Oleh : Zulfata
Direktur Sekolah Kita Menulis
Menjelang bulan Ramadhan atau lebaran di Aceh sudah menjadi kearifan adanya hari meugang atau mak meugang. Meugang dapat diartikan sebagai hari khusus bagi masyarakat Aceh yang didalamnya terdapat praktik kesadaran religi dan budaya. Biasanya di hari meugang kecenderungan masyarakat Aceh membeli daging atau dalam bahasa Aceh disebut sie. Daging yang telah dibeli khusus pada hari meugang biasanya telah ditumpuk (tumpok) yang nantinya akan dibagikan ke keluarga, sanak selingkar hingga untuk diinfaq dan sedeqah sebagai wujud kepedulian bersama dalam menyambut bulan puasa atau lebaran.
Bagi masyarakat luar Aceh yang ingin mendapat sensasi hari meugang boleh mengunjungi pasar-pasar daging di Aceh, di tempat ini akan terlihat daging sapi atau kerbau yang ditumpok-tumpok setelah dipotong dari daging yang digantung. Pola pajangan daging sedemikian tentunya agar menarik perhatian calon pembeli di hari meugang.
Tingkat konsumsi daging di hari meugang biasa tinggi di Aceh, sebab dalam keyakinan tertentu ketika tidak membeli daging di hari meugang, maka akan dipandang sesuatu yang tidak elok secara kebudayaan Aceh, terlebih lagi bagi keluarga muda yang baru menjalin rumah tangga akan dipandang “aneh” ketika tidak mampu membawa tumpok daging ke rumah mertuanya.
Seiring dengan semangat kebudayaan dan religi yang menyatu dalam praktik meugang, pada saat itu pula tuntutan kebutuhan masyarakat di hari meungang secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir kelompok tertentu yang disebut sebagi “setoran meugang”. Maksud setoran meugang ini adalah adanya kelompok tertentu yang memiliki kuasa politik dalam mengintervensi kelompok lain agar dapat menyetor sesuatu dengan dalih karena menyambut meugang. Pada pernyataan ini penulis tidak ingin memperjelas sasarannya karena menghindari etika jurnalistik pada suatu relasi pekerjaan antara pihak pemerintah, legislatif dan swasta.
Tidak terhenti disitu, tradisi meugang tidak saja sesuatu momen yang dirayakan oleh masyarakat Aceh, tetapi juga dapat menjadi sudut pandang kajian politik yang disebut sebagai politik tumpok. Hal ini berangkat dari pola perilaku di hari meungang yang sarat dengan praktik membagi tumpok, mengambil tumpok, hingga harus mendapat tumpok.
Jika dalam tradisi meugang yang dirayakan masyarakat berbasis kearifan, tumpok yang dibagi atau dibeli adalah daging (sie tumpok). Tetapi dalam pemaknaan tumpok politik dimaknai sesuatu bagian yang didapat dari faktor jatah kekuasaan. Praktik ini bisa dicermati pada praktik kompromi kekuasaan yang melanda lembaga eksekutif dan legislatif di Aceh yang belakangan ini sering ribut dan cepat akur karena selesai tumpok. Artinya fungsi kontrol atau pengawasan legislatif dapat menjadi lemah ketika sudah mendapat tumpok yang cocok dari legislatif. Demikian pula sebaliknya, eksekutif dapat memainkan kekuasaan dengan nyaman ketika mahir menempatkan tumpokuntuk legislatif. Praktik inilah yang penulis sebut sebagai politik tumpok.
Jika keberadaan tumpok meugang membawa sifat elegansi antar sesama, tapi tidak berlaku pada politik tumpok, sebab politik tumpok dijadikan sebagai wahana kompromi kepentingan. Dalam praktik politik tumpok, etika dan keadilan terhadap masyarakat tidak menjadi prioritas. Biasanya wujud politik tumpok dipermukaan ditampilkan seolah-olah untuk kepentingan rakyat yang sedang diperjuangkan, pahadal di dalamnya justru bicara “siapa” mendapat “apa”?
Secara teoritis, politik tumpok dapat disejajarkan dengan politik transaksional yang dibalut dengan nuansa kearifan lokal. Sehingga praktik politik tumpok terkadang berkamuflase menjadi kebiasaan politik yang justru merawat praktik korupsi. Misalnya posisi pokok pikiran lembaga legistalif yang seharusnya kekuatan pikiran untuk kemaslahatan masyarakat, namun pada realitasnya berujung pada paket pekerjaan yang siap disambut oleh pihak-pihak yang menguntungkan legislatif.
Dalam hal ini pihak instansi pemerintah yang menyelenggarakan “pokok pikiran” legislatif akan mengikat komitmen politik tumpok. Fakta mekanisme sigkat terkait cara kerja politik tumpok yang disinggung di atas sangat dikhawatirkan jika telah dianggap sebagai praktik politik yang normal. Sehingga publik tidak memiliki kekuatan untuk menghentikannya, maka selama itu pula politik tumpok menjadi berkembang dan mengalir dari generasi ke generasi.
Boleh jadi politik tumpok disebut bagian dari politik identitas Aceh, dan boleh jadi pula politik tumpok bagian dari peluang yang muncul dalam praktik monopoli demokrasi. Jika politik demokrasi diartikan sebagai dari rakyat diwakili oleh wakil rakyat dan kemudian untuk rakyat, maka politik tumpok adalah politik bagi-bagi jatah sesuai porsi dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat.
Sebelum mengakhiri kajian ini, sejatinya politik tumpok harus dihindari bahkan harus dilenyapkan. Aktor utama yang berada di depan dalam pengentasan politik tumpok adalah lembaga legeslatif dengan kekuatan yang melengkat padanya. Kemudian baru ditumbuhkan kesadaran di ruang publik untuk bersama-sama menolak praktik tumpok, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi. Diakui atau tidak, Aceh masa kini sedang mengalami praktik politik tumpok yang dianggap sebagai politik normal di era demokrasi.
Dengan upaya memberantas politik tumpok dengan sendiri kita sedang berupaya untuk mencerahkan demokrasi bangsa hari ini. Seiring dengan itu pula politik tumpok harus didudukkan ke dalam nilai-nilai meugang yang kaya dengan praktik kemaslahatan bersama. Tumpok politik harus dikembalikan semangatnya layaknya ke tumpok meugang. Artinya salah-satu strategi dalam pengentasan politik tumpok dapat dilakukan melalui perbaikan perilaku secara kolektif dengan mengedepankan integritas dan transparansi semua pihak, terutama dari kalangan legislatif dan eksekutif. Oleh karena itu, semoga dalam momen meugang saat ini tidak memberi ruang untuk menguatnya politiktumpok. Pada semagat ini pula masyarakat Aceh harus berani besikap “Tumpokmeugang yes, politik tumpok no”.
Tanpa keinginan kuat melalui solidaritas kewargaan dalam memberantas politik tumpok, sungguh dikhawatir nantinya budaya politik keacehan yang arif akan terkikis secara perlahan dan digantikan dengan semangat politik tumpok. Dalam konteks ini pula jangan sempat sejarah politik Aceh yang pernah terbukti tinggi dedikasi dan altruismenya berganti menjadi politik tumpok yang bangga dengan mempertontonkan sikap politik transaksionalnya sebagai suatu kebiasaan politik Aceh. Atas tanggung jawab keacehan agar lebih baik inilah seyogianya generasi Aceh hari ini sungguh dipertaruhkan kekuatannya untuk menciptakan sejarah politiknya di kemudian hari. Wait and see.