Oleh : Zulfata, M.Ag
Direktur Sekolah Kita Menulis. Email:fatazul@gmail.com
Diskursus kematian demokrasi akhir-akhir ini menguat di Indonesia. Hal ini terjadi apakah karena benar adanya gejala tersebut atau sebatas propaganda politik untuk menggiring Indonesia untuk melirik sistem lain seperti otoriter atau komunis. Tidak ingin terjebak dalam diskursus yang tak ada ujung dan pangkalnya tersebut, pada kajian ini penulis mencoba untuk memaparkan bagaimana demokrasi Indonesia tidak mengalami kematian atau tidak selalu dijadikan propaganda politik gaduh yang tak berkeadaban.
Benar bahwa demokrasi Indonesia hari ini tumbuh dan berkembang mengarah pada demokrasi liberalisasi. Namun tidak tepat pula disebut demokrasi Indonesia telah mati, atau lebih tepatnya demokrasi Indonesia dapat disebut mati suri. Disebut mati tidak mati, disebut hidup juga tak nampak kehidupannya. Jika para pakar demokrasi menyebut bahwa indikator matinya demokrasi ditandai dengan pelaksanaan demokrasi yang bermuatan kekuatan politik otoriter di dalamnya, maka tidak keliru dengan keberadaan sekelompok masyarakat yang saat ini tampak sedang “mengutuk” pelaksanaan demokrasi Indonesia.
Diakui atau tidak, menjalankan demokrasi Pancasila tidak dapat ditandai dengan aturan hitam di atas putih. Melampui itu, demokrasi Pancasila sejatinya adalah demokrasi luapan nurani rakyat yang dibingkai dalam butir-butir Pancasila untuk dapat benar-benar diwujud nyatakan. Keingingan wujud demokrasi demokrasi seperti inilah kemudian menjadikan Pancasilasebagai falsafah negara dalam menggiring gerak laju berbangsa dan bernegara bagi Indonesia.
Secara empiris, publik dapat melihat secara kasat mata arah kebijakan dan gerak laju Indonesia selama dua tahun terakhir. Dalam konteks ini penulis tidak menyebut bahwa apa yang dialami oleh gairah demokrasi Indonesia hari ini sebagai puncak gunung es dari kegagalan rekonstruksi demokrasi tahun 1998, tetapi realitas Indonesia hari ini mengalami lentingan pembelahan antara keinginan publik dengan keinginan rakyat semakin tingggi dengan tidak menyebutnya Indonesia mengalami dualisme tujuan, yakti tujuan rakyat dan tujuan “elite” negara.
Dalam tahapan konsepsi ideologi dan gagasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), benar Indonesia tampak mapan dalam hal presentasi di ruang publik. Selanjutnya, pada tahapan realitas kemasyarakatan, NKRI tampak semu dan timpang. Semu karena bagaimana daya wujud negara kesatuan tersebut yang dapat dirasakan oleh masyarakat pinggiran? Disebut timpang karena aspek-aspek kebijaksanaan atau perlakuan pemerintah pada masyarakat tani atau pelaku ekonomi yang masih terseret ke jurang liberalisasi ekonomi.
Kondisi real Indonesia sedemikian seakan menjadikan Indonesia seperti “pasar gelap” tidak diketahui pasti siapakah yang diuntungkan. Apakah yang mengatasnamakan rakyat, atau rakyat yang mengatasnamakan rakyat. Jika kita kembali pada masa konsolidasi ideologi dan dinamika kehendak bernegara pada masa orde lama, maka kita akan mudah menemukan polarisasi untuk mempersamakan persepsi untuk dapat menampung semua keinginan dengan satu yaitu cita-cita Pancasila. Sehingga pemangku kekuasaan waktu itu memilih sistem demokrasi Pancasila sebagai puncak dinamika politik nasional.
Atas kepercayaan terhadap kesatian Pancasila inilah sejatinya kita masih memiliki harapan untuk meyakinkan diri sendiri bahwa peluang demokrasi Indonesia tidak akan mati selama semua pihak tidak menjadikan Pancasila sebagai ideologis fomalitas, atau hanya dijadikan sebagai ideologi basa-basi politik. Ketika Pancasila dijadikan sebagai ideologi formalitas atau basa-basi politik, maka yang menguat adalah liberalisasi universal yang di dalamnya terdapat praktik sosialisme liberal dan varian-varian liberal lainnya yang kini tampak semakin menjamur.
Dari sekelumit realitas demokrasi yang disampaikan di atas, dapatlah membuat hipotesa bahwa demokrasi Indonesia masa kini tampak liar dan tak terkendali, ia bagaikan bola api yang dapat merundung siapa saja, boleh menteri atau ke masyarakat. Oleh karena itu, muncul pertanyaan siapakah pengendali demokrasi yang semestinya agar demokrasi Indonesia dapat berjalan secara stabil sesuai cita-cita Pancasila?
Sebelum menemukan jawaban dari pertanyaan di atas, terlebih dahulu kita harus mampu memotret siapa pengendali demokrasi hari ini? Rakyatkah? atau tuan (elite) yang bergerak seperti mahkluk halus dalam proses penentu kebijakan negara? Yang jelas adalah demokrasi Indonesia hari ini belum menjadi representatif aspirasi rakyat Indonesia.
Untuk menemukan benang merah kajian ini, secara umum demokrasi Pancasila adalah demokrasi dalam artian dari rakyat, oleh dan untuk rakyat. Aspirasi rakyat dituangkan melalui penentuan suara politik yang kemudian diselenggarakan melalui pemilihan umum. Artinya, warga negara diwakili oleh wakil raykat. Pada tahapan ini, agar aspirasi rakyat berjalan sesuai tujuan kekuasaan negara, maka demokrasi membutuhkan tiga lembaga yang disebut dengan lembanga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Semua lembaga ini berkerja sesuai dengan tugasnya masing-masing yang telah diatur secara konstitusional.
Muncul pertanyaan lanjutan, bagaimana jika ketiga lembaga tersebut tidak sedang berada pada keinginan warga negara? Benang kusut demokrasi inilah yang membuat Indonesia perlu terus dibenahi melalui kesadaran bersama.
Melalui kajian ini, upaya yang harus dilakukan untuk membangun kesadaran bersama dalam rangka memperbaiki demokrasi salah-satunya dapat dilakukan dengan membangun gerak pikir dan langkah bersama bahwa warga adalah sebagai tuan demokrasi, bukan elite, dan bukan pula para cukong. Untuk mewujudkan kesadaran kolektif ini tentunya tidak semudah membalik telapak tangan, ia membutuhkan proses pendidikan berkebudayaan secara berkelanjutan, sebab penyakit demokrasi Indonesia sungguh akut.
Dampak dari menjadikan warga (rakyat jelata) sebagai tuan demokrasi akan memposisikan gerak laju negara tidak mudah disusupi oligarki atau liberalisasi. Langkah strategis impian ini dapat dijalankan melalui penguatan literasi publik tanpa henti. Langkah ini juga akan menjadikan gairah pendidikan lebih dicondongkan untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat dalam setiap kontestasi demokrasi, baik menjelang, sedang dan setelah Pemilu/Pilkada.
Sudah saatnya semua pihak di Indonesia untuk meruntuhkan stigma sosial yang memposisikan warga negara sebagai korban politik lima tahunan. Seiring dengan semangat ini pula publik jangan berharap banyak untuk memperbaiki demokrasi melalui jalur partai politik (parpol), karena parpol sejak lima tahun terakhir ini tampak tak begitu peduli dengan aspirasi rakyat, melainkan membalut kepentingan parpol atau koalisi parpol atas nama rakyat.
Mungkin pembaca dapat tidak setuju dengan apaya yang penulis uraikan ini, atau bahkan dapat dianggap mustahil ketika warga negara ingin memperbaiki citra demokrasi tanpa parpol. Namun yang masti diingat adalah upaya memperbaiki demokrasi dengan menjadikan warga sebagai tuan demokrasi membutuhkan tahapan yang panjang sebagai wujud dari gerakan berkebudayaan yang didominasi kehendak rakyat. Tanpa menjadikan rakyat sebagai tuan, maka jangan harap demokrasi Pancasila akan membumi di segala lini dalam hal pengambilan keputusan dalam bernegara, baik di tingkat nasional maupun daerah. Akhirnya, marilah kita terus berusaha untuk mencerdaskan dan mencerahkan semua rakyat kita agar tidak masuk pada “lubang demokrasi” yang sama di setiap Pemilu/Pilkada berlangsung.