Oleh Richad Indra Cahya
Islam adalah wahyu, atau lebih taktis lagi merupakan suatu ajaran dan tanda-tanda ilahiah bagi para penganutnya. Agama Islam dalam pengalaman sejarahnya tak lekang dari kondisi ruang dan waktu. Dimana setiap kebudayaan dan daerah tertentu pasti memiliki coraknya masing-masing.Lalu timbul suatu pertanyaan, “apakah Islam itu relevan dengan perubahan sosial?”. Maka penulis bisa menjawab hal tersebut dengan penjelasan deduktif: “tentu relevan”
Mari kita telisik sedikit lebih jauh ke belakang. Pada mulanya, bapak agama samawi yaitu Ibrahim menyebarkan ajaran Tauhid yang dikenal juga sebagai agama hanief. Meskipun nabi Adam juga diklaim sebagai Rasul pertama, namun revolusi ajaran Tauhid memang terjadi masa Ibrahim. Alasan lain kenapa nabi Ibrahim disebut juga sebagai Agama Samawi adalah dari sanad keturunan beliau lah lahir tokoh-tokoh penting dalam sejarah. Semisal Yakub bagi Yahudi, Isa bagi Nasrani, serta Muhammad bagi Islam. Namun dari perjalanan sejarah anak-cucu Ibrahim tersebut tentu memiliki kebenaran versi golongannya masing-masing. Tapi kebenaran mutlak dan penyempurna ajaran sebelumnya tentu pada zaman khotimul anbiya yaitu Muhammad SAW.
Berbeda dengan yahudi dan nasani yang melenceng dari akidah tauhid, islam sendiri tidak menegasikan nabi-nabi sebelumnya yang pernah bedakwah pada kaumnya (yahudi, nasrani). Tendensi sperti ini ada kaitannya juga dengan kecemburuan sosial antaa keturunan Ishak bin Ibrahim dengan Ismail bin Ibrahim. Terlebih karena Nabi Muhammad SAW adalah nabi penutup sekaligus satu-satunya yang dari keturunan Ismail. Sentimen sanad cukup rentan menjadi momok menakutkan bagi politik-agama di tanah Arab. Jangankan perbedaan kelas sosial, perihal gender dan rasial pun sangat menentukan sikap masyarakatnya. Bahkan pada kondisi terburuk, hal tesebut bisa menyulut peperangan.
Dalam konstelasi perubahan sosial serta kaitannya dengan perjalanan ajaran agama-agama, baik itu agama ardhi atau pun agama samawi, adaptasi sistem sosial dan politik merupakan instumen yang tak kalah penting dalam eksistensi agama tersebut.
Perlu kita sadari, ajaran agama tidak pernah spesifik menyinggung soal konsep negara. Tesis negara ideal sepeti apa sistem pemerintahannya bukan hal yang menjadi bahasan khusus dalam wahyu. Tapi bagaimana cara memandu rakyat/umat, bagaimana menjadi pemimpin, hal tersebutlah yang disampaikan dalam agama.
Khilafahisme adalah salah satu contoh konsep ideologi negara yang merupakan hasil penyelewengan syariat. Karena tidak ada variabel jelas dalam sistem yang ditawarkan dan cenderung romanitisisme masa lalu saja. Padahal, kalau dibanding dengan era kepemimpinan asul, jaman kekhalifahan justru lebih mengedepankan imperium daripada menyebarkan ajaran. Yang pada akhirnya runtuh karena disorientasi internal.
Menyoal tentang kepemimpinan juga tidak ada anjuran spesifik dalam agama, tentang tipe pemimpin yang seperti apa yang cocok dengan umat islam. Namun yang pasti, kita menjadikan Rasul sebagai tauladan utama. Karena Rasul mengajarkan cara, bukan nama. Yang beliau ajarkan kepada umatnya adalah isi, bukan bungkus. Mengendalikan konflik, mengangkat derajat rakyat, itu semua sudah kompleks diajarkan oleh Rasul. Ini lah uniknya ajaran Islam yang telah diwariskan spirit tauhidnya semenjak Ibrahim.