Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

PEMBELAJARAN PAI BERBASIS KEARIFAN LOKAL

Rabu, 31 Maret 2021 | Maret 31, 2021 WIB Last Updated 2021-03-31T00:02:02Z


Oleh : Johansyah
Ketua STIT Al-Washliyah Aceh Tengah


Pendidikan Agama Islam (PAI) yang selama ini diselenggarakan pada lembaga pendidikan dinggap masih belum maksimal memainkan peran utamanya dalam menumbuhkan karakter peserta didik. Ketidakmaksimalan ini pula yang dianggap menjadi salah satu penyebab terjadinya berbagai perilaku penyimpangan di negeri ini.

Menurut Qodri Azizy (2003: 61), ada beberapa kelemahan penyelenggaraan pendidikan agama selama ini, yaitu; 1) pembelajaran PAI lebih menekankan hafalan; 2) lebih menekankan pola hubungan antara hamba dan Tuhannya; 3) kurang kritis; 4) kurang penghayatan nilai; 5) tidak aplikatif; 6) miskin metode; 7) ukuran keberhasilan PAI masih formalitas; 8) tidak dijadikan landasan bagi mata pelajaran lain; dan 9) tidak dijadikan landasan dalam membentuk karakter peserta didik.

Mungkin kita semua merasakan seperti apa yang dirincikan di atas, bahwa pembelajaran PAI belum diformulasi dan diterapkan sebagaimana tujuan idealnya, yaitu pembentukan akhlak dan perilaku peserta didik. PAI yang diajarakan pada peserta didik selama ini tidak digarap secara serius oleh pemerintah dan tidak menjadikannya sebagai intrumen utama dalam mengukur keberhasilan tujuan pendidikan nasional.

Dimensi agama merupakan substansi penting dari tujuan pendidikan nasional, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), bab II, pasal (3), bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Tujuan yang belum terwujud dari tujuan pendidikan nasional di atas adalah aspek moralitas-religiusnya yang menginginkan manusia Indonesia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Muncul pertanyaan, apa mungkin pemerintah tidak mengetahui kelemahan ini? Tentu mereka tau. Lagi pula, sudah berapa banyak pakar pendidikan kita yang bergelar Doktor dan guru besar? Yang jelas, pendidikan agama hanya formalitas dan tidak pernah menjadi prioritas dalam kurikulum kita. Jika hal ini dibiarkan, dapat dipastikan bahwa tujuan pendidikan nasional untuk membentuk manusia Indonesia yang bertakwa tidak akan pernah tercapai.

Pendidikan karakter yang diprogramkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada tahun 2010 lalu, merupakan respon darurat pemerintah terhadap kegagalan pendidikan dalam menumbuhkan karakter peserta didik. Seandainya saja kurikulum PAI tertata dan dijalankan dengan serius, barangkali Kemendikbud tidak perlu repot membuat program pendidikan karakter yang menghabiskan banyak anggaran negara karena pada hakikatnya PAI itu tidak lain adalah pendidikan karakter dan menjadikan orang bertakwa.

Esensi dari pembelajaran PAI sebenarnya adalah karakterisasi. Yakni sebuah upaya transformasi nilai kepada peserta didik untuk menumbuhkan karakter atau akhlak mulia secara vertikal-individual maupun sosial-horizontal. Peserta didik diharapkan mampu mengenal, memahami, dan menerapkan nilai-nilai teo-antroposentris (berbasis ketuhanan dan kemanusiaan).

Bagaimana Seharusnya?

Kalau begitu, bagaimana seharusnya pembelajaran PAI agar tidak terjebak kepada hal-hal yang teoritis dan menjadi bias? Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu. Menurut saya, karena inti dari PAI itu adalah proses transformasi nilai, maka pendekatan yang efektif dalam pembelajaran PAI adalah pendekatan kultural (budaya). Pendekatan kultural dalam pembelajaran PAI yang dimaksud adalah sebuah pembelajaran dengan mengaitkan materi dan metode PAI dengan nilai-nilai budaya lokal, sehingga apa yang disampaikan kepada peserta didik adalah sesuatu yang nyata dalam kehidupan mereka dan apa yang biasa mereka alami.

Rahasia utama keberhasilan penyebaran Islam dari misi kerasulan Nabi Muhammad adalah karena pendekatan yang digunakan oleh beliau adalah pendekatan kultural. Alqur’an sebagai pesan langit pun, ketika diturunkan ke bumi waktu itu tetap bersinggungan dengan tradisi kehidupan masyarakat Arab, sehingga lambat laut ajaran Islam dapat diterima oleh masyarakat jahiliyah. Demikian juga keberhasilan penyebaran Islam ke Indonesia, faktor utamanya adalah karena pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kultural. Begitulah, ketika mengubah perilaku manusia, Islam menggunakan budaya lokal sebagai kendaraan dan sarana untuk menyampaikan pesan wahyu dari langit.

Dalam pendidikan kita, tampaknya persinggungan agama dengan nilai-nilai budaya inilah yang tidak dilakukan dalam pembelajaran PAI. Bahkan banyak yang berpikir bahwa tidak ada hubungan antara materi agama dengan budaya. Agama identik dengan materi fikih, akhlak, alqur’an, dan hadits. Sementara budaya terkait dengan tradisi masyarakat lokal yang sudah membumi dalam kehidupan mereka. Keduanya tidak memiliki hubungan, anggapan seperti ini tentu dikaji ulang.

Agama memberi pesan kepada manusia agar mereka berakhlak mulia. Maka ketika menyampaikan pesan ini kepada peserta didik, guru dapat menggunakan pendekatan budaya. Misalnya saja bagaimana memberi pemahaman tentang akhlak pada peserta didik, maka seorang guru memberikan pemahaman yang biasa ketahui, dirasakan dan dialami anak dalam lingkungannya.
Minsalnya di Gayo, seorang guru harus menanamkan akhlak dengan bahasa dan budaya Gayo kepada peserta didiknya. Guru mencari kata-kata yang erat kaitannya dengan akhlak, misalnya mukemel, mutentu, munahma, muilmu, mupendirin, dan sebagainya. Ada juga ungkapan berupa perintah dan larangan, seperti ungkapan; keramat mupakat behu berdedele, beluh sara tamunen, mewen sara loloten, becerak enti ko sergak, mujurah enti munyintak, remalan enti begerdak, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Budaya (termasuk Gayo) sangat kaya dengan nilai-nilai. Nilai yang dimaksud dapat diperoleh dari ungkapan pribahasa, melengkan, saer, dan beragam kekeberen (kisah) yang memuat berbagai pelajaran. Untuk itu, sebenarnya ketika menyampaikan materi agama yang terkait akhlak kepada peserta didik, guru tinggal mengkolaborasikannya dengan nilai-nilai budaya lokal. Dengan demikian, sebenarnya tidak sulit mencari materi dan metode pendidikan agama dengan pendekatan budaya ini.

Untuk memaksimalkan pendekatan kultural dalam pembelajaran PAI, ada baiknya guru mendalami antropologi, sosiologi, psikologi dan disiplin ilmu lainnya. Secara praktis, guru harus memahami adat istiadat dalam budaya yang sudah tumbuh menjadi tradisi. 

Semua ini akan sangat membantu guru dalam mendesain pembelajaran PAI. Guru juga harus menyadari bahwa akhlak itu lebih bersifat praksis, bukan hanya teoritis. Maka dalam mengajarkan akhlak, guru sejatinya tidak menyajikan banyak teori, tapi contoh nyata yang layak diteladani oleh peserta didiknya. Wallahu A’lam bishawab!