Notification

×

iklan dekstop

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

MENANAMKAN AKHLAK PADA ANAK KITA

Rabu, 04 November 2020 | November 04, 2020 WIB Last Updated 2020-11-04T00:38:57Z



Oleh : Johansyah

Dalam bukunya Hakadza ‘allamatni al-Hayah, Mustafa Siba’i memberikan sebuah nasehat; ‘bantulah anakmu untuk memperoleh kebaikan hidup dengan tiga hal; pandai dan santun dalam bergaul, cepat mengingat dan menyadari kesalahannya, dan bertanggung jawab atas tugas yang diberikan kepadanya’.

Pesan Siba’i di atas merupakan bagian dari materi pendidikan akhlak. Di mana orangtua bertanggung jawab atas pekembangan mental anak-anaknya. Jangan sampai mereka dibiarkan menyerap materi-materi kehidupan yang dapat mengarahkannya pada sikap dan perilaku yang buruk. Orangtua harus secara ekstra melakukan bimbingan, arahan, serta keteladanan bagi anak.

Orangtua bertanggung jawab terhadap perkembangan mental anak. Merekalah yang memberi warna dan dinamika batin anak-anak mereka. Itu semua nanti akan mengarah pada karakteristik mereka; berkarakter yahudi, nasrani, majusi. Atau berkarakter kasar, premanis, membuat kekacauan, dan lain-lainnya. Begitulah yang dideskripsikan Rasulullah SAW, anak kita mau dicetak seperti dan menjadi apa? Patrunnya ada pada kita dan cara kita menerapkan pendidikan.

Setiap manusia normal yang lahir umumnya difasilitasi dengan tiga media untuk menyerap berbagai pengetahuan, informasi, dan segala hal yang berkaitan dengan alam semesta ini, yakni hati, mata, dan telinga. Ketiga media inilah yang menjadi corong pengetahuan bagi manusia. Mereka mengetahui setelah melihat, mendengar, dan merasakan dalam hati.

Dalam perkembangannya, media hatilah yang akan menentukan pengetahuan dan informasi yang diserap, diolah, dianalisis, diyakini, dan menjadi kecenderungan seseorang. Keterpautannya dengan nilai-nilai ketuhanan akan dijadikan radar dan sinyal untuk menangkap pesan-pesan pengetahuan yang mengarahkannya pada kebaikan. telinga dan matanya akan cenderung pada hal-hal positif. Hati yang tidak terpaut dengan cahaya ketuhanan dan tercemari oleh dominasi waktu dan provokasi iblis pada akhirnya akan membuat mata dan telinga cenderung menyerap pengetahuan yang buruk.

Dalam salah satu firman-Nya dinyatakan: “Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu. Lalu dijadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur” (QS. An-Nahl: 78). Inilah tujuan Allah SWT menyiapkan fasilitas ini untuk manusia, agar mereka mau dan mampu bersyukur. Pribadi-pribadi yang bersyukur ini hanya akan terwujud dengan hati yang senantiasa terpaut pada Allah SWT.

Hanya dengan modal keterpautan hati yang senantiasa kepada-Nya, kita akan mampu mewujudkan pendidikan yang baik bagi anak-anak. Sehingga apapun yang kita ajarkan kemungkinan besar dapat terwujud. Termasuk hal-hal yang disampaikan oleh Siba’i di atas.

Pertama, kita harus mengajarkan anak agar baik dan santun dalam bergaul. Sebagaimana orang pada umumnya bahwa anak kita pasti akan berinteraksi dengan orang-orang sekitarnya. Bisa dengan orang-orang yang sebaya, lebih muda atau lebih tua darinya.

Untuk itu mereka harus memahami tata krama, etika, maupun adab bersikap, berbicara dan berbuat. Anak kita harus mampu memahami kondisi dan dinamika pada tempat yang beragam. Bagaimana adab mereka dengan orang dewasa, orang-orang yang sebaya, atau orang yang usianya di bawah mereka. Tidak semua kalimat dapat digunakan dan diterapkan pada semua teman interaksi. Jika berhadapan dengan orang dewasa mereka harus menunjukkan rasa hormat. Jika berhadapan dengan rekannya yang sebaya mereka harus saling menghargai, dan jika berhadapan dengan orang yang usianya di bawah mereka, harus mau menyayangi.

Untuk menjadikan anak kita santun dalam bergaul, harus diterapkan secara langsung dan alami dalam keluarga. Minsalnya bagaimana bahasa yang kita gunakan dalam menegur mereka ketika berbuat salah. Atau bahasa apa yang kita gunakan ketika mereka melakukan hal-hal yang membanggakan. Yang jelas bahasa kasar dan merendahkan akan berdampak buruk bagi perkembangan kebahasaan mereka. Biasa dalam pergaulan seharu-hari itu bahasa yang jorok juga bisa keluar dengan spontan karena sudah biasa dia dengar. Untuk itulah orang tua harus hati-hati dan pandai memilih bahasa dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak.

Kedua, Siba’i juga mengatakan agar kita membantu anak agar menjadi orang yang cepat menyadari dan mengakui kesalahannya seandainya dia melakukannya. Ini adalah salah satu bagian dari akhlak mulia. Sebagian besar orang sulit dan gengsi mengakui kesalahannya. Malah terkadang bukan menutupi, tapi mencari argumen lain untuk membela kesalahannya.

Pengakuan akan kesalahan diri itu akan menjadi bagian dari sifat anak apabila orangtua juga membiasakan dan menerapkannya dalam keluarga. Terkadang sebagai orangtua kita berbuat salah, lalu dikritik oleh anak kita. Minsalnya ketika kita terlambat shalat, lalu anak menegur; ‘ayah kenapa suruh kami shalat, padahal ayah pun belum shalat’. Lalu kita jawab bahwa kalau orangtua boleh sebentar lagi. Ini adalah jawaban keliru lantaran hanya karena gengsi ditegur oleh anak. Padahal kenyataannya si ayah melakukan kesalahan. Sebenarnya urusannya bisa kelar dan tidak menimbulkan kesalahpahaman bagi anak kalau di saat itu orangtua langsung mengakui kesalahannya.

Ketiga, kita harus membimbing anak-anak agar mereka bertanggung jawab ketika diserahi tugas. Di jaman ini terkadang orang suka lepas tanggung jawab. Sudah jelas-jelas bahwa itu menjadi tanggung jawab dia, tapi saat tugas tersebut dilanda masalah, dia katakan bahwa itu bukan kewenangan dan tanggung jawabnya. Lebih tragis lagi terkadang dia mengorbankan bawahannya ketika terbelit masalah.

Seperti materi-materi pendidikan lainnya, maka dalam keluarga orangtua juga harus menanamkan sikap tanggung jawab yang kokoh dalam jiwa anaknya. Minsalnya, suatu waktu bisa saja orangtua menitipkan uang pada anaknya dengan mengatakan agar uang tersebut disimpan dan beberapa hari ke depan akan diambil lagi. Pada saatnya ketika uang tersebut diminta, tidak sedikit pun berkurang. Dia menjaga amanah.

Atau dalam kondisi tertentu, kita melimpahkan tanggung jawab kepada anak sulung agar menjaga adiknya. Kita pergi sebentar ke luar rumah. Dia pun menjalankan amanah tersebut sesuai dengan apa yang telah dipesankan kepadanya.

Tentu kita tidak boleh lupa juga, sikap-sikap cerdas seperti itu hanya akan muncul dari diri anak apabila ada proses keteladanan dan pembiasaan. Ketika mereka menyaksikan orang tua sebagai sosok yang bertanggung jawab dan amanah bagi setiap pekerjaaan yang dibebankan, anaknya akan tumbuh dengan kebiasaan tersebut.

Jadi soal mengajarkan anak tentang akhlak mulia bukanlah soal definisi apa dan bagaimana akhlak itu. Lebih dari itu, pendidikan akhlak itu adalah penerapan perilaku Islami secara alami yang mampu kita terapkan dalam keluarga secara konsisten dengan berbagai dinamikanya. Wallahu a’lam bishawab!

Ketua STIT Al-Washliyah Aceh Tengah