Oleh : Zulfata
Sekretaris Umum Badko HMI Aceh
Masih seputar pelaksanaan kongres yang sedang berlangsung di negeri kayangan. Konstelasi politik kepemimpinan yang sedang dilakoni beribu orang di arena kongres tersebut menyeret kita untuk mencermati bagaimana geliat politik calo kongres. Mereka mahir menabur empati manipulatif sebelum kongres hingga pada proses kongres berlangsung. Dalam pengertian umum, calo dimaknai sebagai orang atau sekelompok orang yang berberan memberikan/menyediakan jasa perantara dengan harga tertentu. Biasanya harga yang ditawar berada di atas normal.
Memahamii keberadaan calo di Indonesia sangat mudah dijumpai, mesti sulit dibuktikan secara pengadilan. Terkadang masyarakat kelas atas lebih memilih mengurus berbagai urusan melalui jasa calo, sebab dengan calo berbagai urusan cepat selesai. Dalam konteks politik calo kongres yang sedang gencar-gencarnya melekat pada suatu himpunan di negeri kayangan sungguh berbeda dengan pengertian calo secara umum, demikian pula ciri dan strategi yang dimainkan oleh subjek calo.
Subjek politik calo kongres biasanya orang yang terlibat aktif sejak lama dalam konstelasi politik himpunan, ada yang berasal dari internal himpunan itu sendiri dan ada pula yang lihai mencari muka untuk dapat ikut berperan sebagai calo kongres meski ia bukan kalangan himpunan. Benar bahwa mereka tidak mengakui dirinya calo, tetapi mereka identik dengan gelar “senior”. Dengan bermodalkan investasi jasa yang selalu ditaburkannya kepada dinda-dinda polos, calo kongres juga lihai bersilat lidah di hadapan kandidat.
Bermacam cara godaan yang mereka mainkan saat berdiskusi pada semua kandidat guna mencari data atau informasi terkait kandidat siapa yang terkuat. Seirama dengan itu pula, apa yang saya sebut sebagai “kanda calo” juga mereka tidak berdiam diri pada satu kandidat, ia juga aktif meneropong kandidat tetangga, ia juga nantinya akan terseret pada calo yang memiliki modal kemapuan yang lebih darinya. Sehingga para calo kongrespun berlevel-level hingga nantinya bertemu pada beberapa sosok juru kunci, atau dalam bahasa klasiknya adalah “Don kongres”.
Keberadaan calo kongres di himpunan negeri kayangan tersebut bukanlah penyakit baru, ia sudah lama terjangkit, makin periode makin menjadi-jadi. Mereka menyebutnya sebagai pembelajaran politik. Jika ditelusuri secara politik praqtis, aktivitas sebagai calo kongres adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu oleh mereka, sangking semangatnya untuk siap menjadi calo kongres, mereka mampu merencanakan dan masuk terlibat seperti dinda-dinda dalam konferensi cabang pada satu himpunan di negeri kayangan tersebut.
Dengan nyimplungnya kanda calo kongres dalam pemenangan ketua cabang, senada itu pula dia dianggap oleh dinda-dinda yang diagen sebagai maestro, sosok yang berjasa bagi mereka para dinda. Padahal para dinda tersebut tak sadar bahwa suatu saat mereka akan dijadikan komoditi untuk dicalokan. Hal seperti inilah yang membuat para dinda tidak bijaksana dalam menempa mental kepemimpinannya. Maklum, masih dinda, polos begitu saat digiring oleh kanda-kanda yang praqmatis, sok elite dan merasa dirinya sultan meski dirinya masih pengangguran. Ada-ada saja karakter aktivis, hehe
Bagi saya, calo kongres itu adalah “gelandangan politik”, perlu diberi pencerahan dan pembelajaran. Keberadaan mereka justru akan terus merusak stabilitas politik ideologis menyongsong cita-cita himpunan yang selalu diumbar-umbarkan dalam ruang training di negeri kayangan tersebut. Pada posisi ini pula para dinda yang mendapat jabatan strategis di cabang bukan tidak paham mereka sedang menjadi komoditi para calo, hanya saja mereka lumpuh seketika, “lemah syahwat”, militannya demam hingga pasrah mengikuti kehendak kanda, sungguh dinda seperti ini memiliki karakter yang unik dengan tidak menyebutnya tak bermoral.
Jika menganggap para dinda yang menduduki jabatan strategis di cabang mampu didikte oleh kanda calo, maka bagaimana upaya pembenahan politik struktural himpunan itu dapat terjadi? Padahal dalam berorganisasi itu ada kode etiknya yaitu setiap masa ada orangnya, dan setiap orang ada masanya. Lantaran dinda masih polos, tak pernah jalan-jalan ke luar daerah, mudah tergoda rupiah warna merah, apa lagi bertumpuk-tumpuk. Sungguh diplomasi kongres yang dilakukannya tidak lagi melalui diplomasi secara seni integritas, melainkan lansung menempuh strategi belah semangka, berapa bagian dinda dan berapa bagian kanda, mesti kanda malu-malu kucing untuk mengumbar jatahnya pada dinda, hahahaha. Ingat, praktik ini adalah praktik musiman, kalau seandainnya praktik tiga bulan, maka mati kita. Haha
Para membaca jangan terlalu tegang dan serius saat membaca ocehan saya ini, sebab tulisan ini adalah tulisan yang dianggap tak penting bagi para calo beserta para jamaahnya, baik itu yang berstatus sebagai delegasi maupun dinda romlah (rombongan olah), dinda romli (rombongan liar) maupun calon ragen (rombongan agen). Tulisan ini akan menjadi vitamin bagi kader yang tergerak hatinya untuk tak ingin mengikuti langkah perjalanan politik calo kongres yang dilakoni oleh kanda-kanda mereka yang tak ubahnya seperti bunglon di hadapan para kandidat kongres.
Perlu dipahami pula bahwa arena petualangan para calo kongres ini dapat divisualkan seperti rantai makanan dalam teori keanekaragaman hayati. Yang berposisi di puncak itu adalah juru kunci, dan yang di tengah (peratara) adalah para kurir suara. Kurir suara inilah posisi calo kongres. Para calo kongres jika berhasil akan mendapat keuntungan berlipat-lipat dari juru kunci, dan para dinda yang diagen tak ingin paham soal ini, yang penting mereka dapat bereoni dengan rekan-rekan training, serta dapat jalan-jalan keluar daerah. Sungguh kader seperti ini kader kurang waras alias kuarang akal nurani.
Yang paling parahnya, para calo kongres yang memiliki jam terbang lama, atau yang merasa bangga bermain dan menzinai indenpendensi para dinda malah merencanakan agar memanipulasi situasi forum kongres. Sehingga dengan berbagai staretgi yang licin tak jarang kita melihat kongres berlansung seperti “lempar jumrah”. Artinya, kursi mendarat di kepala di antara pemegang suara. Sungguh jika dibiarkan keberadaan calo kongres ini tidak akan menjadikan ruang demokratis himpunan ini sebagai ruang pembelajaran politik berkeadaban bagi semua peserta kongres. Untuk itu para adinda mesti kuat untuk memutuskan mata rantai perkembangan para calo kongres ini dengan tidak serta-merta mengikuti kehendak para kanda calo kongres. Sebab ini adalah masanya dinda-dinda, para kanda nonton saja sambil memberi nasehat, jangan menyelam sambil minum air di atas keberadaan jabatan dinda.
Yang menjandi ujung tombak agar kongres himpunan ini berpolitik secara berkeadaban seyogianya terletak pada subjek pemegang suara. Demikian pula yang menjadi perusak kongres dengan menciptakan laboratorium politik pragmatis juga berada di tangan para pengantong suara. Sungguh jika peserta kongres acuh tak acuh pada kebenaran dan martabat politik himpunan, maka dimana mereka letak akal dan nurani mereka di hadapan tuhan yang maha kuasa? Sunggun kita harus berhati-hati, jangan-jangan kita bukan sedang berhimpunan untuk keislaman dan keindonesiaan, melainkan kita sedang bersungguh-sungguh menjadi setan atau jin yang terkutuk dalam berhimpunan. Astahgfirullah…