Oleh: Hermawansyah, S.Ant
Aceh, merupakan provinsi yang memiliki penduduk bermayoritaskan beragama Islam. Sehingga segala unsur adat dan budaya yang ada didalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai keislamaan.
Meugang menurut historisnya diperkenalkan pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, awalnya tradisi tersebut dilaksanakan oleh Kesultanan di dalam istana yang di hadiri oleh Sultan dan para keluarganya, Menteri, para pembesar Kesultanan serta Ulama.
Kesultanan Aceh Darussalam semasa Sultan Iskandar Muda juga mencatat, Tradisi Meugang ini merupakan perintah dari Sultan sebagai wujud rasa syukur dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan sehingga dipotonglah kerbau atau lembu. Kemudian Sultan memberikan perintah melalui Balai Fakir yaitu badan yang menangani fakir miskin dan kaum dhuafa untuk menyalurkan kebutuhan Meugang berupa beras, daging dan pakain yang biayanya di tanggung oleh bendahara Silatu Rahim yaitu lembaga yang menangani hubungan negara dan rakyatnya dalam Kesultanan Aceh Darussalam.
Setelah perang dan masa penjajahan Belanda, tradisi Meugang masih dilakukan akan tetapi di koordinir oleh para hulubalang sebagai penguasa wilayah dan tradisi tersebut masih dilestarikan sampai saat ini dan dilaksanakan oleh berbagai kalangan masyarakat dalam kondisi apapun.
C. Snouck Hurgronje dalam karya monumentalnya berjudul Aceh di mata kolonialis mengungkapan bahwa tradisi Meugang merupakan persiapan untuk melaksanakan ibadah puasa; " Maksudnya persiapan selama tiga hari itu terutama supaya tersedia cukup bekal untuk setiap kali berbuka puasa di waktu matahari terbenam dan makan pagi (sahur) sebelum matahari terbit. Juga untuk menjaga supaya orang berpuasa sedapat mungkin tidak perlu pergi berbelanja. Bukankah mereka yang berpuasa terlalu letih untuk memberikan cukup perhatian berdagang di siang hari, sehingga pasar-pasar hampir sepi selama 30 hari kedepan".
Untuk hasil refleksinya pada masa sekarang ini wujud dari tradisi Meugang dijadikan sebagai aktivitas sosial hampir disemua kalangan masyarakat Aceh untuk tetap melastarikan tradisi ini sebagai rasa syukur atas datangnya bulan suci Ramadhan.
Namun nilai-nilai Meugang yang ditanamkan pada masa Kesultanan Aceh Darussalam pada saat ini sangat memprihatinkan, momen yang ditanamkan pada dasarnya saat ini tidaklah selaras. Sepantasya pemerintah di masing-masing daerah di Aceh menyelenggarakan pembagian bekal berupa beras, daging dan pakain kepada kaum fakir miskin dan kaum dhuafa untuk kebutuhan mereka untuk menjalankan ibadah puasa 30 hari kedepan.
Apalagi pada keadan pandemi Covid-19 sekarang ini, ekonomi masyarakat sangatlah kacau balau. Sudah sepantasnya untuk mengawali dan menyambut bulan suci Ramadhan melalui Tradisi Meugang kali ini hadirnya kebijakan yang diterapkan oleh Sultan Iskandar Muda sebagi contoh untuk pemerintahan kita saat ini.
Marhaban ya Ramadhan Selamat Datang bulan suci Ramadhan 1442 Hijriah, bulan penuh ampunan.
Penulis merupakan alumni Antropologi, Universitas Malikussaleh