Oleh Zulfata
Direktur Sekolah Kita Menulis
Ada ketidakjelasan kaum intelektual hari ini. Begitulah kira-kira tema berbincangan saya dengan seorang yang saya kenal fokus di bidang sejarah politik. Melalui telepon pintar kami bertukar pikiran soal Aceh-Indonesia hari ini.
“Kacau” katanya.
“Parah” jawab saya.
Diskusi dunia maya ini berakhir pada kesimpulan sementara bahwa kaum intelektual Aceh jangan jadi pengecut. Mencari kedamaian dari apa yang seharusnya dibenahi oleh kaum intelektual. Kaum intelektual yang seharusnya merdeka, mampu hidup dengan pola sederhana, kini berubah ingin berlagak bak birokrat sekaligus calo kekuasaan saat politik pesta demokrasi tiba.
Dalam dua bulan terakhir ini, saya dengan teman berfikir saya itu tampak sibuk menyusun rencana bagaimana mendesain Aceh hari ini dalam menghadapi masa depan untuk tetap menjadikan moralitas sebagai panglima kekuasaan. Terutama soal jalur kekuatan intelektual dalam memberi keadaban bangsa. Masih seputar intelektual “Aceh pengecut”. Singa di ruang kuliah. Orator ulung di ruang seminar. Lumpuh di hadapan asap dapur yang giring oleh prajurit-prajurit penguasa.
“Loh, kok meunan?”
“Peu but gobnyan inan?” pesan masuk ke whatsapp saya
“Ini bukan ciri intelektual Aceh Bung” balas saya.
Kaum intelektual terus berdinamika. Mengalami pembelahan bak amoeba. Nyaris bekelompok. Ada yang melacur diri demi fasilitas dan dapur keluarga. Ada pula yang bertahan dengan anti kemapanan sembari berusaha menahan keroyokan para murid intelektual yang mahir membungkus pembodahan dengan sebutan imajinasi. Siapa dia, sebut saja pangeran yang membuat Achiles-Troya mengamuk. Meruntuhkan keyakinan mausia terhadap para dewa.
Sosok intelektual telah menajdi dewa. Tak boleh dikritik. Tak boleh digugat grand teorinya. Tidak beretika jika mengavaluasi karyanya. Umur menjadi patokan, gelar menjadi momok penjajahan bagi pengkaderan intelektual. Ah sudahlah. Ini namanya dinamika intelektual. Tak usah dibawa baperan.
Jauh dari orkestra kekuasan hari ini. Bertaburan inspirasi tokoh diplomasi tak lagi menjadi panutan. Khazanah telah menjadi sesuatu berbincangan kosong, tak ada lagi hubungannya masa kini untuk meluruskan misi dan visi kekuasaan. Intelektual tersungkur, bergelinding ke jurang praqmatime, dan kepalanya terbentur dengan batu yang bernama jabatan startegis. Kepalanya pecah. Hatinya remuk.Memuncratkan darah kemunafikan di hadapan literasi yang pernah ia baca.
Elegansi berdialetika masih dibentur-benturkan dengan etika. Ilmu pengetahuan dalam Islam memang tidak bebas nilai. Tapi Islam adalah agama pembebasan, tidak menciptakan kasta. Tidak mengkultuskan golongan. Tidak menuhankan pikiran atau karya sendiri. Sungguh intelektual adalah pencipta berbaha pendidikan itu sendiri.
Intelektual semacam ini berkampanye di ruang-ruang majelis. Mengatakan;
“Jangan berpolitik.”
“Ini bukan politik.”
“Tak ada urusannya dengan orang luar sana.”
“Tugas kalian ya belajar.”
“Anda sudah baca buku dalam berapa bahasa?”
Dasar pengajar atau intelektual pencipta berhala. Intelektual semacam ini persis merentang idealisme dengan kenyaataan empiris. Tidak menyesuaikan untuk memberikan pemecahan masalah dengan kondisi apa yang di hadapi dunia pendidikan dengan masyarakat yang justru dikacaukan oleh kekuasaan. Oh, Saya lupa, intelektual semacam ini sedang mencari trend kekayaan dari sisa-sisa anggaran penguasa. Sungguh memalukan Bukan?. Ah… Ini bukan tulisan serius. Sekedar mendeskripsikan ulang terkait mimpi buruk saya usai chattingan dengan tema berpikir dua hari sebelumnya.
Tadisi inteletual Aceh-Indonesia yang pernah ada terbenam jauh di dasar bumi. Bertumpukan sampah dan bangkai. Di atasnya dibangunkan tembok-tembok anti memanusiakan manusia. Masing masing memiliki jalan pikir sendiri bahwa intelektual adalah makluk paling suci, paling pintar, rajin membaca buku. Persetan dengan kodisi masyarakat sekitar.
Khazanah, bukan sekedar khazanah, tapi menampakkan bukti yang masih dipergunakan hari ini. Inspirasi kaum intelektual masa lalu telah dianggap punah. Tak relevan dengan masa kini. Intelektual yang digagumi hanya untuk kegiatan seremonial, namun kosong dalam keteladanan.
Intelektual kini, yang gila jabatan, menyusun strategi meraih jabatan dengan menghalalkan segala cara. Ini bukan menceritakan ulang sejarah Yunani klasik terkait kekuasaan. Tapi ini adalah fenomena Aceh-Indonesia masakini.
Intelektual. Yang berusaha tidak bicara kekuasaan, mati rasa, sibuk mengurus perut sendiri dan keluarganya. Pikirannya dari urusan perut ke urusan harta dirinya sendiri. Masa bodoh dengan nasib kekuasaan masa kini dan masa depan.
Produk dari ajaran intelektual pengecut seperti ini melahirkan para kader akademisi yang lebih pengecut pula. Dalam pikran dari pagi ke pagi bagaimana mencari pekerjaan. Lama-kelamaan ilmu pengetahuan bicara soal material-finansial, pangkat dan jabatan. Tidak salah memang, ilmu pengetahuan memang untuk cara manusia dapat bertahan hidup dan mendapat penghormatan. Tapi ingat, Kampus itu jauh berbada dengan pabarik. Di mana di dalam pabrik itu ada yang namanya pemasaran, manupulasi pasar, bahkan harus ada yang dikorbankan, apakah itu sesuatu yang berada dalam pabrik atau di luar pabrik.
Saya tidak sedag mengatakan bahwa sosok intelektual pengecut ini tidak sedang mengajar di pabarik untuk memenuhi kebutuhan pasar. Fakta seperti ini, percaya atau tidak. Anda datangi sendiri kampus di mana anda pernah belajar. Bagimana setiap jurusan melakukan “pemasaran”. pengajar dihormati hampir takubahnya dengan menyikapi berhala. Pengajar tidak boleh salah, Jika dikritik dan diberi saran, berarti murid kurang ajar dan sok menggurui.
Menjalang tengah malam. Kami menjedakan diskusi chat-ingan. Saling mereda rasa geram memahami sikap kemunafikan kaum intelektual Aceh-Indonesia saat ini. Tepat pukul 24.00 WIB dengan ditemani mesin pendingin. Saya mengirim pesan balik.
“Tidak semua intelektual hari ini seperti itu”
Tetap pupuk harapan dan semangat. Perjuangan masih panjang Bung.