Oleh : Zulfata, M.Ag
Instrukutur HMI Banda Aceh. Email: fatazul@gmail.com
Ruang-ruang training Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan tempat “penggemblengan” kader HMI untuk mampu mewujudkan komitmen keislaman dan keindonesiaan. Di ruang training itu pula mereka ditempa dengan berbagai dinamika intelek universal, baik dari sisi kognitif, psikomotorik maupun afektif. Semua kecakapan mental dan non mental dipicu pada setiap diri kader yang ditraining. Proses ini kemudian menciptakan ada berbagai tahapan yang akan dilalui kader HMI. Tahapan yang dihadapi sedemikian bukanlah semata-mata bagian untuk mendeteksi kapasitas kader sebelum masuk training, tetapi juga memicu kader untuk benar-benar siap menjalani dinamika forum training, dan kemudian mampu berfikir dan bertindak merdeka setelah forum training selesai.
Dalam konteks ini saya tidak ingin terjebak pada permasalahan teknis terkait bagaimana pengelolaan training. Intinya training HMI hari ini mestilah mengalami pembaharuan, baik itu dari sisi pola, materi, pendekatan hingga pelayanan para panitia. Upaya pembaharuan ini tentunya bukan sekedar mencari jalan inovasi baru dalam training, tetapi juga memberi nilai tambah bagi adanya daya ungkit kader HMI dalam mengontrol peradaban bangsa, dan dari ruang training HMI pula semangat pembaharuan tersebut strategis untuk diterapkan secara berkelanjutan.
Agar kajian ini lebih fokus, tulisan ini akan berusaha menyasari pertanyaan terkait bagaimana output training LK-1, LK-2, LK-3, SC atau training keinstrukturan? Dan bagaimana pula relevasnsi training dalam menambal lubang masalah di internal HMI? Baik soal struktural keorganisasian maupun kaderisasi politik untuk membumikan semangat keislaman dan keindonesian. Kemudian bagaimana pula dengan target konkret pergerakan kader HMI terhadap daerah cabang setempat?
Prinsip untuk mengurai beberapa permasalahan di atas adalah ruang training bagian dari laboratorium kepemimpinan di HMI. Melalui laboratorium tersebut kader HMI akan digiring untuk menjadi insan cita yang secara sederhanya pemaknaan lain dari manusia yang intelek dan merdeka, tidak mengalami ketergantungan materialistik. Seperti diketahui bersama, setiap training di HMI selalu mengacu pada Pedoman Pengkaderan (PP). Di dalam PP tersebut memiliki nilai substansial yang tidak akan termakan usia dan memiliki potensi untuk melakukan pembaharuan dalam training, sehingga training tidak dikelola secara ugal-ugalan.
Saat membolak-balik PP, akan ditemukan standar umum terkait output LK-1 adalah untuk membentuk kepribadian menjunjung tinggi etika keislaman. Bagi output LK-2 kuncinya adalah menghadirkan kemampuan intelektual dalam memetakan peradaban, demikian SC senantiasa ditekankan untuk mampu menjaga integritas dan profesionalismenya kader HMI, dan selanjutnya LK-3 dituntut untuk mampu menterjemahkan dan mentransformasikan gagasan secara profesional dalam merespons dinamika kebangsaan dan kenegaraan.
Berangkat dari standar umum training HMI tersebut, semua pengelola training semestinya tidak terjebak pada persoalan adminsitratif belaka, dan tidak pula terjebak dalam memberikan penilaian progres training secara positivistik. Artinya bahwa para pengelola harus melihat kualitas kader secara multiperspektif, tidak hanya terpaku pada satu persoalan semata, sehingga tidak semata-mata mudah menggugurkan calon peserta training.
Hal seperti ini menjadi penting untuk dipahami karena tantangan HMI makin hari makin berat. Jika semua pihak di HMI masih komit dengan keislaman dan keindonesiaannya, maka ruang-ruang training harus mampu dijadikan sebagai agen memperbaiki kualitas negara, baik di mata rakyat sendiri maupun di mata masyarakat global. Pada konteks inilah penulis menyebut bahwa training HMI harus disikapi dengan bijaksana, karena situasi negara hari ini sedang mengalami proses keruntuhan demokrasi akibat menguatnya kekuatan oligarki-oligarki baru yang tidak menutup kemungkinan dapat terus dikaderkan oleh HMI sendiri.
Jika di lapangan masih ditemukan ada manipulatif dalam mengelola training, atau masih terlalu kaku dalam mengelola training, maka dapat dipastikan nilai-nilai oligarki baru akan hidup dalam ruang training HMI. Pada persoalan ini diharapkan training HMI tidak perlu mengedepankan senioritas umur atau jam terbang seorang instruktur, cukup saling menghormati pendapat secara etika, dan lebih mengedepankan gagasan cemerlang walaupun itu muncul dari instruktur muda dan energik.
Upaya untuk terus mengevaluasi training adalah suatu yang wajar dan mungkin sangat dituntut bagi setiap instruktur HMI. Tidak perlu takut dengan dinamika atau konflik yang akan menyala di dalamnya. Sebab dinamika dan konflik yang datang dalam setiap pengelolaan training adalah sebuah proses pendewasaan atau melatih kematangan karakter, baik itu bagi panitia, peserta maupun instruktur. Untuk itu, ketika raung training tidak mengalami upaya pencerahan dan pembaharuan, dapat dipastikan akan menjadikan arah struktural HMI akan pincang.
Sejalan dengan itu, narasi ber-HMI tidak perlu digiring adanya pemisahan antara training dan politik kader. Segala aktivitas HMI adalah proses politik kebudayaan dan kemanusiaan generasi muda lintas Indonesia. Artinya, segala proses ber-HMI selalu melewati tingkatan legalitas kekuasaan atau jalan terjal politik pengkaderan. Mulai dari komisariat hingga Pengurus Besar (PB) beraktivitas selalu dalam lingkup instruksi kekuasaan internal ke-HMI-an.
Dalam konteks ini penting untuk diperhatikan adalah politik HMI itu sungguh berbeda dengan politik oligark. Jika politik oligark menghalalkan segala cara dengan dibubuhi sikap praqmatis, maka politik HMI adalah politik berkebudayaan dengan tetap mengedepankan Nilai Dasar Perjuangan (NDP). Bicara tranformasi NDP sebagai idelogi HMI, maka training tidak melulu digiring dalam bentuk kemasan religi yang simbolik, atau selalu digiring untuk praktik ritual sufistik. Namun training HMI dengan semangat transformasi NDP dalam ruang training dapat diciptakan dalam bentuk gerakan paserta training. Bentuk konkret dari hal ini misalnya dapat saja kader HMI (peserta training) “menentang/melawan” instruktur atau kepanitiaan selama pertentangan yang dilakukan itu masih dalam koridor nilai NDP.
Sebut saja bahwa NDP bertentangan keras dengan yang namanya pembodohan dan tidak empati terhadap pelayanan training yang tidak berkemanusiaan. Dalam makna ini benar bahwa training HMI tidak perlu mewah fasilitasnya, tetapi standar umumnya senantiasa jangan membuat peserta traning tidak nyaman dalam hal memenuhi kebutuhan dasar keseharian, baik soal teknis sholat berjamaah maupun tempat istirahat. Mungkin argumentasi ini lebih diperuntukkan untuk training LK-2, SC dan LK-3, bukan untuk LK-1.
Karena kekuatan HMI itu berada di komisariat (kampus), atau di kabupaten/kota (Cabang/Badko), maka seyogyanya setiap cabang HMI dapat menjelma sebagai fungsi politik kewargaan yang membela hak-hak warga setiap kabupaten/kota dengan maksud untuk mewujudkan adil makmur yang diridhai Allah Swt. Upaya untuk menjadi cabang HMI sebagai ujung tombak dalam membumikan tujuan HMI, maka cabang HMI/Badko jangan terlalu lemah dengan kondisi PB HMI yang sedang mengalami kekaburan arah dalam mewujudkan tujuan HMI. Pada posisi inilah sejatinya kita masih menunggu kekuatan keteladanan setiap cabang HMI/Badko untuk terus dapat mengevaluasi diri, mulai dari persoalan mempersiapkan training internal maupun persoalan konsolitasi politik nasional dalam membangun kekuatan dan daya lenting keislaman dan keindonesiaan yang benar-benar nyata dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Selamat Milad HMI ke-74. Yakusa-Agapolisme