Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

MoU

Rabu, 11 Agustus 2021 | Agustus 11, 2021 WIB Last Updated 2021-08-11T11:20:37Z


Oleh Zulfata

Memorandum of Understanding (MoU). “Tahun kemudian, Pemerintah berubah… selanjutnya…” Begitu pembuka film “Distric 13 Ultimatum” (B13-U). Film yang menyiratkan adanya pembusukan birokrasi dalam mengurus sektor wilayah B-13 yang telah muak dengan tingkah laku politisi dan para birokrat. Mereka berjanji tak kunjung ditepati, seiring perjalanan waktu MoU pun diciptakan.

MoU itu menghasilkan berbagai kekhususan, privilese mengelola daerah, anggaran dan pendidikan. Semuanya didorong untuk melakukan percepatan, rehabilitasi, hingga soal pertumpahan darah pun diangkat-angkat kembali. MoU terus dirayakan, pretise proses berjabat tangan di balik MoU itu seakan terulang kembali saat Pemilu tiba. Semua tokoh merasa paling berperan dalam MoU. Pencitraan politik pun tak terkendali, begitu juga dengan pengkaderannya.

Banyak yang berubah setelah MoU. Perubahan itu tidak hanya soal perubahan pengembaraan dari hutan ke meja penghormatan, biasa mengelola senjata dan peta hutan, kita sudah mengelola anggaran dan distrik kekuasaan. Bahkan diberikan jalan untuk mengelola nasib bersama untuk lebih damai dan sejahtera.

Seiring perjalan waktu, niat dan karakter setelah MoU pun mengikuti sosok seperti digambarkan dalam film B13-U. Leito dan Damien harus berhadapan dengan birokrat-birokrat yang lebih mengambil jalan pintas dalam menentukan republik. Tak peduli dengan janji yang telah mereka umbar-umbarkan, dan tak peduli dengan kesederajatan, persatuan dan kebersamaan dalam misi republik.

MoU menjadi kotak pandora, semua yang terlibat dengan MoU menjadi misterius. Akarnya jelas, masalah yang dihadapinya pun dapat ditemukan dengan mudah. Nama samaran yang dihadapi oleh Leito dan Damien adalah kombatan, politisi, hingga preman jalanan yang berada di sekeliling mereka. Komplotan ini semestinya diatur oleh seorang yang dianggap memiliki kharisma karena pernah menjadi Panglima, bahkan ada yang disebut sebagai yang mulia. Akal sehat tidak menjadi patokan perjuangan dalam komplotan ini, yang mereka pikir adalah distribusi kekuasaan dari mereka untuk mereka. Mereka belum pernah menjadi kita. Kondisi seperti inilah yang membuat Leito dan kawan-kawannya geram, dan terkadang tak ingin peduli dengan program republik.

Dinamika terus terjadi, berharap agar tak terjadi petaka, tapi itu hampir menjadi kenyataan. MoU diharapkan menjadi alat dan instrumen percepatan agar republik yang dicita-citakan tercapai. Tetapi MoU nyaris menjadi alat pemecah, distrubusi kekuasaan tak profesional. Kawan memberi jarak dan prasangka untuk saling menjelekkan antar sesama yang pernah sebantal tidur saat berjuang. Sebaliknya, lawan yang pernah menyimpan dendam kolektif sesama pejuang telah menjadi sahabat, satu kendaraan politik, tak peduli lagi subsantasi cita-cita sebelum MoU.

Pasukan militan layaknya sebelum MoU lama-kelamaan punah, yang dulunya pejuang dengan masyarakat saling menjaga, saling berbagi tugas dengan harapan mampu mencapai apa yang dicita-citakan bersama, yaitu “daulat” secara ekonomi, budaya dan religi. Kini, militan-solidaritas yang pernah ada itu berubah menjadi tahapan manipulasi dan persandiwaraan. Rakyat yang pernah membantu perjuangan telah dijadikan alat pemuas birahi politik dan perekonomian kemitraan bagi yang pernah mengaku berjuang.

Dengan MoU republik yang ingin merdeka, bukan saja gagal merdeka, tapi telah dijadikan sapi perah, nota-nota kesepakatannya perlahan-lahan tergerus, lapuk karena ulah para yang pernah berjuang. Memahami fakta ini, tak banyak masyarakat mengeluarkan sumpah serapah bagi mereka yang berkhianat dalam misi usai perjuangan yang gagal itu. Perjuangan menjadi satu kata yang mengidentikkan sikap kemunafikan. Publik semakin brutal karena muak dengan sikap para mantan pejuang.

Setelah MoU makin keruh. Selum MoU juga Kisruh.

“Lantas bagaimana mengurus republik?” Tanya seorang warga.

“Apa yang ingin diharapkan lagi oleh mereka yang mengaku pejuang?”

“Mereka bukan pejuang lagi, mereka telah menjadi pecundang?” Jawab seorang warga pula.

Kisah perjuangan yang pernah mengharukan di masa lalu. Tidak di masa kini. Kisah itu sengaja diputuskan agar tidak menulari kebrobrokran peran yang mengaku pernah berjuang, jika dihubungkan sosok mereka berpotensi merusak kisah di masa lalu. Masa lalu hanyalah masa lalu, tidak ada hubungannya dengan masa kini. Dulu berjuang bersama, kini mencari dan berkuasa sesuai siapa yang banyak tahta dan kuasa. Yang berintegritas itu tidak perlu.

MoU yang pernah dibangun melalui jalur historis dan kebudayaan merubah diri untuk tidak ingin meneladani sejarah dan kebudayaan. Justru kebudayaan dan sejarah itu harus diganti dengan sejarah baru, yaitu sejarah kemunafikan yang mengaku berjuang di masa lalu dalam memperkuat masa kini dan ke depan.

Republik masih mengalami konflik, konflik di atas konflik, meski tidak sama dengan konflik masa lalu, kini konfliknya lebih modern, lebih plural, lebih licin dan halus melebihi benang sutra. Garis perjuangan semakin bervarian mengikuti selera tuan dan puan. Masyarakat cukup jadi penonton. Untuk menyelesaikan masalah akut ini. Leito dan Damien berusaha melepas ego untuk menjalin kerjasama dengan musuh-musuhnya untuk membongkar kemunafikan setelah MoU.

Tapi sayangnya, tafsiran film B13-U belum berakhir, ceritanya masih panjang, masih banyak masalah yang belum selesai, baik dari sisi regulasi, energi, anggaran hingga korupsi. Siapa yang korupsi? bisa jadi para aktor yang pernah terlibat dalam pembentukan MoU. Boleh jadi pula para yang mahir berpolitik untuk tidak menginginkan MoU itu terlaksana untuk mensejahteralan masyarakat republik. Kembali ke B13-U, pemimpin harus diselamatkan dari pembisik picik yang merusak republik.

Penulis adalah Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM)