Oleh : Zulfata, M.Ag
Direktur Sekolah Kita Menulis
Direktur Sekolah Kita Menulis
Email: fatazul@gmail.com
Awal Februari 2021 Presiden Joko Widodo meresmikan Bank Syariah Indonesia (BSI). Momentum ini secara tidak langsung memberikan daya dorong bagi Aceh dalam memperkuat penerapan ekonomi syariahnya. BSI saat ini tampak mengarah terkait bagaimana integrasi secara menyeluruh dalam melakukan tahapan pelayanan. Demikian di Aceh saat ini justru penerapan ekonomi syariahnya masih tampak mengalami tarik ulur.
Awal Februari 2021 Presiden Joko Widodo meresmikan Bank Syariah Indonesia (BSI). Momentum ini secara tidak langsung memberikan daya dorong bagi Aceh dalam memperkuat penerapan ekonomi syariahnya. BSI saat ini tampak mengarah terkait bagaimana integrasi secara menyeluruh dalam melakukan tahapan pelayanan. Demikian di Aceh saat ini justru penerapan ekonomi syariahnya masih tampak mengalami tarik ulur.
Jauh-jauh hari memang proses membumikan ekonomi syariah di Aceh tampak semangat, didukung dengan berbagai konsep yang visioner dan menjamin dari pakar ekonomi. Tapi pada realitasnya, masa kini belum ada sesuatu yang berdampak langsung pada peningkatan perekonomian masyarakat Aceh tanpa menyebut masyarakat Aceh pun belum begitu paham terkait bagaimana arah penerapan ekonomi syariah tersebut.
Benar bahwa proses penerapan ekonomi syariah dalam lingkup Lembaga Keuangan Syariah (LKS) masih dalam tahapan perwujudan secara bertahap, namun bukan berarti saat ini kekuatan LKS tidak dapat tampil di posisi puncak dari lembaga keuangan konvensional. Terlepas dari segala upaya yang telah dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dalam memproduksi qanun untuk memperkuat keberadaan LKS. Diakui atau tidak, dalam ruang publik di Aceh saat ini masih mengalami silang pendapat soal keberadaan LKS, sehingga solidaritas semua pihak di Aceh belum begitu mengarah pada keinginan bersama untuk benar-benar semua lembaga keuangan di Aceh harus berprinsip syariah.
Hal ini terjadi bukan saja sistem keuangan konvensional sudah lama mempengaruhi budaya dan cara pikir masyarakat dalam melakukan aktivitas perekonomian, tetapi kekuatan politik di Aceh saat ini juga tampak masih mengambang, hingga belum tampak keinginan kuat untuk benar-benar menerapkan perekonomian syariah secara kaffah di Aceh. Padahal, memalui intervensi politik, kekuatan LKS akan lebih cepat terwujud, mulai dari pola sosialisasi secara serius maupun dalam menciptakan pelayanan secara optimum. Kondosi LKS di Aceh seperti inilah yang menjadikan proses perwujudaan LKS tampak memasuki lingkar politis, artinya masih bicara soal mengakomodir kepentingan terkait siapa yang harus dipertahankan, apakah itu LKS atau konvensional.
Berdasarkan Qanun Aceh No.11 Tahun 2018 tentang LKS tampak jelas bahwa Aceh menginginkan segala bentuk lembaga keuangan termasuk bank yang beroperasi di Aceh wajib mengikuti prinsip syariah. Jika tidak mengikuti Qanun Aceh No.11 Tahun 2018 tentang LKS, maka lembaga keuangan atau bank tersebut tidak dapat beroperasi di Aceh.
Qanun Aceh No.11 Tahun 2018 tentang LKS ini mulai berlaku sejak Januari 2019, dan ketentuan ini dijalankan oleh semua lembaga keuangan di Aceh paling lambat selama tiga tahun setelah pemberlakuan.
Dari sisi politik hukum memang penerapan LKS tampak kuat, namun dari sisi pelaksanaannya masih mengambang tanpa menyebutnya pemerintahan Aceh kurang serius mengurus permasalahan ini.
Kondisi sedemikian menjadikan arah politik ekonomi syariah di Aceh mengalami pembelahan, terpisah mengikuti arahnya masing-masing. Bagi yang mendukung penerapan syariah terus diperkuat dengan berbagai daya dorong narasi dan aksinya.
Kondisi sedemikian menjadikan arah politik ekonomi syariah di Aceh mengalami pembelahan, terpisah mengikuti arahnya masing-masing. Bagi yang mendukung penerapan syariah terus diperkuat dengan berbagai daya dorong narasi dan aksinya.
Demikian pula yang masih menginginkan kelanjutan pemberlakuan lembaga keuangan konvensiol di Aceh untuk terus memiliki kekuatannya secara politik. Sehingga bentuk konkret perwujudan LKS di Aceh hari ini masih mengalami dinamika akut secara politik.
Yang ingin disampaikan pada kajian ini adalah terkait bagaimanakah bentuk kesungguhan politik legislatif dan eksekutif di Aceh dalam mengimplementasikan Qanun Aceh No.11 Tahun 2018 tentang LKS? Dan bagaimana pula pendekatan yang digunakan kedua lembaga tersebut (eksekutif dan legislatif) dalam mempercepat LKS dapat berjalan secara normal di Aceh?
Untuk menjawab perkara ini tentunya bukan perkara mudah, ia membutuhkan keseriusan politik minimal dari tiga pihak, yang pertama dari pihak legislatif, kedua pihak eksekutif dan ketiga pihak pengusaha/pebisnis. Komitmen atau keseriusan ke tiga pihak inilah yang akan menentukan penerapan LKS dapat terwujud secara optimal di Aceh.
Sementara itu posisi praktisi LKS atau pakar LKS dapat mengambil peran dalam memberi rambu-rambu seiring proses implementasi qanun LKS. Bisa jadi diberi rambu-rambu melalui narasi, maupun turut membantu melakukan proses bimbingan dan pengawalan sembari membentuk kesadaran masyarakat untuk bersama-sama mendukung pelaksanaan perekonomian syariah secara menyeluruh di Aceh.
Berdasarkan observasi yang penulis lakukan, adanya indikasi hasrat politik yang terjalin “intim” antara pihak legislatif, eksekutif juga pengusaha di Aceh tampak belum begitu menginginkan terlaksananya pemberlakuan Qanun Aceh No.11 Tahun 2018 tentang LKS. Hal ini terjadi karena boleh jadi teknis penerapan qanun LKS masih belum memuaskan bagi pihak pengusaha, dan boleh jadi belum begitu mendesak bagi legislatif. Sehingga lembaga eksekutif di Aceh terlihat masih setengah hati dalam menjalankan qanun LKS. Dalam konteks ini semoga saja hasil observasi yang penulis lakukan ini mengalami kekeliruan.
Kalaupun benar, paling tidak dapat menjadi pertimbangan bersama untuk segera mendapat solusi konkret demi terciptanya kesejahteraan dan keadilan ekonomi di Aceh.
Bagaimanapun tantangannya, konsolidasi politik dalam implementasi qanun LKS harus terus digalakkan. Jangan sampai permasalahan ini hanya sebatas propaganda kosong atau isu jualan politik bagi politisi lokal maupun nasional. Sebab tujuan akhir dari pelaksanaan qanun LKS adalah untuk mendongkrak kemajuan Aceh dari sektor perekonomian.
Jika pemerintahan Aceh tak serius menyelesaikan tahapan transformasi semua lembaga keuangan konvensional menjadi berprinsip syariah di Aceh, maka kapan lagi sentuhan inovasi LKS dapat diberlakukan pada pelaku usaha di Aceh, terutama dalam menciptakan skema pembiayaan para generasi muda di Aceh yang bergerak di bidang bisnis rintisan. Oleh sebab itu, sudah seharusnya Pemerintah Aceh jangan memperlambat penerapan qanun LKS, terlebih lagi kendalanya berada pada lingkar politik kepentingan.
Jika benar benang merah dari lambannya penerapan qanun LKS terletak pada persoalan lingkar politik kepentingan, maka sudah seharusnya hal ini dapat diakhiri dengan jalur distribusi kekuasaan secara win-win solution. Jangan sempat gara-gara hasrat kelompok politik tertentu tidak terpenuhi menjadikan qanun LKS mandek. Sungguh hal yang sedemikian bukan saja merugikan Aceh di mata nasional, tetapi juga Aceh mengalami penyengsaraan oleh elite pemerintahan daerahnya sendiri.
Atas kajian sederhana ini pula seharusnya semua pihak di Aceh terus antusias dalam menyambut pemberlakuan segala hal yang berprinsip syariah, apakah hal itu datang dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah daerah. Paling tidak dengan antusiasnya semua pihak di Aceh akan sendirinya menciptakan konsolidasi politik sebagai panglima dalam mewujudkan penerapan nilai syariat Islam di tingkat nasional maupun lokal. Semoga.