Oleh : Quddusis Sara, Amd.Gz
Siswa Sekolah Kita Menulis & Alumni Poltekkes Kemenkes Aceh Melaporkan dari Bireuen
Beberapa hari yang lalu, tepatnya hari minggu. Saya bersama keluarga pergi ke pantai laut Jangka yang tepat di kabupaten Bireuen. Di sana banyak sekali wisatawan yang berkunjung, bahkan hampir setiap akhir pekan. Sesampai di sana, saat saya sedang menikmati keindahan pantai laut dengan ditemani segelas es kelapa, saya melihat sekelompok nelayan sedang bersiap-siap untuk melakukan kegiatan tarek pukat atau menarik jala ikan.
Tradisi tarek pukat ini merupakan salah satu mata pencaharian warga yang tinggal di daerah pesisir pantai kawasan kabupaten Bireuen. Mula-mula, nelayan membawa pukat ke laut dengan menggunakan perahu. Pukat tersebut di bawa dan dilemparkan mulai dari bibir pantai hingga sampai ke laut dengan bentuk melingkar. Pada posisi ini, saya agak kurang memiliki informasi terkait seberapa jauh jarak yang ditempuh oleh para nelayan untuk menebar pukat tersebut. Sedangkan nelayan yang lainnya menunggu perahunya sampai ke bibir pantai. Para nelayan bersiap-siap dengan mengikat tali pukat ke pinggangnya masing-masing dan berbaris dengan rapi, Tali yang dipasang di pinggang berguna untuk memudahkan mereka saat menarik pukat.
Dari serangkaian proses tarek pukat tersebut, saya melihat para nelayan mengambil posisi menjadi dua kelompok barisan. Masing-masing barisan terdiri dari empat sampai lima orang. Saat para nelayan sedang menarik pukat, masih sedikit para wisatawan yang memperhatikan para nelayan yang sedang menarik pukat. Akan tetapi, saat proses tarek pukat ini hampir selesai, justru banyak wisatawan yang mulai berkerumunan mendekati para penarik pukat (nelayan). Bahkan kegiatan tarek pukat ini mengundang para wisatawan untuk mengabadikan momen tersebut dengan menggunakan smartphone mereka masing-masing.
Mereka (wisatawan) sangat antusias sekali untuk membeli ikan langsung dari hasil tangkapan para nelayan dikarenakan harganya yang lebih murah dan masih sangat segar dibandingkan dengan saat membelinya di pasar. Pada hari itu, saya melihat hasil tangkapan para nelayan tersebut cenderung berukuran kecil.
Pada posisi ini pula, saya belum mendapatkan informasi yang akurat terkait bagaimana gerakan-gerakan yang dilakukan dalam menarik pukat. Saya hanya melihat dan memperhatikannya secara singkat. Sebagai warga yang sedang menulis sambil belajar dan memahami tentang kegiatan tarek pukat ini. Dapat dipahami bahwa tradisi tarek pukat ini wajib dilestarikan di tengah badai memuncaknya era digital seperti yang kita alami masa sekarang.
Seperti yang saya lihat dalam proses tarek pukat, sesekali hasil tangkapan ikannya didominasi ikan-ikan kecil dan sesekali didominasi ikan besar. Berdasarkan persoalan yang saya ketahui ini, hasil tangkapan yang diperoleh para nelayan selalu banyak. Aktivitas tarek pukat ini, dilakukan setiap hari oleh para nelayan setempat. Biasanya, dalam satu hari tarek pukat ini dilakukan dua sampai tiga kali, dan tentunya juga tergantung cuaca dan arah dari pawang laut setempat.
Memahami tarek pukat ini tentunya kita juga harus paham bahwa Aceh merupakan salah satu provinsi dengan keragaman budaya yang unik. Salah satunya adalah tarian tradisional tarek pukat yang terinspirasi dari aktivitas yang dilakukan oleh para nelayan di Aceh saat menangkap ikan di laut. Tarian ini biasanya ditampilkan di berbagai acara budaya dan adat Aceh. Saya pernah melihat tarian tarek pukat ini juga diadakan dalam acara seminar di kota kota besar bahkan sampai ke pagelaran internasional seperti di Turky dan Australia. Saat mengikuti acara tersebut, saya beserta teman-teman lainnya sangat kagum sekali saat melihat penampilan para penari tarek pukat. Para penari menggunakan baju adat Aceh dengan hiasan tata rias yang menambah kesan keindahan pada penari tersebut. Saat itu, tarian ini dimeriahkan lebih dari lima peserta. Semua pesertanya adalah wanita.
Dari yang saya ketahui, tarian tarek pukat ini menggambarkan tentang keseharian masyarakat yang tinggal di daerah pesisir, khususnya nelayan yang mencari nafkah untuk keluarganya. Saat menari, penari menggambarkan berbagai gerakan yang khas dilakukan oleh para nelayan. Gerakan tersebut dilakukan dengan kompak yang diiringi musik tradisional Aceh menggunakan alat surune dan rapa’i hingga adanya penyair (syeikh). Gerakan yang paling menarik menurut saya adalah saat para penari mulai mengaitkan tali antar satu penari dengan penari yang lain. Tali tersebut ditarik oleh para penari hingga menjadi sebuah rangkaian jaring dan mereka bersorak ria setelah berhasil merangkai jaring tersebut. Tarian tarek pukat ini merupakan simbol dari para nelayan yang sedang menangkap ikan dan juga mendayungnya dengan perahu. Hal inilah yang membuat saya dan teman-teman yang lain menjadi takjub dan bertepuk tangan saat tarian tarek pukat ini selesai.
Tarek pukat ini memiliki makna tentang bagaimana para nelayan dalam mencari ikan di laut dengan membangun kebersamaan dan sikap saling tolong menolong. Hal inilah yang membuat kenapa kegiatan tarek pukat tidak bisa dilakukan sendirian. Kegiatan tarek pukat patut untuk dilestarikan. Supaya adat dan budaya tradisional masyarakat Aceh tetap terjaga dan dikenal oleh semua orang.
Di zaman era digital seperti sekarang ini, seharusnya media harus lebih aktif dalam menggalakkan sisi kearifan lokal dari tarek pukat. Jangan hanya asik mengekspos tentang kecantikan atau style. Salah satu bentuk apresiasi yang bisa kita lakukan di era digital ini adalah dengan mengabadikan momen-momen tarek pukat menggunakan smartphone atau kamera digital dan kemudian diunggah ke sosial media.
Bahkan menurut saya, seorang fotografer juga sangat berpengaruh dalam menggalakkan sisi kearifan lokal dari tarek pukat. Mereka bisa memanfaatkannya sebagai spot yang bagus untuk berfoto dan mengunggahnya ke sosial media sehingga bisa dilihat oleh semua followersnya. Apalagi fotografer yang memiliki followers yang banyak tidak hanya warga Aceh saja yang melihatnya, tetapi juga bisa di lihat oleh seluruh warga dunia.
Saat ini, saya melihat bahwa adat Aceh masih banyak yang belum diketahui oleh anak milenial. Adat masih terkesan hanyalah budaya zaman dulu yang diketahui oleh orang tua saja. Hal inilah yang perlu diinformasikan kepada anak milenial supaya tetap menjaga kelestarian adat dan budaya. Oleh karena itu, kita sebagai generasi milenial juga harus pandai dalam memanfaatkan media sosial. Supaya keberagaman budaya tradisional Aceh dikenal oleh khalayak ramai. Apalagi saat ini aplikasi media sosial seperti Tik Tok, Instagram dan Twitter telah heboh dengan berbagai filter terbaru, dan banyak warganet yang berbagi cerita di dalamnya dan kemudian menjadi viral di ruang publik. Akhirnya, Tidak ada salahnya untuk terus aktif dengan membuat konten-konten yang kreatif sebagai penguatan kearifan lokal budaya di Aceh.
(quddusissara9372@gmail.com)