Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Memulihkan (Literasi) Aceh

Minggu, 25 Juli 2021 | Juli 25, 2021 WIB Last Updated 2021-07-25T04:59:03Z



Oleh : Zulfata, M.Ag
Wakil Sekretaris Forum Bela Negara Republik Indonesia-Provinsi Aceh

Ada banyak faktor yang menyebabkan Aceh perlu mendapatkan upaya pemulihan. Tiga faktor utamanya adalah daya literasinya rendah, perekonomiannya lesu dan kebijakan pemerintah belum begitu sinergi dengan aspirasi masyarakat. Daya laju Aceh dengan beban tiga faktor seperti ini secara tidak langsung Aceh sedang mengalami status tidak stabil dalam mengejar target-targetnya ke depan untuk benar-benar menjadi Aceh yang sejahtera.

Memahami situasi dan kondisi Aceh saat ini penting untuk dicerminkan berdasarkan pencapaian masa lalunya (historis), dan harus progresif untuk memantaskan Aceh sesuai yang ditargetnyanya. Paradigma sederhana terkait spirit Aceh seperti ini dapat menjadi acuan alternatif bagi publik untuk berperan dalam mempercepat terwujudnya situasi dan kondisi Aceh yang lebih baik.

Hipotesa tulisan ini berpatokan pada prinsip bahwa ketika proses pembangunan multisektor terkait Aceh tanpa adanya partisipasi publik, maka proses pembangunan multisektor tersebut akan berpeluang menciptakan ketimpangan. Ketimpangan ini dapat bersifat budaya, politik maupun kesehatan. Atas dasar inilah dipandang penting harus adanya peta jalan untuk memulihkan daya laju Aceh yang belum stabil, dan menjadikan publik sebagai subjek pendukung serta pengontrol arah pembangunan di Aceh adalah bagian dari upaya pemulihan tersebut.

Untuk menghadirkan partisipasi publik dan menjadi daya laju Aceh stabil akibat dukungan dan kontrol publik, diharuskan adanya penguatan kesadaran kolektif untuk tetap semangat melakukan perbaikan terkait hal-hal yang masing kurang untuk kondisi Aceh hari ini. Serangkaian pekerjaan dari kesadaran kolektif inilah yang disebut sebagai upaya memulihkan literasi Aceh. Tanpa daya literasi terkait Aceh yang tinggi, Aceh tidak akan berkembang atau maju, ia dapat dipastikan hanya jalan di tempat. Kaya perubahan (produktif menciptakan masalah), namun rendah kualitas perwujudan kesejahteraan masyarakat.

Dengan memulihkan literasi Aceh, sama artinya sedang memperkuat publik dalam mengontrol setiap rencana dan pelaksanaan proses pembangunan di Aceh, sehingga tingkat pencapaian dari setiap agenda pembangunan dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat. Tanpa serius untuk memulihkan literasi Aceh, tujuan sosialisasi empat pilar kebangsaan akan rapuh, ketahanan sosial dan politik di Aceh lemah dan iklim demokrasi Pancasila tidak akan menguat di Aceh.

Subjek pemulihan literasi Aceh ini sejatinya tidak berada pada birokrat sebagai pelaksana kekuasaan, tetapi juga berada pada masyarakat umum untuk sama-sama menjalankan kebijakan dengan kekuatan leiterasi. Bentuk konkret dari upaya pemulihan Aceh berbasis literasi adalah menumbuhkan daya lenting kesadaran bersama terkait apa yang sedang digarap oleh Aceh. Beberapa bentuk literasi tersebut di antaranya adalah literasi kekhususan Aceh, keuangan syariah, politik bersyariah, hingga adat budaya (kebudayaan).

Berdasarkan kajian yang penulis lakukan, sederet literasi yang disebutkan di atas sedang mengalami kelemahan atau tak memiliki daya lenting, sehingga butuh upaya pemulihan. Bayangkan saja misalnya terkait kekhususan Aceh, Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) yang dijelaskan untuk dapat melaksanakan Pilkada Aceh 2022 dapat gagal dijalankan. Kemudian terkait lembaga keuangan syariah masih berbicara seputar industri perbankan. Parahnya lagi soal politik bersyariah di Aceh hampir menjadi asesoris politik bagi politisi. Pada kondisi ini pun kekuatan kebudayaan Aceh yang sejatinya dapat memberikan keteduhan bagi kondisi masyarakat masih saja belum mampu menciptakan stabilitas tatanan kehidupan bermasyarakat.

Lazimnya, akselerasi literasi di Aceh masih melalui media massa baik dalam bentuk cetak maupun online. Setelah itu diperkuat melalui peran lembaga civil society tertentu yang aktif melakukan advokasi dan membuka ruang diskusi publik terkait bagaimana memicu kesadaran masyarakat untuk bersama-sama menjalankan Aceh secara partisipatif dan progresif menuju misi pemerintahan.

Di balik itu, bagaimana mungkin upaya pemulihan literasi Aceh terjadi ketika dominan kabupaten/kota di Aceh masih minim melek literasi yang di dalamnya terdapat produk media massa atau upaya pencerahan dari lembaga civil society? Belum lagi bicara apakah produk media massa dan pencerahan dari lembaga civil society benar benar mencerahkan bagi masyarakat Aceh hari ini? Atas problem inilah sejatinya upaya pemulihan literasi Aceh harus terus digenjot tenpa henti hingga sampai kapan pun dan oleh siapa pun dengan tujuan mengevaluasi dan mengkreasi Aceh agar lebih baik.

Dampak dari pemulihan literasi Aceh dapat dilihat sejauhmana rekasi publik atau pemangku kekuasaan saat mengelola Aceh sesuai dengan dorongan kesadaran bersama terkait literasi yang sedang dibahas bersama. Misalnya, pada saat literasi keungan syariah diperkuat, justru turbulensi menjalankan kebijakan industri keuangan yang tidak bersyariah, atau Aceh sedang fokus pada literasi kekhususannya, namun pada waktu yang bersamaan kekhususan Aceh justru tidak jelas arah dan manfaatnya untuk masyarakat. Demikian seterusnya dinamika literasi Aceh yang spiritnya belum memberi dampak yang baik bagi keadaban Aceh.

Memang seharusnya terkait literasi Aceh harus ada lembaga yang terdapan dalam menggiringya, dalam hal ini boleh saja perguruan tinggi, dayah, lembaga eksekutif, legislatif, civil society atau boleh jadi industri pers. Namun demikian kondisi Aceh dengan sederet lembaga yang disebutkan ini belum begitu berperan aktif untuk terus-menerus membuka ruang dalam mengupayakan agar literasi yang sedang dibutuhkan Aceh dapat berubah dalam bentuk kebijakan publik. Sehingga masyarakat yang seharusnya membaik akibat kebijakan tidak menjadi memburuk setelah ada kebijakan.

Untuk kondisi Aceh saat ini memang terkesan masih memandang literasi yang disajikan di ruang publik belum menjadi sesuatu yang strategis dalam hal pengambilan keputusan. Yang tampak adalah formalitas dalam mengambil aspirasi masyrakat yang kemudian tetap memperjuangkan aspirasi pribadi atau mitra politik. Sehingga kebijakan yang diciptakan tidak memiliki daya kemaslahatan bagi masyarakat secara meluas. Atas kondisi seperti ini seharusnya masyarakat harus mampu bergerak atas dasar kesadaran “literasi Aceh” agar tidak semudahnya dipermainkan oleh elite politisi.

Sudah saatnya Aceh diperkuat melalui literasi publik. Antar generasi di Aceh harus diperkuat semangat literasinya bahwa membaca, berdiskusi, menulis dan bergerak bukan saja aktivitas ke mahasiswaan, tetapi juga sebagai aktivitas masyarakat yang demoktaris. Aceh harus didesain agar di balik panggung pembentukan kebijakan adalah ketentuan masyarakat. Aceh harus melepas belenggu yang menjadikan masyarakat sebagai instrumen justifikasi kosong bagi legislatif dan eksekutif. Daerah Aceh jangan lagi dijadikan sapi perah bagi penguasa yang korup dan serakah.

Atas kesadaran Aceh seperti inilah sejatinya upaya pemulihan literasi Aceh harus digerakkan oleh siapapun ketika ingin memperbaiki Aceh yang sedang berada pada fase pelemahan ketahanannya. Oleh karena itu, siapa pun kita, dan di manapun kita berada, Aceh sungguh menginginkan dirinya agar dibangun melalui konsolidasi literasinya guna hadirnya penciptaan kebijakan dan pemangku kebijakan yang benar-benar menjadikan Aceh hebat dan sejahtera. Tentunya semua ini dapat terwujud ketika sejauh mana upaya pemulihan literasi Aceh dapat terwujud.