Oleh: Tgk. Dailami Yusuf, MPd
(Dosen Ma'had Aly Dayah Babussalam Al-hanafiyyah Matangkuli)
Sama seperti tahun sebelumnya, tahun ini juga terjadi perbedaan awal puasa tahun1442 H, ada yang berpuasa hari selasa bertepatan tanggal 13 April 2021, ada juga yang mulai puasa hari Rabu tanggal 14 April 2021.
Ini terjadi karena pada sore tanggal 29 syakban atau bertepatan tanggal 12 April tidak terjadi Rukyatul hilal (Observasi/nampak bulat sabit) yang diakibatkan cuaca mendung dan hujan lebat mengguyur Aceh, khususnya pada lokasi yang dijadikan sebagai tempat pengamatan hilal.
Sedangkan pemerintah lewat kementerian agama sudah melaksanakan sidang Isbat dan memutuskan awal ramadhan jatuh pada hari Selasa tanggal 13 April 2021 karena hilal terlihat di Gresik Jawa Timur pada jam 17:30 WIB sampai 17:32 ( detiknews.com)
Di Aceh secara garis besar terdapat dua macam pendapat ulama dalam menyikapi penentuan awal memulai puasa, kelompok ulama pertama yaitu kelompok yang mengikuti keputusan hasil sidang isbat dari pemerintah,jika pemerintah sudah memutuskan puasa pada hari tersebut maka kelompok ini taat terhadap keputusan pemerintah untuk memulai berpuasa. Dan kelompok ulama kedua yaitu kelompok yang tetap berpegang kepada rukyatul hilal, jika rukyatul hilal tidak berhasil pada kawasan yang sama mathla’ maka menyempurnakan bulan syakban 30 hari.
Dalam tulisan kali ini penulis tidak membahas lagi perbedaan dalil terkait perbedaan memulai puasa karena sudah penulis bahas sebelumnya, pada kali penulis akan membahas bagaimana sikap kita dalam menyikapi perbedaan tersebut, dikarenakan didalam masyarakat kita khususnya didesa-desa yang mengikuti pendapat ulama yang berbeda sering terjadi sikap saling mencemooh bahkan saling ejek bahkan mengklaim bahwa kelompok dirinyalah yang paling benar sedangkan kelompok lain salah.
Hal seperti ini tentu bisa membuat kelompok yang berbeda merasa sakit hati yang tentunya ini sangat tidak diinginkan apalagi di bulan yang suci ini yang seharusnya lebih saling menjaga lisan dan saling menghormati.
Bahkan penulis mendapatkan kasus dimana sebagian masyarakat kampung sudah ada yang mulai berpuasa, ada sebagian yang lain masih belum puasa dan buka warung kopi disiang hari dan makan minum serta merokok dengan santai dengan alasan bahwa belum masuk bulan Ramadhan sambil menyindir bahwa orang yang puasa pada hari itu sebagai orang yang tidak ngaji lantaran tidak mengikuti pendapat bahwa puasa hanya dengan rukyatul hilal.
Kejadian-kejadian seperti ini dalam masyarakat sangat tidak kita inginkan karena bisa membuat sakit hati seseorang dan bisa memutuskan tali silaturrahmi dan menghilangkan persatuan dalam masyarakat dan bisa menimbulkan bibit-bibit perpecahan apabila terus terjadi dan tidak disikapi dengan baik dengan cara saling menghormati terhadap perbedaan pendapat atau dalam mengikuti pendapat ulama tertentu.
Bagi orang yang belum memulai puasa dan pada saat yang sama ada saudaranya yang lain yang sudah melaksanakan puasa hari itu tentunya harus menghargai dan menghormatinya, tidak boleh mengatai atau menyindirnya yang dapat menyakiti perasaannya, dan juga sebaliknya yang sudah berpuasa pun tentunya juga harus menghormati dan menghargai orang lain yang belum memulai puasa yang karena memang mengikuti pendapat ulama tertentu.
Dalam hal ini kita sebagai orang beriman seharusnya malu apabila kita mengambil pelajaran dari kisah seorang Majusi yang masuk surga karena menghormati orang yang berpuasa.
Dalam kitab Zubdatul majalis halaman 17 disebutkan( Saheh tidaknya hikayah ini hanya Allah yang maha tahu):
حكى أن مجوسيا رأى ابنه في رمضان يأكل فى السوق فضربه وقال لم لم تحفظ حرمة المسلمين في رمضان؟
Artinya: Diriwayatkan, ada seorang Majusi melihat anak lelakinya sedang makan di pasar, maka ia memukulnya dan ia berkata pada anaknya, “Mengapa engkau tidak menjaga kehormatan orang muslimin dibulan Ramadhan?”( Zubdatul majalis halaman 17)
فمات المجوسي فرآه عالم في المنام على سرير العزة في الجنة فقال ألست مجوسيا ، فقال بلى ولكن سمعت وقت الموت نداء من فوقى يا ملائكة لا تتركوه مجوسيا فأكرموا بالإسلام بحرمته لرمضان.
Artinya: Kemudian orang majusi tersebut meninggal dunia. Lalu ada orang Alim memimpikan dia sedang berada di singgasana kemuliaan didalam surga. Di dalam mimpinya orang ‘Alim tersebut bertanya, “Bukankah engkau seorang majusi?” Ia menjawab, “Benar, namun pada saat maut menjelang, aku mendengar suara di atasku, “wahai malaikatku, jangan biarkan dia mati dalam keadaan majusi. Muliakanlah dia dengan islam sebab dia memuliakan Ramadhan”.
فالإشارة أن المجوسي لما احترم رمضان وجد الإيمان ، فكيف بمن صامه واحترمه؟ (زبدة المجالس)
Artinya: Maka sebagai isyarah atau pelajaran yang dapat diambil, bahwa sesungguh orang majusi saja ketika ia memuliakan Ramadhan, ia mendapatkan keimanan. Maka bagaimana dengan muslimin yang memuliakan saudaranya yang berpuasa??????( Kitab Zubdatul Majalis: Hal.17)
Terkait perbedaan pendapat ulama dalam memahami sebuah kasus, jangankan sekarang yang masanya sangat jauh dari Nabi, dulu masa para sahabat yang masih bersama Rasulullah saja bisa terjadi perbedaan dan kebingungan dalam memahami maksud dari sebuah ucapan Nabi. Salah satunya adalah dalam kasus Shalat ‘Ashar di Bani Quraizhah. Cerita ini bahkan sangat populer dan sering kita dengar. Ceritanya begini:
Setelah usai perang Khandaq, Rasulullah pulang ke Madinah dan meletakkan senjatanya. Namun ketika beliau sedang mandi di rumah Ummu Salamah, beliau didatangi oleh Malaikat Jibril dan Jibril mengatakan :
قَدْ وَضَعْتَ السِّلَاحَ وَاللَّهِ مَا وَضَعْنَاهُ فَاخْرُجْ إِلَيْهِمْ قَالَ فَإِلَى أَيْنَ قَالَ هَا هُنَا وَأَشَارَ إِلَى بَنِي قُرَيْظَةَ
Artinya: Engkau sudah meletakkan senjata?Nabi menjawab: Demi Allah, kami belum meletakkannya. Lalu jibril memerintah: Maka keluarlah menuju mereka !.Rasulullah bertanya: “Kemana? Jibril menjawab, ‘Kearah sini.’ Malaikat Jibril menunjukkan arah Bani Quraizhah. (HR Bukhari, No. 4117, Maktabah Syamilah)
Menerima perintah ini, Rasulullah bergegas untuk melaksanakannya dan menginstruksikan kepada para shahabatnya untuk segera bergerak ke arah Bani Quraizhah. Bahkan supaya cepat sampai tujuan, Rasulullah bersabda :
لَا يُصَلِّيَنَّ اَحَدُكُمْ الْعَصْرَ اِلّا فِى بَنِى قُرَيْظَة
Artinya: “Janganlah kalian shalat Ashar, kecuali di Bani Quraizhah”.
Para sahabat sangat paham kata-kata Nabi ini, karena diucapkan dengan bahasa yang jelas dan tegas. Ini berarti bahwa shalat Ashar hanya boleh dilakukan di Bani Quraizhah. Dan itu berlaku bagi siapapun para sahabat Nabi yang ada di situ ketika itu. Tidak ada seorang pun ketika itu yang bertanya.
Maka merekapun berangkat menuju ke arah perkampungan Bani Quraidhah yang disarankan Nabi itu. Tetapi di tengah perjalanan mereka melihat ke langit bila shalat Ashar di laksanakan di tempat yg diperintahkan Nabi tadi maka waktu shalat Ashar habis. Bila perjalanan tetap dilanjutkan sampai ke Bani Quraizhah, waktu Ashar pasti habis dan masuk waktu shalat Maghrib.
Para sahabat bingung ketika itu, lalu masing-masing merenung: “Jika ikut perintah Nabi berarti harus shalat di Bani Quraizhah. Bukankah perintah Nabi wajib diikuti?. Tetapi akibatnya waktunya sudah lewat dan habis dan kita tidak boleh melaksanakannya di luar waktunya masing-masing.
Bukankah al-Qur’an sudah menegaskan hal ini. Akan tetapi jika shalat Ashar dikerjakan di tengah perjalanan, akibatnya tidak menuruti perintah Nabi yang sudah sangat jelas itu. Jadi kita akan mengikuti siapa? Allah atau Nabi?. Tapi bagaimana mungkin itu boleh terjadi?.
Lalu apa yang kemudian terjadi, mereka berselisih pendapat mengenai hal tersebut, maka ada sahabat yang shalat di perjalanan, dan ada yang di kampung Bani Quraizhah, sesuai dengan dengan pemahaman masing-masing.
Manakala kemudian bertemu Nabi, mereka menceritakan kejadian itu, sambil meminta pandangan beliau tentang siapa di antara dua kelompok itu yang benar. Nabi tersenyum, tidak marah dan tidak menyalahkan siapapun. “Kalian telah berpikir keras dan untuk itu semua kalian mendapat pahala”.
Betapa bijaksana dan lembutnya Rasulullah Saw. Beliau tidak menyalahkan salah satu pikiran sahabat-sahabatnya, malahan memberikan penghargaan kepada keduanya atas usaha mencari kebenaran.
Maka dari cerita hikayah dan hadis Nabi yang saheh diatas sekiranya itu bisa menjadi pelajaran bagi kita untuk tetap saling menghormati dan menghargai persoalan terkait penentuan awal puasa Ramadhan yang lebih kepada persoalan furuiyyah. Perbedaan pendapat akan tetap terus ada sampai kapanpun sampai kiamat tiba.
Janganlah kita karena berbeda dalam persoalan yang hanya sepele seperti ini menciderai kesucian bulan Ramadhan dimana kita semua ingin mensucikan hati kita dari segala sifat tercela sambil meningkatkan ibadah kita supaya mendapatkan predikat orang-orang yang bertaqwa. Amiin Ya Rabbal A'lamiin…