Oleh Zulfata, M.Ag
Ketua Umum Forum Pemuda Lintas Beragama-Aceh (FPLB-A)
Email: fatazul@gmail.com
Afghanistan kini cukup aktif didekati oleh negara-negara yang ingin menjadi pemimpin dunia seperti China, Amerika, Turki, dan Uni Emirat Arab (UEA). Kondisi ini terjadi bukan saja karena Afghanistan telah berhasil melakukan perebutan kekuasaan (kudeta) untuk kedua kalinya sepanjang sejarah Taliban di Afghanistan. Setelah Afghanistan jilid pertama (kudeta tahun 1996) dengan menggantung Presiden Mohammad Najibullah yang dianggap Taliban sebagai bonekanya Uni Soviet. Masa ini, gerakan Taliban dikenal sebagai gerakan perebutan kekuasaan yang tidak toleran, membatasi ruang gerak perempuan, hingga anti teknologi.
Setelah 25 tahun Taliban menguasai pusat pemerintah Afghanistan (1996-2001), Taliban jilid pertama ambruk diinvansi oleh pasukan Amerika Serikat (AS), hingga waktu ini Taliban disebut-sebut bekerjasama dengan Al-Qaeda di bawah kepemimpinan Osama bin Laden. Taliban memiliki sejarah peperangan yang cukup panjang, begitu juga pada dirinya yang juga disebut sebagai pasukan pemberontak mengatasnamakan agama dalam menghalalkan segala cara menuju misinya.
Sejak 15 Agustus 2021 Afghanistan menguasai kembali Kota Kabul, secara tidak langsung Afghanistan menampilkan wajah barunya di panggung dunia selama dikuasai Taliban. Yang dulu Taliban dikenal sebagai organisasi anti kompromi, anti menggunakan media sosial (medsos), anti kebebasan berpendidikan bagi kaum perempuan, serta Taliban juga berusaha menjadikan Afganistan sebagai negara yang bersyariat Islam. Kini semua citra Taliban-Afghanistan pada jilid pertama telah berubah drastis. Taliban masa kini telah membuka ruang kompromi dengan berbagai negara, termasuk dengan China.
Menyebut bahwa Taliban dalam menguasai Afghanistan adalah wujud dari negara Islam mungkin terlalu cepat untuk sampai pada kesimpulan itu. Demikian pula tidak terlalu bijaksana untuk pesimis terhadap Taliban dalam mengkampayekan gerakan neo-Talibannya yang penuh dengan kompromi dan toleransi pada setiap negara. Yang jelas penguasaan Taliban di Afghanistan bukan sekedar bicara kesuksesan kudeta, atau bukan sekedar bicara ketersediaan cadangan sumber daya alam yang dimiliki Afganistan. Tetapi dalam hal ini secara tidak langsung Taliban telah menyeret publik dunia untuk mengemas kekuasaan negara agama.
Dalam konteks menguasai negara atas nama agama inilah menjadi fokus kajian ini, sehingga negara-negara yang mayoritas muslim tidak mudah terpancing atau terpropaganda bahwa apa yang sedang dan akan dilakukan Taliban di Afghanistan adalah sebagai bentuk negara Islam yang utuh. Pada posisi ini, masa depan Taliban di Afghanistan sedang memasuki babak baru dengan sederet misteri propaganda politik yang dimainkannya. Namun demikian sebagai warga negara Indonesia harus tetap waspada agar tidak larut dan terjebak pada propaganda yang bersifat politisasi agama di balik gerakan neo-Taliban masa kini.
Apa yang penulis singgung ini bukanlah upaya dalam menakuti publik, sebab sejak gerakan reformasi 1998 Indonesia cenderung mudah mengimpor pemikiran politik atau melakukan framing isu. Sehingga apa yang terjadi di negara luar Indonesia cenderung dicari-cari hubungan yang saling berkaitan dengan Indonesia. Tidak diketahui secara pasti, siapa yang diuntungkan dan yang dirugikan dalam hal upaya impor pemikiran dan isu seperti ini.
Sebagai contoh, beberapa waktu lalu Indonesia dikejutkan dengan adanya keterkaitan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bagian dari gerakan Taliban, sehingga kondisi seperti ini mengharuskan anggota KPK untuk menjalani Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), dan buntutnya 75 anggota KPK tidak lulus TWK meskipun setiap anggota yang tak lulus tersebut memiliki prestasi dalam penangkapan koruptor di Indonesia.
Yang ingin disampikan di sini adalah mengapa Taliban dibawa-bawa ke dalam KPK? Benarkah memiliki hubungan yang akut atau sekedar framing politik atas nama Taliban? Melalui dua pertanyaan inilah secara tidak langsung menandakan Indonesia cukup dekat dengan apa yang disebut sebagai Taliban effect yang kemudian menjadi bagian dari upaya impor pemikiran dan framing isu yang penulis singgung di atas.
Jika ditelusuri lebih lanjut, efek Taliban (Talibanisasi) di Indonesia sejak penguasaan Kota Kabul 2021 secara tidak langsung diskursus potensi radikalisme dan terorisme terus dipolarisasi dengan kehebohan kudeta Taliban di Afghanistan. Hal ini bukan sesuatu yang patut dihindari, melainkan sebuah upaya preventif yang harus dilakukan oleh pihak Indonesia agar gerakan neo-Taliban atau Talibanisasi jangan sempat menggerogoti daya ideologis Pancasila terhadap rakyat Indonesia.
Hal ini menjadi sesuatu yang semakin menantang karena Taliban tidak lagi hadir dengan membawa diplomasi kekerasan atau perang fisik, tetapi dengan gerakan neo-Taliban telah mampu menerapkan strategi perang generasi keempat yang ditempuh melalui berbagai sektor, baik dari jalur budaya, teknologi maupun pendidikan. Sungguh keberadaan neo-Taliban tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Sebab wajah atas nama agama selalu menjadi pintu masuk Taliban dalam mempersuasif warga dunia, terutama bagi negara yang mayoritas rakyatnya adalah muslim seperti Indonesia.
Meski Taliban hari ini semakin menciptakan harapan untuk memperkuat perdamaian dunia, pandangan yang menyebut bahwa Taliban masih memiliki jaringan sel yang beririsan dengan organisasi terorisme masih saja dapat ditemukan. Sehingga neo-Taliban dikait-kaitkan sebagai sel-sel tertidur bagi gerakan terorisme di kemudian hari. Dengan kondisi seperti ini, perkembagan kekuasaan atas nama agama di Afghanistan terus dipantau oleh berbagai pihak, terutama bagi kalangan pencegahan terorisme.
Sebagai negara yang inklusif dan toleran, Indonesia memang harus terlibat melakukan kerjasama dengan Afghanistan, terlebih sebelum Afghanistan jilid dua terwujud, Indonesia pernah berusaha untuk melakukan upaya rekonsiliasi atau resolusi konflik untuk perdamaian Afghanistan. Namun demikian, Taliban hari ini telah sukses menguasai Afghanistan dengan cara pertumpahan darah dan merebut pusat-pusat strategis militer di Afghanistan.
Dari peristiwa Afghanistan jilid dua ini paling tidak kita dapat memetik pelajaran bahwa di balik Taliban tersimpan potensi politisasi agama yang harus diwaspadai. Sebab tidak ada satu ajaran agama pun di Indonesia mengajarkan perebutan kekuasaan melalui pertumpahan darah dan menabur propaganda politisasi agama. Atas dasar inilah semua yang sedang memahami Afghanistan tidak dapat dilihat secara kacamata kuda, sebab bungkusan politisasi agama juga dapat terjadi di sana, serta potensi penguasaan negara dari kalangan terorisme juga mengintai di balik keberadaan neo-Taliban di Afghanistan.
Melalui persoalan yang komplit dan belum terurai dengan baik inilah sejatinya kita patut waspada tentang bahaya politisasi agama yang memanfaatkan isu penguasaan Afghanistan oleh neo-Taliban yang akhir-akhir ini semakin gencar menabur janji-janji manis di ruang publik. Dalam persoalan ini pula kita jangan lupa dengan pernyataan Lord Acton bahwa "Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (Kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut). Apakah kekuasaan neo-Taliban di Afghanistan hari ini megarah pada kekuasaan yang korup? Atau benar-benar sesuai dengan nilai syariat Islam secara kaffah? Untuk itu, “Afghanistan Yes, Politisasi Agama No”.