Oleh : Zulfata, M.Ag
Sekretaris Umum Badko HMI Aceh
Sebuah negeri kayangan sedang melaksanakan kongres. Disana menjadi pusat perhatian publik, aktivis, politisi hingga elite-elite pemerintahan lainnya yang menjabat posisi starategis kenegaraan juga terlibat secara laten. Biasanya kongres dimaknai sebagai sebuah perhelatan atau konstelasi politik dalam hal transformasi kepemimpinan pada sebuah organisasi. Berbagai stratetegi diadu di dalamnya, tidak ada yang kalah dan tidak ada pula yang menang, begitu pula tidak ada yang untung dan rugi, yang ada adalah pembodohan generasi dalam menjamur oligarki.
Dalam serangkaian kongres di negeri kayangan tersebut dihadiri oleh beribu massa dengan motif yang beragam, dengan gegab gempitanya mereka masing-masing mengambil posisi sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Ada yang menjadi pelaku kartel, ada yang menjadi juru lobi, ada pula yang menjadi alat produksi politik dan komoditi politik (suara). Serangkaian subjek yang terlibat dalam kongres ini awalnya untuk memberikan nilai tambah pada saat negara ingin dibantu dengan segala upaya yang sedang mengancam keadabannya. Namun demikian secara gradual kongres tersabotase, padat modal, ramai manipulatif, cacat moral melampaui praktik ekonomi pasar bebas.
Pada prinsipnya wahana kongres adalah sebuah ajang penumbuh harapan baru memetik pencerahan agar cepat terwujud. Proses-prosesnya mengikuti etika keteladanan ideologis organisatoris. Sebab organisasi ini bukan partai politik (parpol), namun demikian, tetap saja ada celah untuk mensabotase kongres agar mengalami kehilangan ruh yang semestinya. Hal ini terjadi karena perekat konsolidasi politik tidak berada pada rel-rel tempur keteladanan, melainkan mengikuti alur distribusi pemodalan, pragmatisme yang terjebak pada congkaknya sekelompok orang untuk meraih kemenangan kuasa. Artinya serangkaian lobi-lobi yang dijalani tidak ada tempat akal nurani untuk dijadikan kekuasaan, Justru sebaliknya terjadi kekuasaan diraih bersama siapa yang mampu mendistribusikan modal pada setiap konstituen kongres yang beribu jumlahnya. Ada yang berklarifikasi sebagai julukan kanda agen, dinda diagen, serta dinda sebagai tim hore di luar tujuan kongres.
Kondisi sedemikian secara tidak langsung kongres di negeri kayangan itu membentuk skema pasar gelap. Ingat, pasar gelap, bukan pasar bebas. Jika pasar bebas mengedepankan peran individual dalam mendikte pasar serta memanipulasi distribusi komoditi ekonomi, tetapi pada pasar gelap ini kebijakan bersifat kolektif kolegial yang dimainkan oleh agen suara kongres sebagai pemuas birahi politik paragmatis dan golongan semata. Mereka tak begitu peduli terhadap nasib dan ruh perjuangan organisasi dalam menyelamatkan bangsa menuju masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Swt.
Semangat pengabdian mereka berubah menjadi ladang penghasilan musiman, kepedulian terhadap adinda-adinda sewaktu-waktu berubah menjadi tuntutan pada dirinya sebagai tuan yang mesti diikuti. Pada kondisi ini para dinda lumpuh, tak berdaya, ditambah lagi karena tak menguasai medan kongres yang jauh dari kampung halaman. Kemudian dalam perhelatan kongres itu pula, berbagai narasi menarik perhatian untuk datang ke medan kongrespun semakin memuncak. Para kandidat tak gentar, yang padat modal tertawa terbahak-bahak, yang kandidat pas-passan atur langkah untuk bergesar sembari membangun kerangka jembatan yang cocok untuk nyebrang.
Pada situasi ini, juru lobi, juru kunci serta buzer kongres terus digeliatkan. Massa terus berdatangan, dengan dominannya datang secara gratis, tanpa sadar ilmu dan pengalaman mereka yang datang sebagai rombongan lillahita’ala (romli) pada dasarnya belum siap dengan kondisi medan perang kongres. Pada puncaknya, tim kandidat siap tak siap menjadi penampung pengadaan tiket, menyediakan tempat yang tidak lagi disebut sederhana, tetapi mewah. Ini bukan lagi bicara cost politic, tetapi sudah bagian tak terpisahkan dari politik padat modal. Para massa pun berbangga ria, tebar senyum saat berada di lingkar kongres, padahal secara etika politik keorganisasian mereka tidak layak untuk diundang atau memalukan untuk memaksa datang.
Sebagai konsekuwensi strategi, massa menggeludak, fungsinya bukan saja ingin menampakkan para agen seolah-olah sangat berjasa mendatangkan para dinda-dinda polos ke arena kongres, melainkan juga sebagai penggiring konflik agar kongres dapat disetting perjalanannya pendek atau panjang. Pada akhirnya, ruang adu ketangkasan integritas di saat kongres berada di luar kehendak delegasi kolektif. Tetapi berada di tangan sekelompok orang yang optimal memuaskan biologis kelompok tertentu. Parahnya, pelaku pasar gelap dalam kongres ini juga ingin terus menambah kecambah politiknya untuk dapat kembali sebagai pengendali suara dinda-dinda pada kongres selanjutnya.
Pada kondisi seperti ini, para adinda yang menjadi pengurus aktif organisasi atau sebagai delegasi betul-betul kehilangan peta perjuangan, tersabotase secara cantik, pasrah. Biasanya para adinda ini gesit dalam aksi menuntut keadilan birokratif di daeranya, namun pada saat di kongres mereka lumpuh dan mengalami ketergantungan akut. Sungguh hal ini memilukan himpunan di negeri kayangan tersebut.
Ketika kongres dimainkan secara pasar gelap, transaksional menjadi pintu, padat modal sebagai kendaraan, omong kosong perjuangan secara struktural kolektif semakin jelas terlihat di hadapan rakyat seluruh Indonesia. Integritas digadaikan, kesenangan dan kecongkakan bak mafia kelas kakap dipertontonkan. Padahal ini himpunan adalah himpunan religius, bergagasan serta syarat keteladanan untuk tidak memaksakan nafsu birahi politik.
Kita tidak mengetahui pasti bagaimana cara untuk memutuskan urat nadi pasar gelap di organisasi ini, sebab gelombang massa yang begitu besar juga terbuai pada alunan juru kunci kongres. Skema perencanaan siapa-siapa yang ingin dimenangkan sebagai posisi ketua umum bukan lagi berada pada pemegang delegasi, tetapi itu berada pada kehendak juru kunci yang berada di alam kayangan. Siapa yang sungkem ke juru kunci, maka diyakinkan ia akan selamat.
Memahami ini memang kita tidak menutup pintu optimisme, tetapi sampai kapan virus ini menjalar? Kekuatan politik kebudayaan organisasi redup, semuanya terpusat pada politik birokratif yang mahir menghitung-hitung apa dan bagaimana keuntungan kami. Semangat ini terus diwariskan, pelakunya berbagai level, tak peduli dengan yang namanya kesolehan sosial dan tanggung jawab serta adil, yang penting menang dan kami aman serta layak membanggakan diri. Rasa kemanusiaan berubah menjadi kebinatangan. Konsolidasi progresif perjuangan berubah menjadi ajang pembodohan, mamatikan iman dan hati nurani demi kesenangan pujian dan rezeki musiman.
Berat memang kapal himpunan ini berlabuh, godaan untuk hidup hedonis, ingin terus dipertujankan, merasa diri elite sudah saatnya dijadikan “cencelled culture” di himpunan itu. Jika tidak pertaruhannya adalah kerusakan generasi yang perlahan-lahan akan menghilangkan spirit altruisme atau jiwa kepahlawanan dalam menjaga keadaban dan menghantam segala kemungkaran.
Dalam konteks ini pula terkadang kita lupa, jeritan dan teriakan yang selama ini dituntut dijalanan adalah buah dari perilaku himpunan itu sendiri, generasi yang tidak amanah, generasi yang mematikan mata hati ketika hendak membangun komitmen keislaman dan keindonesiaan yang progresif. Atas realitas kongres seperti ini, masihkah kita menyangkal bahwa kita adalah organisasi yang benar-benar memproduksi oligarki secara penuh suka cita di hadapan rakyat dan bangsa? Selamat berkongres himpunan di negeri kayangan!