Oleh: Lasma Farida
Kasma bersama kedua orang tuanya tinggal di perkampungan Perempusen yang berlokasi di tengah perkebunan kopi. Perkampungan ini, ketika sore hari berselimut kabut. Selain Keluarga Kasma juga ada keluarga Kopi, Alpukat, Nangka, Durian, dan Jeruk yang juga menempati perkebunan milik Tuan Bedur ini. Mereka semuanya bekerja untuk Tuan Bedur petani kopi dan teuke buah yang baik hati. Beliau menyekolahkan anak-anak dari pegawainya itu di SD Empus. Setiap musim panen raya buah-buahan, di daerah ini selalu diadakan lomba pentas seni.
Pada suatu hari, sepulang sekolah Kasma menghilang. Orang tua Kasma yang sedang bekerja memetik buah kopi khawatir sekali. Anak tunggalnya sudah sampai waktu makan siang, tetapi belum juga menemui mereka. Biasanya Kasma bersama sahabatnya Kopi, Alpukat, Nangka, Durian, dan Jeruk ketika pulang sekolah langsung menemui orang tuanya masing-masing di kebun dan berakhir dengan bermain bersama.
“Sudahan dulu kerja kita hari ini! Menjelang asar, tetapi Kasma belum juga datang, ke mana dia? Bagaimana jika Ayah mencari Kasma ke tempat biasanya dia bermain dan Ibu pulang?” usul Pak Kasmi kepada istrinya sembari memasukkan buah kopi ke karung.
“Iya Ayah. Semoga Kasma baik-baik saja,” jawab Ibu Kasmawati dengan kerisauannya.
Pak Kasmi keliling kebun dan kolam, tetapi dia tidak melihat keberadaan Kasma dan kawan-kawannya. Dia tidak putus asa, terus menelusuri sungai memperhatikan jejak keberadaan putrinya. Sia-sia, dia tidak mendapat petunjuk tentang keberadaan Kasma.
Pak Kasmi kelelahan dan berjalan hati-hati takut masuk jurang. Dengan penuh kecemasan dia bicara sendiri. “Kenapa hari ini, tidak ada satu pun anak-anak bermain di kebun? Kabut mulai menyelimuti langit, Ayah tidak bisa mencarimu.”
Pak Kasmi terus berjalan memasuki perkampungan Perempusen, dia berpapasan dengan seseorang. Orang itu memanggilnya, karena kabut Pak Kasmi tidak bisa melihat dengan jelas siapa gerangan.
“Saya Kopi, titip ini untuk Kasma, Pak.” ucap Kopi.
Pak Kasmi menerima titipan tersebut. Seketika itu emosinya memuncak, dengan geram mencegat Kopi yang hendak meninggalkannya. “Mau ke mana kamu? Apa maksud dari titipan ini? Apakah kau tahu keberadaan Kasma ….”
“Maaf, Pak. Suara azan.” Kopi menukas ucapan Pak Kasmi.
Sampai di rumah Pak Kasmi mendapatkan istri dan putrinya sedang salat Magrib. Setelah salat, dia duduk di dekat Kasma.
“Ada apa Nak? Kami mengkhawatirkanmu, Ayah sudah mencari kamu ke mana-mana.”
Kasma memeluk ayahnya dengan menangis dia mengungkapkan apa yang terjadi.
“Maafkan Kasma. Tadi di sekolah kawan-kawan mengejek Kasma karena tidak dipilih oleh ibu guru untuk pentas seni. Kata mereka Kasma kelat, pekat, dan tidak menarik sehingga tidak ada yang melirik. Semua kawan-kawan latihan di sekolah, Kasma pulang sendirian. Menampung kita untuk menumpang hidup di lahan ini adalah kerugian terbesar bagi Tuan Bedur. Kasma kelelahan menangis sampai tertidur, terus Ibu membangunkan Kasma.”
Pak Kasmi menyeka air mata Kasma dengan tangannya. Dia bersama Ibu Kasmawati saling bertatapan dan mereka menyembunyikan air matanya dari Kasma.
Ibu Kasmawati memeluk anaknya dan memberi nasehat. “Sabarlah Sayang, setiap orang ada kelebihan dan kekurangannya. Memang kita berbeda dengan mereka, tetapi Tuan Bedur tidak pernah meremehkan kita. Beliau menyayangi kita sama dengan yang lainnya. Soal gurumu tidak memilih kamu dalam pentas seni, bisa jadi karena kamu tidak berpotensi di bidang itu. Sekarang galilah potensimu, pupuk hobimu dan berlatihlah!”
“Mulai sekarang kamu jangan ke kebun. Pulang sekolah beres-beres rumah dan belajar. Kelat itu bisa dihilangkan dengan rendaman air. Air itu ilmu pengetahuan dan amalanmu. Ini ada formulir lomba pentas seni dan surat dari Kopi. Ikutilah lomba itu, Nak!” seru Pak Kasmi.
Kasma membaca surat dari kopi dan kedua orang tuanya mendengar isi surat itu. Saudariku, jangan bersedih. Kau tahu sejarah Ayahku yang pahit? Dulu tidak ada orang yang meliriknya. Kau lihat sendiri bagaimana keadaan kami saat ini?Menjadi prioritas bukan saja oleh Tuan Bedur, juga oleh orang seluruh dunia. Bahkan dari khas pahit yang kami punya, sudah membuka lapangan pekerjaan untuk banyak orang.
Kami bisa bermanfaat untuk seluruh umat dengan kepahitan itu. Jadikanlah kelatmu sebagai jati dirimu dan pupuk potensimu rubah kelat itu jadi manis. Kau memang tidak seelok Durian, Nangkah, Jeruk, Alpukado, atau siapa pun yang tinggal di Perempusen ini, tetapi kau sempurna, cantik hatimu bersih. Kau berbakat mencipta puisi, aku tahu hal itu dari buku catatanmu. Ketika kita bermain kau juga suka membaca puisi. Tahun ini kita tamat SD sobat, kau harus berada di pentas seni tradisi daerah kita.
Semenjak itu Kasma rajin berlatih mencipta dan membaca puisi. Sehingga sampailah pada hari yang ditunggu. Kasma membacakan karyanya disaksikan oleh juri dan penonton,
Tuan Bedur membaca pengumuman, nama Kasma disebutkan sebagai juara satu lomba mencipta dan baca puisi musim panen raya buah-buahan Perempusen.
Bener Meriah, 25/11/20_HGN
***
Buah kesemek adalah nama sejenis buah-buahan dari marga Diospyros. Tanaman ini berasal dari Tiongkok dalam bahasa Gayo disebut kasma. Kesemek banyak ditemui pada perkebunan (perempusen) kopi di daerah dataran tinggi Aceh. Rasa kelatnya menjadi manis, setelah direndam dengan air beberapa hari*
*Saduran dari beberapa sumber.
Bionarasi: Penulis bernama Lasma Farida, ibu tiga anak berprofesi sebagai seorang guru di dataran tinggi Aceh.