Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mangan Kuwih Bukan Makan Kuweh Dalam Tradisi Local Wisdom Masyarakat Gayo

Kamis, 01 Juli 2021 | Juli 01, 2021 WIB Last Updated 2021-07-01T05:44:13Z



Oleh Turham AG, S. Ag, M. Pd
Dosen IAIN Takengon dan
Mahasiswa Program Doktor (S-3) UIN Sumatera Utara


Local Wisdom masyarakat Gayo sangat kaya dengan nilai-nilai adat, budaya dan tradisi yang pernah dilakukan masyarakat secara turun temurun. Budaya dan tradisi dimaksudkan ada yang masih dipertahankan dan dilaksanakan masyarakat Gayo saat ini, ada pula yang tidak lagi dilaksanakan karena kesibukan dan tuntutan kerja membuat minat masyarakat semakin berkurang untuk melaksnakan tradisi tersebut.

Suatu tradisi yang tidak lagi eksis dilaksanakan masyarakat Gayo sampai saat ini adalah mangan kuwih, jikapun ada dilaksanakan masyarakat namun bentuk dan esensi serta tujuan acara mangan kuwih yang dilakukan dewasa ini tidak seperti dimaksud pada acara mangan kuwih jaman dahulu.

Sebelum lebih jauh membahas acara mangan kuwih dan untuk lebih memudahkan memahami uraian selanjutnya, perlu kiranya dijelaskan arti dan makna mangan kuwih secara harfiyah dan istilah.

Secara harfiyah mangan kuwih berasal dari dua diksi yaitu mangan dan kuwih. Mangan berarti makan, sementara kuwih terdiri dari dua suku kata ku dan wih, ku berarti ke, sedangkan wih berarti air. Dengan demikian dapat dipahami secara harfiyah bahwa mangan kuwih berarti makan ke air. Jadi bukan makan kuweh karena makan kuweh bila diterjemahkan kedalam bahasa Gayo berarti mangan penan

Sementara secara istilah mangan kuwih dipahami sebagai suatu acara syukuran (kenduri) yang dilaksanakan setelah masyarakat panen padi dalam satu musim tanam yang dilaksanakan di danau atau sungai. Istilah lainya adalah makan bersama di danau atau sungai setelah panen padi.

Acara mangan kuwih pada zaman dahulu dilaksanakan masyarakat Gayo setelah mereka selesai memanen padi dalam satu musim tanam. Lamanya waktu panen padi saat itu adalah sembilan bulan sebelum adanya padi bibit unggul seperti saat ini yang hanya membutuhkan waktu panen dalam rentang 3-4 bulan. Musim tanam padi saat itu dalam setahun hanya satu kali.

Setelah panen padi sawah tidak langsung ditanami kembali, tetapi sawah dibiarkan tanpa tanaman selama beberapa bulan. Masa ini dalam bahasa Gayo dinamakan dengan istilah lues belang dan menjadi tempat kerbau dan kuda bebas berkeliaran.

Rentang waktu yang lama setelah panen padi dimanfaatkan masyarakat Gayo untuk melaksanakan syukuran atas hasil panen padi yang telah diperoleh tersebut dinamakan dengan mangan kuwih. Sebab masyarakat Gayo pada zaman dahulu setelah panen padi tidak banyak kesibukan dan kebutuhan, karena hasil panen padi biasanya cukup untuk makan setahun.

Acara mangan kuwih merupakan makan bersama yang dilaksanakan bebujang dan beberu (pemuda dan pemudi) kampung atas bimbingan orang tua. Dapat dikatakan bahwa mangan kuwih sebagai acara atau kegiatan rutinitas tahunan bagi kalangan muda untuk mangan murum (makan bersama).

Inti dari mangan kuwih berkaitan dengan silaturrahmi, meminta nasehat dan sebagai acara riah bererie (hiburan). Silaturrami sebagai ajang kenal mengenal, sehingga tidak terjadi dalam kampung hal-hal yang dilarang agama. Menjamu orang tua dimaksudkan adalah mengkhususkan hidangan kepada mereka.

Meminta nasehat dari orang tua merupakan rangkaian acara penting dalam mangan kuwih, sebab adat Gayo memandang bahwa orang tua mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan harus dihormati oleh para pemuda. Meminta nasehat dari orang tua dilakukan setelah makan bersama (kenduri) yang disampaikan dengan melengkan yaitu perkataan halus, puitis, mendalam dan terkadang diutarakan dengan tamsilan

Selain menjamu orang tua, menyayangi anak-anak juga merupakan rangkaian acara yang tak terpisahkan dalam mangan kuwih. Jika dalam menjamu orang tua dituntut sikap menghormati maka pada anak-anak selain menjamu mereka juga dituntut rasa kasih sayang dengan memandang mereka layaknya adik kandung sendiri.

Riah bererie merupakan acara hiburan yang dipagelarkan dalam mangan kuwih dilaksanakan pada akhir acara dengan menampilkan kesenian khas Gayo seperti didong dan sa’er.

Tujuan mangan kuwih adalah selain silaturrahmi juga untuk membina persaudaraan, memulihkan situasi masyarakat jika sebelumnya terjadi perselisihan antara satu sama lainya, sehingga terbina semangat persatuan dan gotong royong serta menumbuhkan gairah atau semangat kerja. Melalui semangat tersebut akan terhindar dari masalah pelanggaran hukum negara maupun hukum agama.