Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Aceh, Rektor dan Gubernur

Senin, 19 Juli 2021 | Juli 19, 2021 WIB Last Updated 2021-07-19T10:47:41Z



Oleh : Zulfata, M.Ag
Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM). Email: fatazul@gmail.com

Beragam pola hubungan rektor dan gubernur di Aceh pasca pembangunan Kota Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma) Darussaalam menarik diangkat ke ruang publik. Daya tarik ini bukan saja mengandung hal-hal yang inspiratif, tetapi juga tersirat sejarah kepemimpinan di Aceh sejak orde baru (orba) hingga masa kini. Disadari atau tidak, di balik keberadaan Kopelma terdapat khazanah multisektor, di dalamnya terdapat daya lenting politik pembangunan, konstruksi sistem pendidikan khas Aceh, hingga proses pembentukan kepemimpinan yang mampu merubah citra Aceh dari masa perang ke masa damai. Fakta sejarah inilah yang patut digali oleh publik di balik adanya Ikrar Lemteh dan Ikrar Blang Padang.

Seiring perkembangan wacana masyarakat Aceh hari ini terkait hubungan rektor pada salah-satu perguruan tinggi di Aceh dengan Gubernur Nova Iriansyah secara tidak langsung membuka kembali khazanah relasi rektor dan gubernur Aceh di masa lampau. Sejak Aceh untuk pertama kalinya dipimpin oleh Gubernur Ali Hasjmy. Strategi kunci gubernur saat membangun Aceh jangka panjang waktu itu adalah dengan membangun kampus melalui spirit politik kewargaan. Artinya bahwa gubernur Ali Hasjmy waktu itu menginginkan dengan berdirinya kampus dapat menjadikan masyarakat Aceh menjunjung tinggi nilai keislaman dan Pancasila dalam berbagai aktivitas. Filosofi pembangunan inilah yang saat ini tersimpan pada logo Pancacita pemerintahan Aceh.

Tidak terhenti di situ, keseriusan gubernur Ali Hasjmy menjaga arus kampus terbukti dengan kemampuan politik persuasifnya untuk bersama-sama dengan legislatif agar dapat meyakinkan pemerintah pusat untuk segera membangun Kopelma Darussalam secara berkelanjutan. Semangat membangun kampus oleh gubernur Ali Hasjmy ini pula menjadikan Ali Hasjmy seteleh menjabat gubernur Aceh rela menjabat posisi dekan dan rektor di beberapa perguruan tinggi di Aceh waktu itu.

Pengalaman kepemimpinan intelektual Ali Hasjmy tersebut secara tidak langsung terus diikuti oleh beberapa gubernur Aceh setelahnya. Hal ini terbukti dengan adanya jabatan gubernur Aceh yang diisi oleh mantan rektor, kemudian hingga kini pun para mantan rektor tampak masih ingin menduduki jabatan gubernur Aceh. Melalui fakta sejarah ini pula dapat ditarik benang merah bahwa ada hasrat politik yang tinggi antara rektor atau mantan rektor untuk membeahi Aceh melalui jalur kekuasaan politik nomor satu di Aceh, yaitu jabatan gubernur.

Suatu yang lazim dalam politik bahwa jabatan gubernur menjadi incaran bagi masyarakat atau tokoh Aceh yang berpengaruh. Termasuk pula tokoh-tokoh kampus yang tak luput meneropong relasi kuasa di lingkar gubernur Aceh. Kondisi ini telah menjadi rahasia publik bahwa siapa rektor yang akrab dengan gubernur, maka ketika program kampus bekerjasama dengan gubernur Aceh akan menjadi mulus. Begitu juga sebaliknya, ketika rektor mengalami konflik dengan gubenernur, maka akan menjadi persoalan yang akut.

Apa yang disinggung di atas adalah dinamika politik intelektual yang sedang terjadi di Aceh hari ini. Problem ini bukan saja mencuat karena gubernur Aceh Nova Iriansyah belum menandatangani rekomendasi pembangunan kampus lanjutan Universitas Syiah Kuala (USK), tetapi jauh sebelum itu problem sengketa tanah Darussalam antara warga dengan tiga kampus yang berada di dalamnya sempat menunggu bagaimana sikap gubernur Aceh agar efektif untuk mengambil kebijakan secara win-win solution.

Memang terksesan tidak elok dikonsumsi secara berlebihan oleh publik terkait konflik rektor dengan gubernur Aceh saat kepentingan kedua belah pihak tidak dapat dikompromikan. Dampak dari ini akan mempengaruhi stigma publik bahwa rektor dan gubernur terkadang tidak dapat dijadikan panutan masyarakat. Melalui tulisan inilah penulis mencoba mengajak publik untuk jernih melihat relasi antara rektor dan gubernur Aceh dalam menciptakan stabilitas pendidikan dan politik di Aceh.

Cara sederhana untuk memahami tanggung jawab antara rektor dan gubernur Aceh adalah rektor bertanggung jawab untuk memimpin kampus agar seoptimalnya dapat meningkatkan daya lenting pendidikan di daeranya melalui perangkat-perangkat ilmu pengetahuan yang dikembangkan melalui kampus. Tanggung jawab gubernur adalah memimpin daerahnya agar setiap satuan kerja di bawah kepemimpinannya dapat mencapai visi dan misi yang pernah ia kampanye dan janjikan.

Titik temu tanggung jawab kedua jabatan strategis tersebut adalah untuk meningkatkan kesejahteraan Aceh. Yang satu melalui jalur politik pendidikan, dan yang satunya lagi melalui jalur politik solidaritas. Dari konsep kepemimpinan yang sederhana ini terkait rektor dan gubernur Aceh sejatinya tidak bermain kucing-kucingan di hadapan publik. Artinya sesekali bermesraan dan sekali bermusuhan.

Berdasarkan observasi yang penulis lakukan, rektor dan gubernur Aceh pernah solid saat berusaha “menghentikan” demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa pada kasus penolakan salah-satu perusahaan tambang di Aceh. Dalam hal ini rektor yang dimaksud tampak berusaha untuk menarik mahasiswanya untuk tidak terlibat dalam aksi demonstrasi. Demikian halnya gubernur yang dimaksud pernah solid bekerjasama dengan rektor dalam menjalankan program pemerintah Aceh.

Memang suatu hal yang alamiah ketika tidak selamanya rektor dan gubernur di Aceh menjalin hubungan yang akur, terlebih dalam hal sikap perpolitikan kedua belah pihak mengalami perbedaan. Yang menjadi problemnya adalah di mana letak profesionalisme kedua jabatan tersebut? Bukankah sejatinya kedua belah pihak mampu menahan diri agar kepentingan pribadinya tidak terlalu dominan dalam hal penentuan kebijakan yang sedang dipangkunya?

Melalui pertanyaan di atas dapat memicu daya pikir bahwa jangan sempat relasi politik sesuai kepentingan pribadi menjadi khas kepemimpinan rektor dan gubernur Aceh dari masa ke masa. Jika sikap sedemikian terus berlarut dan menjadi pola lanjutan bagi siapa yang menjadi rektor dan gubernur selanjutnya, tentu perilaku sedemikian dapat menciptakan pembelahan publik di Aceh. Sebab kedua jabatan ini memiliki tim pendengungnya (buzzer) masing-masing. Jika rektor pendengungnya dominan dari kalangan akademisi, dan gubernur Aceh pendengungnya dominan dari kalangan politisi. Dalam konteks ini coba dibayangkan betapa sengitnya kedua belah pihak pendengung ini memainkan narasi di hadapan publik.

Dengan hadirnya tulisan ini bukan berarti penulis sedang berada dalam posisi mendukung rektor atau gubernur Aceh. Tetapi tulisan ini berusaha untuk membuka ruang pikir bagi semua pihak yang masih peduli terkait Aceh, sehingga jabatan rektor dan gubernur Aceh tidak menjadi faktor memicunya ketidakpercayaan masyarakat terhadap siapa yang menjabat rektor dan gubernur Aceh saat ini maupun di kemudian hari.

Akhirnya, dengan keteladanan gubernur Ali Hasjmy yang pernah menjabat rektor, ketua ulama, hingga memimpin misi perdamaian Aceh masa orde baru patut dijadikan landasan pikir dalam memahami arah kepemimpinan rektor dan gubernur Aceh hari ini. Dengan demikian sudah saatnya jabatan rektor dan gubernur Aceh menampilkan sikap jiwa besar untuk tidak larut dalam adu strategi politik yang tidak berdampak positif bagi masyarakat Aceh masa kini maupun masa depan. Semoga!