Oleh : Johansyah
Ada ketertarikan sendiri ketika mengamati pola komunikasi di media sosial (medsos), sekaligus mungkin dirasakan menjadi problema tersendiri. Hal ini dikarenakan orang-orang yang berkomunikasi di medsos melibatkan banyak kalangan yang berbeda dalam banyak hal; latar belakang pendidikan, aliran pemikiran, profesi, dan lain-lainnya. Intinya ketika pola interaksi dan komunikasi yang melibatkan banyak kalangan dengan berbagai latar belakang berbeda akan memiliki tantangan tersendiri.Ketika ada sebuah isu menarik-katakan terkait pelecehan nabi Muhammad SAW beberapa waktu lalu oleh presiden Macron yang mengusik ketenangan perasaan umat Islam di seluruh dunia. Pada saat ramai yang mengecam, lalu ada satu dua orang yang memiliki perspektif lain, mengeluarkan statemen berbeda dan terkesan kontroversial dari yang lainnya. Minsalnya dia mengatakan; ‘sebenarnya kita tidak perlu marah, mengutuk, apalagi hingga sampai memboikot produk Prancis sebagai bentuk perlawanan terhadap pandangan yang sang presiden yang mengatakan sebagai bentuk kebebasan berekspresi’.
Statemen yang ditayang di status instagram ini atau aplikasi lain pun mendapat serangan yang bertubi-tubi hingga ada mengatakan bahwa orang menulis status tersebut harus dipertanyakan Islamnya. Atau orang ini berpikiran aneh, hingga sampai ada statemen bahwa orang seperti ini perlu disyahadatkan lagi. Jika kita amati di kolom komentar, begitu ramai yang melakukan protes, dan itu rata-rata dari kalangan masyarakat umum yang merasa sangat terusik dengan pernyataan tersebut terkait pembelaan terhadap presiden Prancis.
Dalam amatan kita terkadang orang yang mengeluarkan pernyataan kontroversial itu hanya sekedar memancing perdebatan di media sosial agar lebih seru. Sebagian orang memang ada yang merasa senang ketika lawan debatnya mulai kepanasan dan emosional. Dia sendiri ketika dicaci lawan debatnya malah tertawa. Seperti tidak ada masalah sama sekali. Bahkan terkadang dia sangat menikmati ketika semakin ramai komentar yang menyerang dan menyatakan diri tidak setuju.
Dalam situasi ini kemudian kita melihat perbedaan yang jauh antara orang yang mengeluarkan pernyataan kontroversial dengan orang yang menyikapinya sebagai sebuah keanehan, dan mungkin juga keterlaluan. Orang yang mengeluarkan pernyataan kontroversial ternyata memang tipenya adalah tipe orang yang gemar berdiskusi, berpikir kritis, tidak suka digiring dan menyetujui sebuah isu yang berkembang. Di saat orang membenci, dia malah sebaliknya menyukai. Di saat orang menyatakan protes, dia justru mengatakan tidak perlu protes. Begitu seterusnya.
Persoalan intinya ada pada perbedaan karakter, tradisi keilmuan, hingga cara menganalisis sebuah realitas maupun fakta. Orang yang kontroversial diketahui adalah orang yang kerap berdiskusi dan berdebat di bangku kuliah tentang berbagai persoalan dan isu kekinian. Sehingga orang seperti ini merasa perdebatan dan hal-hal kontroversial merupakan hal lumrah dan sejatinya harus disikapi secara kritis.
Namun saat dia berhadapan dengan masyarakat umum yang lebih sami’na wa atha’na, tentu sangat sulit menempatkan diri dan pernyataannya di tengah-tengah mereka. Peluang untuk diterimanya pernyataan kontroversial itu sangat kecil karena masyarakat berpegang pada asas umum tanpa disentuh analisis berbagai disiplin keilmuan. Di mana bagi masyarakat pengetahuan dan isu itu sangat sederhana; kalau ada statemen yang bernada menghina nabi, mereka menyatakan dan langsung menyimpulkan bahwa itu adalah sikap dan perilaku pelecehan terhadap Islam yang tidak boleh dibiarkan. Ini menyangkut harga diri, begitu kira-kira proposisi yang terbangun dalam benak mereka.
Hemat saya, kalangan-katakan yang sudah pernah menduduki bangku kuliah, apalagi sudah mencapai taraf pendidikan tertinggi sejatinya mampu membangun dan mengedepankan rasa dalam berkomunikasi, bukan logika seperti tradisi yang sudah mereka bangun di dunia akademik. Harus ada kesadaran bahwa ketika berinteraksi dan berkomunikasi di media sosial, di sana begitu banyak kalangan dengan latar belakang pendidikan dan kondisi kehidupan yang beragam. Semestinya ide argumentatif itu juga disampaikan dengan bahasa yang dapat terjangkau oleh antena-antena yang bisa dikata masih sederhana.
Pernyataan-pernyataan kontroversial itu di satu sisi hal lumrah. Karena media sosial sendiri memberikan ruang untuk itu. Tapi karena kita berhadapan dengan kalangan yang beragam, sangat indah ketika bahasa yang digunakan mudah dicerna dan tidak disalahpahami. Lagi pula kenapa kita terlihat ngotot mempertahankan sebuah argumen di status instagram maupun facebook? Padahal itu bukan momen untuk mempertahankan temuan skripsi, tesis maupun disertasi di sebuah persidangan resmi.
Tapi begitulah, ternyata banyak kalangan yang menganggap dirinya akademis, ketika berada dalam ruang komunikasi dunia maya. Dia lupa melihat varian genre dan ragam kalangan masyarakat yang terlibat di dalamnya. Dia mengira semua jama’ah dunia maya mampu berpikir kritis dan argumentatif. Namun pada kenyataannya lebih banyak taqlid-emosional dan gagap diskusi karena itu bukan menjadi bagian tradisi hidup yang dibangunnya.
Ada sebuah contoh populer untuk menggambarkan kondisi ini. Ketika penetapan satu ramadhan dan satu syawal setiap tahunnya. Di mana sebuah ormas Islam tertentu berbeda dengan pemerintah dalam menetapkan hari tersebut. Biasanya satu hari lebih awal dari hari yang telah ditetapkan pemerintah berdasarkan sidang itsbat yang dipimpin oleh menteri agama.
Ketika masyarakat mempertanyakan kenapa terjadi perbedaan seperti ini di kalangan umat Islam? Lalu dengan mudah mereka para tokoh agama mengatakan; ‘perbedaan itu biasa, karena masing-masing memiliki dasar. Yang penting tujuannya sama’. Pernyataan seperti ini mungkin akan laku di dunia akademis, di mana insan-insan akademis dituntut untuk berpikir terbuka dan dapat menerima perbedaan.
Tapi akan berbeda kondisinya ketika kita mengungkapkan kalimat ini ke ranah publik. Kebanyakan tidak suka mencerna dan menelusuri latar belakang kalimat itu. Bukan malah memahami nantinya, justru mereka akan mengatakan tokoh agama yang melontarkan kalimat itu plin-plan. Masyarakat itu lebih cenderung pada keseragaman antar ormas dengan ormas lain maupun dengan pemerintah dalam menyikapi sebuah perbedaan. Ketika muncul perbedaan perspektif antara mereka, itu dianggap sebagai sebuah kerapuhan dalam realitas keagamaan yang membahayakan umat, padahal sesungguhnya sama sekali bukan masalah.
Lalu bagaimana meminimalisir kesalahpahaman atas kalimat-kalimat kontroversial? Di antaranya adalah pemilihan kosa kata dan kalimat yang tepat. Selain itu, pernyataan yang kemungkinan memunculkan multi tafsir sebaiknya dijelaskan dengan argumen yang runut dengan menggunakan bahasa sederhana, santun, dan tidak bernada menyudutkan orang lain. Intinya adalah bagaimana kita membangun komunikasi di media sosial dengan pendekatan psikologis yang mengutamakan rasa, bukan logika. Wallahu a’lam bishawab!
Pegawai Dinas Syari’at Islam dan Pendidikan Dayah Kabupaten Aceh Tengah dan Ketua STIT Al-Washliyah Aceh Tengah