Oleh Zulfata, M.Ag
Wakil Sekretaris Forum Bela Negara Republik Indonesia (FBN-RI) Provinsi Aceh.
Email: fatazul@gmail.com
Praktik korupsi terus menjadi perbincangan di negeri ini. Korupsi birokrasi, Sumber Daya Alam (SDA) hingga merambat ke kasus pengadilan. Harapan memberantas korupsi masih menyala seiring meningkatnya jumlah karuptor yang mendapat pemotongan masa tahanan. Peran negara dalam memperkuat anti rasuah terus dilakukan meski masih tercium aroma pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di balik tes wawasan kebangsaan terhadap sejumlah pegawai KPK.
Tidak berlebihan ketika berpandangan bahwa realitas Indonesia merdeka dari korupsi masih jauh panggang dari api. Hal ini dapat dipahami melalui postur konsolidasi politik, praktik hukum dan bentuk kebijakan terhapdap misi pemberantasan korupsi. Transformasi kepemimpinan atau pergantian rezim pemerintah di Indonesia lima tahun terakhir masih saja adakalangan elite istana yang tersandung korupsi, mulai dari jabatan staf menteri hingga menteri. Koruptor terus bertambah dari rezim ke rezim.
Banyak faktor yang menyebabkan Indonesia ramah korupsi, bukan sekedar warisan politik orde baru, tetapi juga karena modal yang dikeluarkan dalam berpolitik tidak sedikit. Sehingga dibutuhkannya sokongan dari berbagai kalangan. Kondisi seperti ini secara tidak langsung menciptakan proses politik di tanah air yang cenderung di bayangi oleh pemburu rente. Tidak sekedar itu, hasrat politik internasional beberapa negara juga ikut mempengaruhi iklim berpolitik di Indonesia, misalnya mengadopsi beberapa kebijakan dalam mengakomodir perilaku koruptif.
Dari berbagai peristiwa yang mengarah pada menguatnya praktik korupsi, baik di internal pemerintah maupun di eksternal pemerintah. Rakyat kembali dihadapkan pada kehampaan dalam menginginkan negara yang bebas korupsi. Masa kini memang pemerintah tampak belum begitu berkomitmen dalam misi-misi pemberantasan korupsi, sehingga menunggu kekuatan politik dari pemerintah sendiri dalam memberantas korupsi masih menjadi sesuatu kemungkinan yang belum dapat diharapkan.
Demikian halnya dengan keberadaan lembaga civil society yang selama ini turut mengawasi dan mengaudit kerugian negara masih belum mampu mempengaruhi kebijakan yang pro terhadap misi pemberantasan korupsi. Akhirnya pandangan publik terhadap komitmen pemberantasan korupsi di negeri ini mengalami pembelahan, yang golongan satu masih memiliki harapan bahwa lembaga yang dibentuk pemerintah seperti KPK-RI hari ini masih fokus melakukan misi-misi anti korupsi, meskipun ada gejala seperti tebang pilih.
Kemudian golongan kedua berpandangan bahwa pemerintah tidak akan mampu memberantas korupsi dengan alasan bahwa ketika keseriusan pemberantasan korupsi terjadi, maka kekuatan politik oligarki tidak akan bertahan. Situasi ini menandakan bahwa Indonesia hari ini politik oligarki adalah nama lain dari politik Indonesia itu sendiri.
Terlepas dari pembelahan pandangan terkait Indonesia, baik yang berasal dari warga negara sendiri maupun warga negara asing. Misi memperkuat Indonesia harus terus dilanjutkan. Sikap patriotisme dan nasionalisme harus tetap ditanamkan dalam benak setiap manusia yang hidup di Indonesia. Kecintaan terhadap Indonesia harus digiring dan ditampilkan melalui keteladan dari lintas sektor. Keteladanan nasionalisme ini tidak hanya menunggu dari kalangan elite, tetapi juga harus diperkuat dari bawah melalui daya kontrol dan partisipasi masyarakat kelas akar rumput.
Menggiring publik dan elite negara untuk terus-menerus menabuh perang terhadap korupsi harus terus dilakukan. Kebebasan berekpresi dalam melawan koruptor harus terus dikencangkan. Penyalahgunaan kekuasaan yang berpihak pada kebijakan korupsi mesti dilawan dengan cara apapun, bahkan melawan kebijakan dari pemerintah itu sendiri. Pandangan seperti ini bukan berarti menggiring publik untuk menentang pemerintah, melainkan upaya untuk membangun keseimbangan dan kesadaran bahwa ketika kebijakan pemerintah tersebut tidak berpihak pada prinsip perlawanan terhadap korupsi, maka sebuah keniscayaan rakyat harus menciptakan alat tegur untuk menyelamatkan negara dan bangsa.
Memasuki momentum kemerdekaan Indonesi ke-76 yang mengusung tema “Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh” harus dibuktikan dengan kesadaran bersama bahwa ketangguhan Indonesia tidak akan terjadi selama praktik korupsi terus diawetkan di dalamnya. Indonesia tidak akan tumbuh sempurna katika kecambah korupsi terus disemai melalui posisi jabatan strategis kenegaraan. Sungguh praktik korupsi memang bukan sekedar praktik, tapi juga virus politik yang berbahaya melebihi Covid-19.
Benar bahwa pekerjaan rumah Indonesia masih berserakan, semuanya tampak mengalami kewalahan karena persoalan politik yang membuang-buang energi, terkuras pada hal-hal yang merusak Indonesia dari dalam. Setiap kebijakan apapun diciptakan pemerintah, masih ada saja membuka celah untuk melakukan korupsi, karena korupsi terkadang bukan berangkat dari niat, melainkan karena terbukanya kesempatan untuk korupsi. Sehingga korupsi dapat dilakukan mesti menyadari bahwa dengan korupsi dapat merugikan rakyat dan pemerintah itu sendiri.
Sebagai warga negara Indonesia yang cinta tanah airnya, sungguh menyedihkan ketika di usia ke-76 Indonesia masih ada menteri yang tega “mencuri” dana Bantuan Sosial (Bansos), masih adanya penegak hukum yang membela kepentingan koruptor, masih adanya keinginan untuk memonopoli pasar alat kesehatan, hingga masih adanya keinginan untuk mengkorupsi pengadaan alat teknologi pembelajaran di saat siswa Indonesia sedang mengalami keterbatasan akses pembelajaran selama pandemi.
Sungguh dimungkinkan ketika praktik korupsi benar-benar dibumihanguskan di negeri ini melalui kebijakan pemerintah yang benar-benar konsolidatif dan partisipatif, tidak pandang bulu dalam penerapan keadilan hukum dan kepastian hukum, maka pekerjaan rumah Indonesia tidak terlalu berat dan dapat berpeluang melaju lebih cepat mencapai posisi sebagai negara maju.
Dengan membiarkan praktik korupsi sebagai seni berpolitik, semala itu pula Indonesia akan jalan ditempat, Indonesia akan mengalami kewalahan karena penguatan ketidakpercayaan antar sesama terjadi di dalamnya. Rakyat tidak percaya pejabat, dan pejabat terus bersandiwara dengan rakyat, sehingga kesenjangan sosial politik sudah menjadi sesuatu yang harus dimaklumi sebagai konsekuensi berdemokrasi hari ini. Sungguh iklim seperti ini tidak boleh menjadi ciri khas Indonesia.
Upaya untuk menumbuhkan kesadaran kolektif, mendorong terciptanya gerakan kebangsaan yang secara nyata dan progresif dalam melawan korupsi harus dimulai dari diri sendiri, lintas rumah tangga, hingga berani menciptakan kekuatan politik kewargaan yang mampu mendobrak sistem pemerintahan yang masih membuka celah untuk melakukan korupsi melalui jalur apapun.
Sungguh dengan semakin menjadi-jadinya praktik korupsi di negeri ini harus cepat dilakukan upaya mitigasi pencegahan dan pemberantasan korupsi layaknya kinerja dan semangat pemerintah dalam menggarap kebijakan dan penerapan peraturan dalam penanganan Covid-19. Semangat dan kinerja ini tidak hanya berlaku pada pemerintah pusat, melainkan sampai ke pemerintah desa, bahkan mendorong seluruh warga Indonesia dari Sabang sampai Papua untuk mematuhi protokol kesehatan.
Bayangkan ketika semangat dan kinerja yang sama juga terjadi pada praktik pemberantasan korupsi di negeri ini, sungguh jika hal itu terjadi, maka dimungkinkan seluruh rakyat Indonesia akan merasakan di setiap harinya bahwa ia memang hidup di negara yang merdeka. Pertanyaannya adalah kapan hari kemerdekaan dari korupsi itu terjadi?
Selamat Dirgahayu Ke-76 Negeriku !