Oleh: Hermawansyah, S.Ant
Pandemi Covid-19 membawa masyarakat kedalam keadaan yang tidak menentukan, terkhusus bagi Kabupaten Bener Meriah suasana ekonomi terus menjadi polemik. Bagaimana tidak, sebelumnya pendapatan masyarakat dari hasil bertani dianggap sudah stabil, biasanya harga komoditi utama kopi dapat memenuhi pendapatan untuk kebutuhan kehidupan sehari-hari dalam satu kali musim panen nya.
Efek dari pandemi covid 19 ini membawa kehidupan masyarakat semakin meresahkan harga-harga komoditi pertanian utama dan sampingan tidak sepenuhnya stabil, kita lihat harga Kopi semenjak covid 19, ditingkat tengkulak daya belinya sangat rendah berkisar 5000 sampai 8000 rupiah perbambunya
Begitu pula harga cabe dan palawija lainya juga mengalami seperti itu, kita ketahui sejak awal Januari 202O hingga awal Februari 2021 tidak menentu, Terkadang tanaman palawija panen tapi harga anjlok dan begitu juga sebaliknya.
Akibat tidak menentunya harga kopi dan palawija banyak fenomena-fenomena sosial semakin merajalela. Pencurian dan Pembunuhan terjadi di lingkungan kita. Masih ingatkah, hilangya mobil Kijang Inova dan Kijang Toyota Super, pencurian di siang bolong dan Tragedi pembunuhan tragis pedagang keliling, tersangkanya membawa mobil dan daganganya dan kasus-kasus pencurian lainya yang tidak terekspos ke-media.
Fenomena tersebut sejatinya harus mendapatkan perhatian lebih dari Pemerintah Daerah, Jajaranya dan Pemerintah Desa. Mereka yang mempunyai alat untuk menuntaskan Kasus-kasus tersebut. saya begitu resah ketika mereka-mereka yang berwenang tidak memunculkan ide dan gagasan dengan cara menggunakan pendekatan kebijakan sosial sebagai kunci dalam menangani fenomena tersebut.
Untuk itu, saya ingin mengutip sebuah pandangan terkait dimensi sosial dan spritual dalam mengkaji kemiskinan dari apa yang dikutip oleh Ahmad Wijaya dari Isyrin Nurdin. Bahwa kemiskinan itu terdiri dari tiga jenis; Kemiskinan Materi, Kemiskinan Sosial dan Kemiskinan Spritual.
Kemiskinan Materi bisa kita artikan mereka yang tidak mempunyai akses untuk mendapatkan makanan, pakaian dan perumahan. Kemiskinan Sosial yaitu mereka yang tidak peka atau tidak mau memperhatikan keadaan lingkungan sosialnya, mereka seperti ini walaupun tergolong hartawan dianggap miskin karena tidak memiliki akses untuk bersolidaritas secara sosial, tidak mau berbagi ilmu dan materi kepada orang yang membutuhkan disekitarnya, mereka masuk dalam kategori miskin sosial. Kemiskinan Spritual, diartikan perpaduan erat antara kemajuan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan rasa aman dan damai atau mereka yang memiliki materi tapi hidupnya gelisah merasa tidak aman sebenarnya mereka dikategorikan dalam kemiskinan spritual.
Dari penjelasan pandangan di atas, untuk menangani patologi sosial tersebut, maka Pemerintah Daerah sebenarnya sudah memiliki alat untuk menangani nya. Seperti peran Dinas PUPR, Dinas Sosial, Baitul Mal dapat menata ulang secara analisis kebijakan sosial mereka memiliki alat dan wewenang dalam menuntaskan kemiskinan materi. Terkait kemiskinan sosial peran dari Kerja Sama Dinas Sosial dan Pemerintah Desa sangat menentukan bagaimana ketimpangan terhadap nilai-nilai dan norma, saling berbagi harus di gaungkan kembali bahwa harus peduli sesama. Sedangkan kemiskinan Spritual alatnya adalah Lembaga MPU, Kantor Kementerian Agama, Dinas Syariat Islam dan lembaga-lembaga yang relevan terhadap aspek spritual harus menggaungkan ajaran agama dalam menuntut kita bekerja sesuai anjuran ajaran nilai agama agar hidup aman dan damai.
Kebijakan berbasis sosial, budaya dan spritual adalah kunci utama dalam memahami segala fenomena yang terjadi di lingkungan masyarakat kita. Pemerintah Daerah sebagai alat untuk melakukan pelayanan dalam membuat masyarakatnya lebih Islami, Harmoni, Maju dan Sejahtera di daerah tercinta ini.
Penulis Tercatat Sebagai Mahasiswa Pasca Sarjana Sosiologi Unimal, Kota Lhokseumawe.