Oleh : Zulfata, M.Ag
Ketua Umum Forum Pemuda Lintas Bergama-Aceh (FPLBA). Email: fatazul@gmail.com
Sepuluh tahun terakhir pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) terus aktif menyuarakan moderasi beragama. Semangat ini terus meningkat seiring dengan adanya keinginan pemerintah pusat untuk merumuskan peta jalan beragama di Indonesia dengan prinsip-prinsip moderat. Melalui buku pedoman moderasi beragama yang diluncurkan Kemenag RI, dapat pula dipahami bahwa bukanlah agama yang ingin dimoderatkan, namun cara umat beragama yang digiring untuk moderat.
Adanya keinginan pemerintah untuk lebih serius mengurus moderasi beragama patut didukung oleh semua pihak. Dukungan ini boleh jadi dalam bentuk sumbang gagasan terkait bagaimana penerapan dan sasaran strategis yang dijalankan pemerintah. Pada posisi inilah sejatinya komitmen moderasi beragama bukan saja berada di pundak pemerintah, tetapi juga pada segenap rakyat Indonesia.
Hadirnya kajian ini merupakan sebagian hasil kegiatan dialog moderasi beragama pada lintas pemuda beragama di Aceh yang diprogramkan oleh Kemenag RI. Pada waktu ini pula menjadi bagian terbentuknya Forum Pemuda Lintas Beragama-Aceh (FPLBA). Dalam pertemuan dialog moderasi beragama ini memicu beberapa pertanyaan bahwa bagaimanakah maksud moderasi beragama? Bagaimana langkah strategis penerapannya? Serta apa tujuan moderasi beragama yang menjadi program pembangunan jangka menengah nasional ini?
Sebelum mengurai jawaban tiga pertanyaan di atas, patut direnungkan bahwa sebelum Indonesia merdeka, rakyat Indonesia sudah beragama, saat merdeka juga rakyat Indonesia beragama, hingga pascareformasi perkembangan agama pun lebih dari lima. Logika sederhananya, jika kita meyakini bahwa agama juga berfungsi sebagai penguatan moral pemeluknya, maka kekuatan moral di Indonesia tentu semakin kuat seiring perkembangan jumlah agama.
Namun yang menjadi distorsi justru sebaliknya, diakui atau tidak, potret Indonesia hari ini seperti krisis moral. Hal ini dapat dipahami melalui dominannya elite negara yang tak jera melakukan praktik korupsi, penyalahgunaan media sosial (medsos) terpapar bukan saja dari kalangan anak-anak, tetapi juga pada kalangan dewasa. Demikian juga jumlah menteri yang banyak tersandung korupsi. Dalam konteks ini kita patut sedih bahwa Kemenag RI juga salah-satu lembaga Negara yang lebih dari dua menterinya diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pada persoalan ini memang korupsi lebih agresif dari pada efisien moderasi beragama di Indonesia. Argumentasi ini tidak sedang menggiring pesimisme moderasi beragama dalam menurunkan angka korupsi dinegari ini, tetapi argumentasi ini sedang membuka ruang pikir pada publik terkait dimana kekuatan keberagamaan rakyat Indonesia pascareformasi dalam menjalankan negara syarat moralitas?
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa krisis demokrasi atau miskinnya perwujudan politik Pancasila yang sedang dialami negara saat ini adalah sesuatu yang tidak dapat dilepaskan dari cara beragama rakyat Indonesia. Sebab secara politik kenegaraan, nilai keberagamaan saat ini belum menjadi panglima dalam menghantarkan penyelenggaran negara yang mengindahkan prinsip moral. Justru yang tampak adalah politisasi agama yang cenderung dijadikan alat pemecah-belah rakyat saat Pemilu tiba, dan seharusnya fakta ini patut menjadi pembelajaran serius bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam menyambut semangat moderasi beragama yang dikumandangkan Kemenag RI hari ini adalah suatu kewajiban kolektif sebagai prinsip utama dalam mengembalikan moralitas negara yang pernah kuat layaknya detik-detik menjelang kemerdekaan negara Indonesia. Moderasi beragama yang dimaknai sebagai jalan tengah, tidak ektrim dan menjunjung tinggi sikap inklusif serta toleran hendaknya benar-benar menjadi gerakan konsolidasi nasional dalam memajukan Indonesia tanpa terjebak pada politisasi agama.
Untuk itu langkah strategis dalam menerapkan moderasi beragama tidak boleh lepas dalam menyasari pencegahan dini pada perilaku korupsi, baik pada personal maupun pada sistem birokrasi. Efisiensi moderasi beragama bukan saja diukur soal kerukunan antar umat beragama agar tidak saling memaksakan kehendak, tetapi puncak dari kesuksesan penerapan moderasi beragama terletak sejauh mana keadaban demokrasi bangsa Indonesia, sehingga narasi moderasi agama tidak “alergi” dengan kondisi perpolitikan.
Mungkin arah narasi ini sedikit berbeda dengan alur pikir Kemenag RI dalam melihat titik fokus penerapan beragama yang selama ini diperkuat pada hal kerukunan umat beragama. Namun demikian tanggung jawab untuk mewujudkan politik yang beradap bagi seluruh elemen negara juga bagian yang tersirat dalam misi moderasi beragama. Pemahaman ini yang yang kemudian penulis sebut bahwa Kemenag RI harus mampu memberikan stimulus untuk menguatnya “politik kerukunan” di negeri ini.
Pengembangan politik kerukunan senantiasa menjadi nilai tambah dalam menekan praktik politik identitas yang rawan dimainkan oleh kaum-kaum oligarki. Melaui semangat politik kerukunan ini pula upaya membasmi radikalisme, terorisme hingga menekan angka korupsi dapat sekali jalan. Ibarat kata pepatah, sambil menyelam minum air, sambil berbenah cara beragama agar lebih moderat, juga sedang berupaya memutus mata rantai politik intoleran, baik intoleran dalam arti antar agama, maupun intoleran antar kelas sosial.
Dalam hal penyelenggaraan moderasi beragama bukanlah kerja politik pragmatis, ia adalah bagian dari pengabdian berkelanjutan. Menanamkan prinsip moderasi beragama di Indonesia tidak akan tergilas era disrupsi, secanggih apapun teknologi yang menyapa manusia, moderasi beragama tidak akan usang. Justru ketika moderasi beragama tidak menguat seiring perkembangan zaman, maka dikhawatirkan akan adanya manusia-manusia yang saling memanipulasi kebenaran dalam menekan pihak lain. Sehingga selama tidak terwujudnya moderasi beragama, selama itu pula hak-hak kemanusiaan tidak dirasakan secara adil oleh seluruh rakyat Indonesia.
Pada tahapan pemahaman singkat terkait moderasi beragama ini bahwa tujuan moderasi beragama adalah untuk memicu sikap umat beragama agar mampu mewujudkan kerukunan dari semua sektor, baik dalam hal hubungan antar umat beragama maupun melindungi negara dari segala ancamannya berbasis penguatan moral yang dipupuk melalui kesadaran beragama.
Seyogianya semua umat beragama di Indonesia terus saling toleran, dan kekuatan toleran beragama ini senantiasa mampu mengangkat martabat Indonesia agar lebih demokratis dengan sokongan daya moral di dalamnya. Pada spirit inilah tanpa kita sadari bahwa cita-cita moderasi beragama beririsan dengan semangat membumikan Pancasila di pangkuan ibu pertiwi.
Akhirnya, tidak ada alasan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk tidak saling mengedepankan sikap moderasi beragama. Sebab sikap moderasi beragama adalah suatu keniscayaan bagi Indonesia yang dibangun atas kemajemukannya. Melalui kemajemukan bangsa ini pula besar peluang negara untuk cepat memperbaiki yang belum diperbaiki dalam mencapai cita-citanya menuju negara yang menjunjung tinggi keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, apapun agama rakyatnya dan di manapun umat beragama itu berada. Itulah visi tersirat dibalik kekuatan moderasi beragama.