogok melibatkan publik, transaksi yang kemudian disebut money politic sudah menjadi sesuatu yang lumrah dalam berpolitik. Politik menjadi padat modal, bukan meniscayakan kejujuran. Pesta demokrasi mempersatukan kerjasama antara calon pemimpin dengan rakyat untuk sama-sama tidak jujur dalam memilih, untuk sama-sama tidak jujur dalam memberantas kepura-puraan menjalani tanggung jawab bernegara.

Peran negara yang seharusnya mampu menjamin warganya agar terhindar dari praktik penimpuan atau ketidakjujuran, justru negara terseok-seok dengan praktik ketidakjujuran itu sendiri. Sehingga kiblat penyelenggaraan yang dibangun penuh dengan ketulusan dan kejujuran para pendiri bangsa berubah menjadi praktik bersandiwara dari kita untuk kita, yang kemudian berubah menjadi konsep demokrasi ketidakjujuran yang berprinsip dari ketidakjujuran kita untuk ketidakjujuran dalam memperjuangkan cita-cita bangsa.

Hadirnya tulisan ini bukan untuk sebuah tuduhan, dan bukan pula ingin menggiring bahwa negara yang bernama Indonesia kental dengan ketidakjujuran yang massif. Hanya saja tulisan ini hadir untuk sebuah kontemplasi sembari menikmati kopi dengan sebongkah ubi kayu yang direbus di pagi hari. Bagi yang membaca tulisan ini tidak mesti memaksakan kehendak bahwa kejujuran harus menjadi panglima dalam menyelenggarakan negara, cukup menjadikan kejujuran sebagai tema-tema pidato atau ceramah-ceramah religi.

Jika terus-terusan memaksa agar kejujuran bernegara atau dalam kehidupan birokrasi harus ditegakkan, maka akan banyak para penyelenggara negara akan kehilangan pekerjaannya, akan banyak yang di ancam, akan banyak yang dianggap Taliban, teroris, radikal dan mudah dikaitkan dengan perkara hukum. Kondisi ini menjadikan budaya birokrasi untuk menikmati ketidakjujuran bernegara. Sikap pasrah pada penguasa telah menjadi pilihan akhir. Masyarakat yang telah dewasa benar-benar tidak menginginkan kejujuran itu menjadi cahaya dalam menjalani aktivitas bernegara atau memperkuat masyarakat.

Kejujuran diperkuat untuk mendidik generasi selanjutnya, pendidikan karakter terus-terusan disuguhkan kepada mereka (anak/remaja), demikian pula kekuatan moralitas disadarkan pada mereka. Tetapi, setelah mereka dewasa, nasehat untuk jangan terlalu jujur dalam bekerja adalah sebuah jalan selamat dalam bekerja, tidak perlu meluruskan kekuasaan adalah sesuatu yang efektif dari pada menyusahkan diri, sanak dan keluarga karena diteror penguasa. Perjuangan untuk menegakkan kebenaran berubah menjadi memperjuangkan diri sendiri, perjuangan sanak dan keluarga. Penulis tidak mengetahui secara pasti, apakah siklus kehidupan yang disinggung dalam tulisan ini adalah keniscayaan hidup sebagai manusia masa kini, atau dampak dari kondisi kemanusiaan hari ini yang semakin terlanjur nyaman dengan kehidupan untuk tidak jujur.

Ketika kejujuran dilemahkan, seiring itu pula kemunafikan meraja-lela dengan berbagai diksi yang menutupinya. Misalnya berkolaborasi terus dijalankan meski di dalamnya adanya praktik sokong menyokong dari praksis ketidakadilan, demikian pula taat pada atasan adalah sebuah kewajiban bagi bawahan mesti praksis ketidakjujuran terus diperkuat di dalamnya. Kondisi sedemikian secara tidak langsung menjadikan ketidakjujuran yang sejatinya menjadi etos kerja atau etos pengabdian telah benar-benar runtuh, berserak di pinggir-pinggir jalan dan di sapu bersih oleh tukang sapu jalan. Oleh karena itu jangan heran ketika kita melihat tukang sapu jalan jauh lebih jujur dari pada tukang bicara di parlemen atau di istana.

Kemudian kondisi sedemikian juga menandakan ketidakjujuran telah terorganisir dalam bentuk birokrasi, telah membentuk budaya kerja baru yang disebut budaya korupsi karena tuntutan pekerjaan yang memaksa kita harus korupsi secara elite. Korupsi dalam dunia birokrasi tanpa disadari telah menjalar hampir ke semua level birokrasi, mulai dari pemerintahan pusat, hingga ke pemerintahan desa.

Kita sebagai rakyat biasa tak perlu heran dengan situasi dan kondisi itu, sebab jika kita terlalu berkata jujur, maka kita akan dianggap sok suci, polos, tidak mampu menyesuaikan untuk hidup dalam dunia birokrasi modern. Stigma sedemikian terus menjadi pandangan hidup dalam dunia kerja pemerintahan, bahkan menguat dalam perbincangan masyarakat. Sehingga berani jujur pecat adalah sebuah yang kita saksikan dan rayakan hari ini. Seperti inikah kedaulatan rakyat dan kedaulatan negara yang diinginkan Undang-Undang Dasar 1945? Mungkin lambaian ombak saat menghempaskan diri di bibir pantai cukup paham untuk menjawabnya.

Penulis adalah direktur Sekolah Kita Menulis (SKM)