Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

PENGUATAN KOMPETENSI PSIKOLOG BAGI GURU

Minggu, 29 November 2020 | November 29, 2020 WIB Last Updated 2020-11-29T07:01:52Z



Oleh : Johansyah

Di antara persoalan pendidikan adalah adanya kesan pertentangan antara sekolah dan keluarga atau antara orangtua dan guru sejak hadirnya UU Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Padahal UU ini sama sekali tidak pernah bertujuan untuk membuat hubungan orangtua-guru seperti ini. Namun nyatanya banyak orangtua yang salah kaprah dalam memanfaatkan UU ini.

Hubungan orangtua-guru sejatinya merupakan hubungan yang harmonis dalam upaya membangun sebuah komunikasi pendidikan yang baik terkait dengan pengembangan potensi peserta didik dari berbagai aspeknya. Hubungan yang harmonis ini sejatinya diperkuat, bukan dilemahkan. Apapun ceritanya, salah satu kunci sukses berhasilnya pendidikan adalah terbangunnya komunikasi yang baik antara guru dan orangtua.

Ada beberapa aspek yang perlu menjadi perhatian bersama dalam upaya memaksimalkan peran guru dan hubungan yang harmonis dengan orangtua. Poin intinya, pemerintah perlu menata ulang sistem penempaan profesionalisme guru, utamanya yang bersinggungan dengan penguatan aspek psikologis.

Pada satu sisi, UU perlindungan anak kita apresiasi dalam upaya menertibkan sikap dan perilaku kasar guru terhadap peserta didiknya. Guru tidak sembarangan memberikan sanksi pada peserta didik dengan kasar karena mereka dapat dipolisikan dengan tuduhan telah melakukan kekerasan terhadap anak.

Namun di sisi lain, pendekatan seperti ini mungkin hanya meredam sikap kasar seorang guru terhadap peserta didik, bukan didasarkan pada kesadaran tinggi berbasis psikologis dalam menata aspek spiritual dan hati peserta didiknya. Beberapa kali saya berdialog dengan teman-teman dan mereka mengatakan; ‘sekarang kalau ada anak yang nakal, biarkan saja. Nanti sedikit kita berlaku kasar, dilapor ke polisi’. Sikap seperti ini sebenarnya sangat berbahaya. Kalau guru membiarkan peserta didik melakukan pelanggaran, lalu siapa yang memperbaikinya?

Artinya meskipun UU perlindungan anak membuat jera guru, tapi tidak dapat dijadikan solusi dalam menata akhlak peserta didik sehingga diperlukan langkah dan alternatif lain untuk mengatasi persoalan tersebut. Langkah yang dimaksud adalah penguatan nilai-nilai psikologis bagi guru. Asumsinya, jika guru memiliki kompetensi psikologis yang kuat, masalah seperti tadi kemungkinan besar dapat teratasi tanpa harus berurusan dengan aparat penegak hukum.

Kenapa perlu penguatan kompentensi psikologis bagi guru? Karena tugas utamanya adalah menumbuhkan akhlak. Karena itu, pendekatan yang paling utama dalam menumbuhkan akhlak mulia adalah pendekatan psikologis, bukan pendekatan yang bernuansa kemiliteran yang sedikit-sedikit menghukum atau memberi sanksi. Sebenarnya memberikan hukuman dalam proses pendidikan itu hal yang biasa. Tapi tentu jenis hukumannya tidak harus hukuman fisik.

Nah, guru yang kuat kompetensi psikologisnya akan cenderung menerapkan hukuman yang bersifat non fisik. Memang tidak mudah mengatasi persoalan perilaku peserta didik. Kita sering terpancing emosi, dan merasa jengkel dengan tingkah peserta didik. Namun ketahuilah di saat marah dan mengeluarkan kalimat kasar, sebenarnya seorang guru sudah telah memulai kegagalannya dalam menumbuhkan akhlak mulia bagi peserta didiknya.

Bagaimana juga mewujudkan guru yang memiliki kompetensi psikologis yang kuat? Kembali pada pernyataan di awal pembahasan ini, pemerintah perlu menata ulang sistem penempaan guru profesional. Apakah sistem yang ada selama ini masih kurang baik, padahal guru kuliah di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan atau fakultar tarbiyah, ketika menjadi guru negeri mereka mendapatkan materi di prajabatan, mereka juga mendapatkan banyak pelatihan?

Hemat saya, pembekalan guru belum begitu menyentuh persoalan substantif yang kita hadapi saat ini. Pertama, berkaitan dengan lembaga pengelola tenaga pendidikan. Fakultas tarbiyah atau pendidikan sebagai pusat penempaan calon guru nyatanya tidak menempatkan psikologi sebagai materi pokok dalam struktur kurikulum. Mungkin kita mengira psikologi hanya dibutuhkan para psikolog untuk menangani orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Bagi guru sendiri psikologis ini sebenarnya menjadi landasan utama dalam mendesain pembelajaran dengan baik dan mengatasi dinamika pembelajaran.

Kedua, persoalan penempaan guru pasca menjadi sarjana pendidikan juga perlu dijadikan perhatian. Selama ini kita mengira, setelah orang menjadi sarjana pendidikan, selesailah tugas penempaan. Sebenarnya harus ada wadah tertentu untuk meng-update pengembangan kompetensi mereka. Minsalnya dinas pendidikan kabupaten/kota memiliki program khusus untuk melakukan pemetaan sarjana pendidikan di wilayah mereka selanjutnya mereka dapat difasilitasi untuk senantiasa mengembangkan diri, terutama yang terkait dengan penguatan aspek psikologis dan metodologi pendidikan.

Ketiga, pola prajabatan Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk guru sebenarnya tidak bisa disamakan materinya dengan prajabatan tenaga struktural. Bagaimana pun tugas mereka sangat berbeda. Para guru menghadapi peserta didik, sementara tenaga struktural fokus pada pengerjaan administrasi. Untuk itulah seharusnya sistem prajabatan untuk ASN dapat diselenggarakan terpisah dengan tenaga struktural. Materinya juga lebih dititikberatkan pada penguatan profesionalisme guru, bukan materi-materi yang diberikan pada tenaga struktural.

Kalau bisa sistem prajabatan guru terintegrasi dengan sistem sertifikasi guru. Artinya prajabatan itu sekaligus menjadi syarat bagi guru untuk mendapatkan sertifikasi. Di sanalah guru mendapat pelatihan dan pengembangan metodologi pembelajaran. Selama ini sangat aneh, di mana orang yang sudah lulus menjadi guru, tapi belum memperoleh sertifikat pendidik. Lagi pula sistem sertifikasi yang diselenggarakan secara terpisah selama ini nyatanya banyak menyita waktu guru serta menghabiskan banyak anggaran. Seharusnya guru sudah fokus pada tugas mengajarnya, namun gara-gara sertifikasi konsentrasinya terpecah. Hal ini akan berbeda kondisinya ketika sertifikasi guru disatukan dengan prajabatan ASN bagi guru. Sekali kerja, hemat biaya, dan tahapan pengembangan profesionalisme guru juga lebih jelas.

Ketiga, untuk lebih maksimalnya pemerintah yang sudah memiliki Lembaga Jaminan Mutu Pendidikan (LPMP) sejatinya fokus pada pengupdate-an profesionalisme guru. Program ini harus dibuat secara berkala. Teknis kerjanya juga sebenarnya sangat mudah, yakni memeberdayakan pengawas sekolah untuk melaksanakannya. Keliru kalau pengawas sekolah yang datang hanya memeriksa kelengkapan administrasi. Seharusnya mereka dapat memanfaatkan peran tidak hanya sebatas pada supervisi, tapi juga mengembangkan metodologi pembelajaran sehingga guru tercerahkan.

Dengan langkah-langkah alternatif di atas kita berharap guru memiliki kemampuan yang mumpuni untuk mengelola masalah kalas, terutama yang berkaitan dengan perilaku peserta didik. Dengan muatan psikologis yang kuat, dia akan berusaha menyelesaikan masalah dengan cara yang sangat santun dan bijak. Wallahu a’lam bishawab!

Ketua STIT Al-Washliyah Aceh Tengah