Oleh Zulfata, M.Ag
Sekretaris Uumum Badko HMI Aceh. Email: fatazul@gmail.com
Sudah 74 tahun Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mengawal dan membangun kekuatan keislaman dan keindonesiaannya di Republik ini. Dengan segala dinamika yeng melekat padanya, HMI terus mengembangkan sayap kontrolnya agar Indonesia benar-benar menjadi negara yang pancasilais sebagai fungsi negara. Semua kader atau kelaurga besar HMI yang bertebaran di seluruh dunia yang kemudian semuanya membentuk rantai jalinan konsolidasi yang disebut dengan “silatura-HMI”. Bentuk jalinan sedemikian ada kalanya berbentuk politik praqmatis maupun politik tingkat tinggi.
Keberadaan HMI memang misteri dengan tidak menyebutnya “keramat”. Berbagai perilaku keunikan kadernya yang bertebaran di setiap pemangku kekuasaan menjadikan posisi HMI terus berdinamka. Bukan saja dikalangan elite negara, atau bukan saja berada di ketiak oligarki, HMI juga berada di garda terdepan dalam membela hak-hak rakyat. Dalam contoh kasus, di balik dinamika penolakan Omnibus Law, di balik penerimaan dan penolakan Undang-Undang tersebut adalah bagian rangkaian kontestasi kader HMI.
Hal seperti ini bukan berati HMI itu abu-abu, pola ini terjadi karena kekuatan HMI terletak atas keterbukaan “alam semesta” bagi kader-kadernya yang terus berproses dengan berbagai terpaan. Ada yang diterpa dari bawah dan ada pula diterpa dari atas, dan kelanjutannya selalu hidup dalam terpaan. Karena spektrum terpaan inilah militansi kader HMI itu teruji. Dalam konteks ini, HMI harus terus mengisi kekosongan peran negara, mengawal kebijakan negara untuk tidak lari dari komitmen keislaman dan keindonesaan yang tetap menjadi misi HMI.
Semua kader HMI, semua varian keorganisasian HMI, dan tak lupa, semua oligarki yang menjadi penumpang gelap bagi HMI, HMI harus dapat menjadikan dirinya sebagai fungsi politik kewargaan. Substansi politik kewargaan adalah menjadikan aspirasi rakyat sebagai acuan kiblat dan kinerja politik negara. Jika di tahun 2021 ini mencuat pemerintah sudah disebut-sebut sebagai alat pemerintah yang kurang serius mengangkat martabat negara, maka sudah saatnya HMI mengembalikan pemerintah sebagai alat negara yang pada dasarnya untuk kemaslahatan rakyat tanpa menggadaikan negara pada peluang pasar negara asing.
Pada posisi ini pula, apa yang diamanahkan, atau dicita-citakan oleh pendiri bangsa harus menjadi kerangka pengambdian bagi seluruh kader HMI. Jika benar Indonesia hari ini mengalami pengikisan demokrasi, utang negara membubung tinggi, pembentukan hukum tak aspiratif rakyat kecil, atau Indonesia menjadi lapak pasar bagi negara lain dengan motif investasi. Maka HMI harus memiliki seni dalam menjaga martabat bangsa.
Apa yang penulis uaraikan di atas bukanlah suatu yang tak dapat dilakukan oleh kader HMI, justru ketika HMI berpihak pada cita-cita kewargaan (bukan mengatasamakan warga), maka kekuatan HMI akan semakin kuat melampaui kekuatan koalisi partai politik (parpol) yang sedang berkuasa saat ini. Dalam konteksi ini, meski HMI disebut-sebut hampir sama dengan pengembangan strategi politik parpol, namun HMI lebih mudah bersatu bersama rakyat dari pada parpol. Bisa jadi parpol mudah dilacak ketika ia melakukan pendekatan dengan rakyat karena ada unsur politik praqmatis dan elektoral. Namunn hal ini tidak bagi HMI, dengan segala strategi dan motif HMI dalam mengabdikan diri pada masyarakat, telah memberikan apresiatif bagi HMI.
Kepercayaan masyarakat terhadap HMI selama ini bukan saja ia memiliki ideologi dan ruang gerak yang tulus dan mulia. Tetapi juga terletak pada subjek HMI itu sendiri yang ikhlas dalam berproses. Subjek HMI tersebut berasal dari kalangan mahasiswa yang aktif melakukan bakti sosial tanpa pamrih, turun ke jalan atas dasar kehendak akal nurani, hingga berbagai ruang laboratorium yang dijadikan sebagai proses pembentukan karakter kepemimpinan bagi kader HMI terus memicu untuk menjadi sosok petarung demi agama dan negara.
Kondisi sedemikian seharusnya dalam tantangan apapun HMI jangan pernah tidak bersama rakyat, karena HMI megah sampai hari ini kerana mendapat kepercayaan dari seluruh rakyat. Tanpa rakyat HMI tidak dapat melakukan apapun. Tanpa kepercayaan rakyat HMI tidak dapat melaksanakan program apapun, dan bersama rakyat HMI akan mampu mengangkat martabat Indonesia atas kehendak cita-cita rakyat dalam bingkai cita-cita negara kesatuan republik Indonesia.
Melalui ruang gerak dalam ekosistem HMI ini, HMI tidak mengusung satu narasi atau satu sektoral penggarapan perbaikan pemerintahan-kebangsaan. HMI memiliki tanggung janwab yang luas dengan landasan gerak moral keislaman dan keindonesiaan. HMI harus bertanggung jawab bagaimana kondisi pendidikan bangsa hari ini. HMI barus bertanggung jawab atas kondisi ekonomi hari ini. HMI harus bertanggung jawab atas dinamika beragama hari ini. HMI harus bertanggung jawab atas belum tuntasnya pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) hari ini, dan masih banyak deretan tanggung jawab lainnya yang tak mungkin penulis uraikan melalui tulisan ini.
Sederet tanggung jawab itu semua tidak dipundaki oleh satu orang, ia dilekatkan pada atas dasar tanggung jawab ideologis ke-HMI-an. HMI itu tidak melekat pada personal, karena ia melekat pada tanggung jawab misi bagi siapapun yang telah dikaderkan melalui HMI. Demikian halnya pengkaderan HMI, polanya tidak sekedar soal training dalam ruangan, tetapi juga “training” terjun bebas ke setiap panggung politik.
Pada posisi ini HMI memiliki kelenturan dalam berpolitik, juga pada saat mengambil ancang-ancang keberpihakan. Karena HMI bukan parpol, HMI bisa jadi melebur ke setiap dapur politik di mana tempatnya para “pemasak dan pemasok politik” berkumpul. Namun demikian HMI memiliki ciri politik yang tak boleh ditanggalkan kader HMI mesti di pihak manapun ia berada. Ciri politik HMI itu adalah menjaga nilai etika politik keislaman dan keindonesiaan. Makna etika politik keislaman adalah berpolitik atas kehendak ajaran Islam universal yang menjadmin adanya keadilan sosial. Makna politik keindonesiaan adalah memperhankan kedaulatan Indonesia di atas segala kepentingan politik global apapun.
Di sinilah letak HMI untuk mampu mendesain seni merebut kekuasaan agar aspirasi rakyat Indonesia benar-benar berdaulat dan menjadi kompas bagi pembentukan kebijakan negara menuju cita-cita Indonesia merdeka. Atas dasar ini pula kader HMI jangan pernah merasa puas atas apa yang telah dicapai HMI hari ini. Sebab HMI itu bersifat kaderisasi, ia membutuhkan proses berkelanjutan, perawatan materil, pembelajaran, tidak hanya mempu melihat ke belakang, tetapi juga mampu meciptakan Islam-Indonesia yang benar-benar menjadi negara yang disegani oleh negara-negara lain.
Melalui harapan inilah apakah kader HMI optimis dalam menjadikan Indonesia sebagai negara adidaya atau tidak? Tentunya untuk menjemput harapan tidak dapat dicapai dengan kondisi HMI yang terlalu sibuk mengarah pada konflik internal, ganti ganti pimpinan, dualisme rendahan. Atas refleksi harapan ini pula semestinya HMI bergegaslah untuk menyelamatkan Indonesia dari segala ancaman yang menderanya. Selamat Milad HMI ke-74, Salam HMI Mazhab Agapolisme.