Oleh : Sri Irawati Mukhtar
(Peserta Advance Training Badko Riau-Kepri)
Dalam sejarah tentang demokrasi, selalu datang masa “ratu adil” pada waktu demokrasi dalam suatu negara sedang porak poranda. Dalam sejarah demokrasi Indonesia misalnya, datang masa reformasi (sejak tahun 1998), Ketika demokrasi Indonesia porak poranda mulai dari masa presiden Soekarno dan memuncak di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Atau di tempat lain, misalnya datang masa Setoa yang dihasilkan oleh runtuhnya zaman keemasan Yunani untuk kemudian datang masa keemasan imperium Romawi. Dan Ketika masa kejayaan Romawi musnah, datang masa Kristiani dan Islam di abad-abad pertengahan. Dan Ketika prinsip-prinsip keagaaman banyak disalahgunakan, datang masa Renaisance, yang lebih berkiblat pada kedamaian manusia sebagai individu rasional, sampai kemudian datang berturut-turut zaman baru, zaman modern, dan zaman postmodern. Jadi "Ratu Adil" selalu datang untuk membawa obor kebenaran dan keadilan ke dunia ini ketika demokrasi dan dunia sedang berduka dan porak poranda.
Akan tetapi, dimana pun dan kapan pun, masyarakat tetap selalu mendambakan adanya demokrasi. Kenapa masyarakat di negara mana pun sangat gandrung terhadap demokrasi sehingga demokrasi merupakan satu-satunya pilihan, tanpa alternatif lain. Penyebabnya adalah karena beberapa faktor sebagai berikut: Faktor procedural, faktor kepatuhan kepada keputusan pemerintah/masyarakat, faktor tujuan yang bersifat subsatantif yang hendak dicapai oleh suatu demokrasi, faktor pencarian kebahagiaan manusia.
Meskipun demikian, demokrasi bukan hanya berkonotasi pada suatu sistem yang diterapkan kepada sekumpulan manusia yang kumpul bersama-sama diikat oleh suatu kepentingan tertentu, sehingga mereka bersatu. Kelompok masyarakat luas dalam suatu negara bukanlah kelompok kepentingan seperti kelompok orang-orang yang datang ke suatu lapangan untuk sama-sama ingin melihat sebuah permainan sepak bola. Sehingga satu orang dengan lainnya harus duduk tertib dan semua orang dapat menikmati pemainan sepak bola tersebut. Dalam hal ini, anggota-anggota dari kelompok tersebut bersatu seperti bersatunya lidi-lidi dalam sebuah sapu lidi yang diikat seadanya. Demokrasi dalam sebuah negara lebih dari sekedar kumpulan lidi-lidi dalam sebuah ikatan sapu lidi, karena manusia-manusia di dalamnya bukanlah sekelompok lidi-lidi. Tetapi demokrasi lebih dari itu, harus dapat merajut manusia-manusia yang memiliki berbagai kepentingan yang satu sama lain seringkali saling berlawanan. Dalam sebuah masyarakat politik, manusia yang satu bisa menjadi sahabat bagi yang lainnya, tetapi terlebih sering di antara mereka saling memangsa.
Istilah "reformasi" politik yang terjadi di Indonesia di tahun 1988, pernah diplesetkan menjadi istilah "repot nasi". Hal seperti itulah yang terjadi di Indonesia. Reformasi politik dipraktikkan ketika bangsa Indonesia masih dalam keadaan "repot nasi" atau hidup susah, maka terjadilah bermacam tindakan yang mengatasnamakan demokrasi, tetapi sebenarnya uanglah yang bermain. Ada serangan fajar (bagi-bagi uang) saat pagi menjelang pemilihan umum akan berlangsung. Ada pembagian uang, sumbangan desa, atau pembagian beras ketika kampanye berlangsung. Ada politik dagang sapi berlatarbelakang uang antara calon-calon yang akan dipilih atau sudah terpilih. Ada demonstrasi "bayaran" yang megatasnamakan rakyat. Ada berita atau ulasan di media massa yang dipesan atau dibeli oleh golongan pol itik tertentu. Ada undang-undang yang digolkan oleh pemerintah dan parlemen juga dengan permainan uang, dan sebagainya. Keadaan seperti ini, yang sangat disenangi oleh politisi-politisi ambisius dan akan terus terjadi, selama perbaikan sektor ekonomi di Indonesia belum berhasil dengan baik. Sayangnya, perbaikan ekonomi di Indonesia berjalan sangat lamban, sehingga politik uang akan terus berlangsung di negeri ini dalam waktu yang lama.
Konsep negara demokrasi
Konsep negara demokrasi harus merupakan negara hukum (Rule of Law) sebagai prasyarat dari yang satu terhadap yang lainnya. Dalam hubungannya dengan unsur ketertiban misalnya, suatu negara yang berdasarkan demokrasi dan rule of law harus dijalankan dengan 70 mengejar juga unsur ketertiban tersebut, yang bila perlu dijalankan secara paksa sehingga potensial berbenturan dengan hak-hak dasar manusia. Karena seperti telah disebutkan bahwa konsep negara demokrasi dan rule of law tidak boleh mentoleransi anarki, peperangan, dan kerusuhan. Dengan perkataan lain, bahwa negara demokrasi dan rule of law harus mempromosikan juga unsur-unsur ketertiban dan keadilan pada waktu yang bersamaan. Karena, di negara yang masyarakatnya sudah maju, keadilan tidak mungkin dicapai tanpa ketertiban, sedangkan ketertiban akan menjadi kesewenang-wenangan jika dilaksanakan tanpa terpenuhinya unsur keadilan. Sehingga, unsur keadilan dan unsur ketertiban sama-sama merupakan dambaan masyarakat sehingga menjadi target utama yang harus dicapai oleh suatu sistem demokrasi dan rule of law.
Kemudian, seperti telah disebutkan bahwa baik dalam teori konstitusi, maupun dalam penerapannya dalam praktik, di samping konsep negara hukum dikenal juga konsep negara demokrasi. Antara kedua konsep tersebut pada prinsipnya serupa meskipun tidak persis sama. Karena itu, antara kedua konsep tersebut seringkah saling dipertukarkan pemakaiannya.
Padahal hakikatnya adalah bahwa jika berbicara tentang negara hukum berarti berbicara tentang konsep negara yang berdasarkan kepada hukum, sedangkan jika kita berbicara tentang negara demokrasi, berarti kita berbicara tentang konsep negara yang berdasarkan kepada kehendak rakyat.
Batasan Pelaksanaan Demokrasi
Kebebasan, yang merupakan salah satu tiang dari demokrasi, tentu saja ada batas-batasnya. Tetapi batasnya juga ada batasnya dan tidaklah kelewat besar, sehingga batas tersebut tidak dapat mengaburkan atau mengebiri makna dari kebebasan itu sendiri. Bagaimanapun juga unsur "kebebasan" adalah mahkotanya, sedangkan "pembatasan kebebasan" hanya ornamennya saja. Jangan dibalik.
Kenapa kebebasan manusia tidak boleh sebebas-bebasnya, sehingga harus dibatasi. Jawabannya adalah dengan kebebasan yang tidak dibatasi akan terjadi "kebablasan" yang berisikan tindakan anarki, sehingga bertentangan dengan ketertiban umum. Karena itu, sering dikatakan bahwa "demokrasi" sebenarnya berwajah ganda. Di satu pihak dia bermuka lembut dan simpatik, dalam arti dapat menjaga harkat dan martabat luhur dari manusia. Tetapi di lain pihak jika kebablasan, demokrasi akan menampakkan wajahnya yang garang, sadis, dan sangar, yang dapat mencekam kehidupan manusia. Ibarat dewa Dionysus dalam mitologi Yunani, di mana dia merupakan dewa anggur, susu, dan madu, tetapi sekaligus juga merupakan dewa darah yang sangat haus darah. Jadi, dia merupakan dewa kebaikan dan dewa kejahatan sekaligus. Dewa menciptakan dan dewa menghancurkan sekaligus. Atau, jika ditinjau dalam nuansa agama Hindu, dalam 77 kebebasan, terkandung roh dewa Brahma, Wishnu, dan Shiwa sekaligus.
Dalam perjalanan sejarah bangsa, sejak kemerdekaan hingga sekarang, banyak pengalaman dan pelajaran berharga yang dapat diambil hikmahnya, terutama pelaksanaan demokrasi di bidang politik. Setidaknya ada empat model demokrasi yang pernah diterapkan dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia, yaitu Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin, dan Demokrasi Pancasila, Demokrasi Langsung pada Era Reformasi. Keempat demokrasi tersebut dalam realisasinya mengalami “kegagalan”.
Demokrasi di Indonesia secara politik Islam belum sepenuhnya atau tidak seratus persen merepresentasikan dan atau memungkinkan untuk pengembangan pemikiran politik Islam. Hal ini dapat ditelusuri dari historisitas politik Islam dan model demokrasi di Indonesia yang secara garis besar menggambarkan bahwa dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia sejak kemerdekaan hingga sekarang, setidaknya ada empat model demokrasi yang pernah diterapkan dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia, yaitu Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila, dan Demokrasi Langsung. Adapun pelaksanaan model demokrasi di Indonesia sesuai dengan tafsiran dan gaya kepemimpinan nasional ketika berkuasa kendatipun atas dasar Pancasila dan UUD 1945.
Sejak awal kemerdekaan bangsa Indonesia, syariat Islam sempat menjadi acuan dalam kehidupan bernegara, umat Islam harus rela mengorbankan keinginan mereka dan menerima rumusan yang lain, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Memang, sebagaimana pandangan para tokoh Islam, rumusan tersebut mencerminkan ekspresi tauhid umat Islam. Namun ada saja rasa kurang puas dari sebagian politisi Islam, sehingga mereka berjuang secara terus-menerus untuk memasukkan Islam ke dalam rumusan konstitusi.
“Sejalan dengan perkembangan masyarakat, dan dinamika politik di Indonesia, saya yakin bahwa hubungan antara Islam dengan kekuasaan akan semakin baik, kecuali ada kecelakaan politik. Sejarah kelak yang akan berpihak kepada politik Islam yang menampilkan wajah Islam yang ramah sebagai rahmatan lil’alamin.” Sri Irawati.