Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kekuasaan Yang Fitrah

Kamis, 22 Juli 2021 | Juli 22, 2021 WIB Last Updated 2021-07-22T04:42:51Z


Oleh : Zulfata, M.Ag
Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM). Email: fatazul@gmail.com

Kekuasaan, satu kata yang sederhana namun penggunaannya memberi varian pemahaman yang lebar dan mendalam. Kekuasaan tidak pernah mengalami kehilangan eksistensinya meskipun zaman terus berganti. Kekuasaan terus diperbincangkan mulai dari masa kegelapan Yunani kuno hingga kecanggihan teknologi masa kini. Sehingga tidak keliru jika mengatakan kekuasaan adalah kehidupan itu sendiri.

Keberadaan manusia disebut sebagai kreator kekuasaan sekaligus perusaknya. Dengan kekuasaan, manusia diberikan otoritas untuk mengendalikan tatanan kehidupan, baik kehidupan dengan tuhan, alam sekitar maupun sesama manusia. Melalui kekuasaan, manusia dapat mendekati tuhannya.Dengan kekuasaan pula harmonisasi kehidupan manusia dengan alam dapat terjalin kuat dan saling memberi dampak kemanfaatan. Sebaliknya, dengan kekuasaan, alam dapat dirusak atas nama kebutuhan umat manusia.

Dari sisi teologi muslim (ilmu kalam), perdebatan kekuasaan di masa klasik telah membelah manusia menjadi dua golongan yaitu golongan Jabariah dan Qadariah. Golongan Jabariah berkeyakinan bahwa manusia tidak memiliki kekuasaan penuh, manusia diibaratkan sebagai wayang yang dikendalikan oleh Tuhan. Sebaliknya, golongan Qadariah berkeyakinan bahwa kekuasaan manusia memiliki peran otoritas dalam menuntun kehidupannya sendiri.

Tidak ingin menguraikan terlalu jauh terkait kajian ilmu kalam, yang ingin disampaikan adalah berbicara soal kekuasaan tidaklah sebatas sesama manusia atau manusia dengan alam, ia memiliki hubungan yang erat dengan keyakinan dalam bertuhan. Atas kaitan inilah kekuasaan dapat bersifat suci (fitrah), dan melalui kekuasaan yang fitrah umat manusia dapat hidup dalam situasi yang penuh kesejahteraan dan berkeadilan.

Momentum Idul Adha tahun ini dapat dijadikan iktibar dalam memahami bagaimana bentuk kekuasaan yang fitrah terhadap kehidupan keluarga Nabi Ibrahim. Berabagai peristiwa mulai dari Nabi Ibrahim usia muda hingga memiliki seorang anak. Berbagai cobaan dan rintangan yang dihadapi keluarganya dapat diselesaikan melalui penguasaan diri yang penuh kesadaran iman. Dengan kesadaran iman itu pula keluarga Nabi Ibrahim memiliki kekuasaan untuk menahan diri dan sukses menghadapi tantangan dari Allah Swt.

Melalui singgungan terkait keluarga Nabi Ibramin di atas dapat ditarik benang merah bahwa kekuasaan yang fitrah dapat bersumber dari kesadaran manusia yang beriman. Melalui kasadaran iman itu menjadikan manusia memiliki kekuasaan menghadapi berbagai godaan yang menghampirinya. Dalam konteks ini, patut dipertanyakan bahwa dapatkah kekuasaan fitrah secara personal mampu membendung kekuasaan dalam bentuk negara? Selanjutnya, dapatkah kekuasaan negara mengadopsi nilai kekuasaan yang fitrah?

Dua pertanyaan di atas dapat dianggap gampang dan dapat pula dianggap sulit dan pelik. Dianggap gampang karena kekuasaan fitrah dipancarkan melalui manusia-manusia yang senantiasa menjaga ketaqwaannya terhadap sang pencipta. Sehingga daya keimanan manusia dengan sendirinya menciptakan kekuasaan yang fitrah. Dan dianggap sulit dan pelik karena selain ada yang namanya kekuasaan fitrah juga ada yang disebut kekuasaan yang zalim. Kekuasaan yang zalim akan terus memberi dampak kerusakan, kesenjangan dan hidup penuh dengan dusta nestapa.

Jika kekuasaan yang fitrah dapat muncul dari sosok Nabi Ibrahim, maka kekuasaan yang zalim muncul dari sosok Fir’un. Dua sosok yang disebut ini telah tercatat dalam sejarah peradaban Islam, termasuk kaitannya dengan problem kekuasaan. Melaui kepribadian Nabi Ibrahim dan Fir’un terdapat iktibar kepemimpinan yang berbanding terbalik. Yang satu memimpin secara religius-rasional, dan yang satu lagi (Fir’un) memimpin secara rasional, sombong dan serakah. Sehingga pembelajaran dua sosok ini dapat menjadi cerminan terhadap kondisi kekuasaan yang sedang terjadi pada masakini.

Apa yang dideskripsikan di atas sejatinya tidak ingin mengulang peristiwa sejarah kekuasaan dan manusia di masa lalu, tetapi kajian ini berusaha mendudukkan kembali bagaimana memaknai sejarah yang telah memberikan rambu-rambu, atau bentuk kekuasaan yang patut dipelajari saat menghadapi perkembangan kekuasaan pada masa kini.

Menghubung-hubungkan peristiwa masa lalu dengan masa kini adalah kerja kebudayaan yang menggiring umat manusia agar sadar bahwa dirinya tidak dapat lepas dari kekuasaan. Sehingga manusia saat ini tidak mengulangi kekeliruan yang sama di masa lalu. Kemudian masa kini tidak menjadi pelanjut dari apa yang telah dihindari oleh generasi masa terdahulu. Artinya bahwa jangan sempat khazanah kekuasaan yang buruk di masa lalu justru itu yang diperkuat di masa kini. Jika hal ini memang sedang terjadi, maka inilah yang disebut sebagai kecelakaan sejarah umat manusia.

Mengidentifikasi bentuk kekuasaan Indonesia saat ini, terdapat berbagai bentuk kekuasaan, di antaranya adalah bentuk kekuasaan oligarki, otokrasi, hingga demokrasi Pancasila. Sederhananya, kekuasaan oligarki dikendalikan oleh sekelompok pemilik modal. Otokrasi dikendalikan oleh seorang yang otoriter. Dan demokrasi Pancasila dikendalikan oleh kehendak UUD 1945 sebagai tindak-lanjut dari ideologi Pancasila.

Dari tiga bentuk kekuasaan di atas sekarang adakah celah untuk terjadinya pengutan kekuasaan yang fitrah? Jawabannya tentu saja dapat terjadi, dan mungkin saja tak akan terjadi. Jika demokrasi Pancasila diwarnai dengan nilai-nilai kekuasaan yang fitrah, maka demokrasi Pancasila akan menciptakan kemaslahatan pada seluruh manusia. Begitu juga dengan halnya kekuasaan yang oligarki dan otoriter, jika dua bentuk kekuasaan ini mengadopsi nilai kekuasaan religi, maka kemasannya yang oligarki dan otoriter, namun substansinya penuh dengan kemaslahatan umat manusia.

Dari pemahaman di atas dapat disimpulkan bahwa kekuasaan fitrah tidaklah selalu dimaknai sebagai kekuasaan yang datang dari langit, dan tidak pula selalu berharap dipimpin oleh sosok yang tanpa dosa. Tetapi tetap saja kekuasaan fitrah dapat diciptakan oleh seorang manusia, termasuk manusia Indonesia. Kekuasaan yang fitrah dapat menguat ketika pemimpinnya sadar diri bahwa ia adalah manusia yang dijadikan pemimpin di permukaan bumi.

Dengan kesadaran seperti ini setiap pemimpin harus menyadari bahwa dirinya adalah seorang hamba yang memiliki pertanggungjawaban di hari akhir kelak. Sehingga dalam setiap aktivitas kepemimpinannya berusaha untuk tidak menciptakan kezaliman, baik dalam bentuk kekuasaan pada dirinya sendiri maupun kekuasaan dirinya terhadap orang lain.

Akhirnya, dengan uraian terkait kekuasaan fitrah ini senantiasa kita tidak kehilangan arah saat dihadapkan dengan berbagai teori kekuasaan dengan sederet strategi politiknya. Untuk itu, sebagai warga negara dengan berbagai profesi apapun patut memahami ternyata di balik memperingati hari rayaIdul Adha 2021 ini tersimpan pesan bahwa kekuasaan yang fitrah adalah suatu keniscayaan bagi Indonesia. Jika belum terwujud hari ini, maka berusahalah untuk mewujudkannya. Sebab Idul Adha juga memberi spirit untuk pembenahan kondisi kekuasaan hari ini. Inilah makna berqurban untuk bangsa dan negara.